BOCAH berusia 6 tahun itu duduk termangu memandang cermin
ditembok. "Dokter" yang merawatya tidak henti-hentinya mengoceh
dan mengajaknya menirukan suara mobil-mobilan yang meraung
mengelilingi ruang praktek berukuran 2 x 2 meter. "Ngeng . . .
ngeng . . . mobilnya jalan cepat. Ayo, Ade ikuti suara ibu,
bagaimana bunyi mobil?" katanya menempelkan pipi ke telinga Ade,
si pasien, sambil menunjukkan gerak bibir di cermin. Pasien yang
berdandan rapi itu mulai tersenyum kecil dan dengan bibir
bergetar keluar suara lirih: "nge . . eng . . ." Nah, "dokter"
itu bernapas lega. Ia berhasil "menyelamatkan" pasien.
Pemandangan ini terlihat di Klinik Vacana Mandira, Jalan Kramat
VI, Jakarta, tempat penyembuhan anak-anak yang mendapat kelainan
susah berbicara. "Semula ia sama sekali tidak bisa bersuara,"
kata mahasiswi tingkat III yang tengah praktek menjadi "dokter".
Selama 3 bulan secara terus-terusan berobat ke klinik itu,
pasien yang menderita keterlambatan bicara itu disembuhkan
dengan memberi rangsangan untuk mengeluarkan bunyi.
Ruang praktek di sebelahnya mirip ruang kelas sebuah Kelompok
Bermain. Jimmy A Hok tengah dirawat Evi Kawilarang, juga
mahasiswi tingkat III. Evi menyuruhnya menjulurkan lidah.
Kemudian sebuah alat logam mirip sendok makan ditekankan pada
lidah. Sesaat setelah itu, Jimmy disuruh menarik lidah. Ini
dilakukan berulang-ulang.
Pasien menderita pendengaran tidak terarah akibat kerusahan pada
otak. "Ia harus mendapat rangsangan pada sense motorik," kata
Evi. Dengan mengeluarkan dan memasukkan lidah, lama kelamaan ia
akan dapat mengendalikan diri. "Sebelumnya, kalau menjulurkan
lidah, ya susah disuruh memasukkan," katanya. Sesudah lincah
menggerakkan lidah, dia akan diajar berbicara.
Klinik ini langganan orang berada. Sebagian besar anak diantar
ke situ dengan mobil atau baby sitter. Di situ mahasiswa Akademi
Vacana Mandira melakukan praktek. "Tapi klinik ini sebenarnya
bukan hanya untuk orang kaya. Kami juga memberikan keringanan
biaya bagi mereka yang kurang mampu," kata Dudung Abdurrachman,
pemimpin klinik. Biaya sekali berobat selama 30 menit cuma Rp
1.000. Seminggu pasien diwajibkan datang dua kali. Rata-rata
sehari 50 pasien ditangani oleh sekitar 10 ahli binawicara,
dibantu mahasiswa yang tengah praktek. Klinik mempunyai 14 ruang
periksa, termasuk tiga ruang kelas yang bisa disulap menjadi
ruang praktek.
Soal lama penyembuhan, sepenuhnya tetgantung pada jenis kelainan
suara yang diderita, berat ringan kerusakan dan semangat pasien
untuk sembuh. "Pasien yang menderita kelainan suara sebagian
besar bisa disembuhkan," kata Dudung.
Untuk memilih cara penyembuhan yang tepat, ahli bina wicara
melakukan pemeriksaan jenis kelainan. Mereka memerlukan bantuan
ahli saraf dan psikolog. Jenis kelainan yang bisa disembuhkan
yaitu kelainan bahasa (delayed speech), terlambat berbicara
karena kerusakan otak, kelainan irama seperti gagap atau lidah
kaku dan bisu akibat tuli sejak kecil. Sebagian besar pasien
berusia di bawah 12 tahun. "Karena itu pemberian terapi
dipadukan dengan metode bermain," kata Dudung. Cara itu
diajarkan kepada mahasiswa selama belajar di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini