RUU Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara) bak
buah simalakama di saat-saat akhir masa aIatan DPR sekarang
ini. Di satu pihak, Peradilan Administrasi itu sudah lama
ditunggu dan diharapkan. Tapi di pihak lain rancangan yang
diajukan Menteri Kehakiman Ali Said itu ternyata masih punya
kekurangan yang cukup berarti bagi beberapa anggota DPR.
"Pemerintah tampaknya tidak sepenuh hati membrikan peradilan
itu -- sebelah tangan memberi dan sebelahnya menarik kembali,"
ujar seorang juru bicara fraksi di DPR.
Keberatan yang umumnya diajukan fraksi-fraksi DPR adalah,
putusan pemerintah macam apa yang masuk keputusan tata usaha
negara yang bisa digugat keabsahannya melalui Peradilan
Administrasi. Pasal 1 dari RUU itu hanya membatasi pada suatu
keputusan tertulis. "Bagaimana dengan keputusan tak tertulis?"
tanya Ali Tamin, jurubicara Fraksi Persatuan Pembangunan. Sebab.
katanya, banyak sekali keputusan atau instruksi pemerintah yang
disampaikan secara lisan, bahkan melalui telepon.
Hampir senada dengan Ali Tamin rekannya Adipranoto dari FDI
mempersoalkan pula kebijaksanaan seorang pejabat untuk ikut
dimasukkan sebagai tindakan tata usaha negara. "Dan
kebijaksanaan sering tidak tertulis," ujar Adipranoto. Sedang
Albert Hasibuan, jurubicara FKP, tidak hanya mempersoalkan
kebijaksanaan atau keputusan yang tidak tertulis. "Tapi juga
keputusan-keputusan yang dikeluarkan tidak memakai nama
keputusan, misalnya surat perintah," kata Albert.
Di luar DPR, kekecewaan serupa juga dikemukakan Ketua Umum DPP
Peradin (organisasi advokat), Harjono Tjitrosubono. Ia melihat
banyak pembatasan terhadap hak rakyat, di RUU itu. Selain pasal
1 itu, ketentuan bahwa keputusan pemerintah (tata usaha negara)
yang menyangkut kepentingan umum tidak bisa digugat, juga
dinilai Harjono sebagai pembatasan. "Di mana batas kepentingan
umum itu? tanyanya. Seharusnya menurut pengacara ini, hal itu
diserallkan ke pengadilan dan tidak perlu dibatasi dalam
undang-undang. Banyaknya pembatasan dalam RUU itu menyebabkan,
"RUU itu tidak sehebat namanya. Seperti daging setelah dipotong,
didendeng, kemudian dipotong-potong lagi, hingga habis," kata
Harjono.
Seperti halnya KUHAP, ia juga kecewa dengan ketentuan peralihan
dari RUU itu, (pasal 46). Ayat 2 pasal itu menyebutkan, semua
sengketa yang selama ini tidak diadili peradilan umum secara
bertahap akan diserahkan kepada Peradilan Administrasi dengan
peraturan pemerintah . . . dstnya. "Jadi pemerintah nanti yang
menentukan prioritas bidang sengketa yang akan diselesaikan
Peradilan Administrasi," tambah Harjono lagi. Padahal, menurut
pengacara itu, apa yang diprioritaskan pemerintah belum tentu
sesuai dengan kebutuhan masyarakat di waktu itu.
Kritik pengacara itu, sebenarnya sudah disalurkan fraksi-fraksi
DPR lewat pemandangan umum pertengahan Juli lalu. Ali Tamin
misalnya keberatan kalau hakim administrasi itu seperti
disebutkan RUU, minimal berumur 25 tahun. "Mereka bisa kalah
wibawa," ujar Ali Tamin. Alasannya, pihak yang akan diadili itu
adalah pejabat-pejabat yang sudah berpengalaman, berkedudukan
dan mungkin "berkantung tebal". Sebab itu, ia mengusulkan hakim
itu diangkat dari hakim yang sudah pensiun atau pejabat-pejabat
yang juga sudah pensiun.
ALI Tamin melihat soal yang lebih penting lagi adalah
pengangkatan hakim peradilan itu oleh Departemen Kehakiman --
dan berarti pegawai negeri. Karena mereka akan mengadili
pemerintah, "ini bisa mempengaruhi kebebasan hakim," kata Ali
Tamin. Atau seperti dikeluhkan Harjono, "bagaimana kalau suatu
ketika yang dituntut itu Menteri Kehakiman?"
Pihak pemerintah, Menteri Kehakiman Ali Said dalam pemandangan
umumnya, 21 Juni lalu, agak luwes menanggapi keberatan-keberatan
itu. "Pemerintah akan memberikan perhatian khusus atas
terjaminnya obyektivitas hakim itu," jawab Ali Said. Ia tak
menjelaskan caranya lebih lanjut.
Ia juga menjanjikan, keberatan anggota DPR mengeai istilah
keputusan tertulis bisa dibicakan dalam pembicaraan tingkat
yang lebih lanjut bulan Agustus nanti. Hanya saja, Ali Said
tetap bertahan, keputusan pemerintah yang tidak tertulis dan
dianggap melanggar hukum tidak bisa diajukan ke Peradilan
Administrasi. Ia menunjuk alamat bagi sengketa semacam itu pada
peradilan umum, seperti selama ini.
Seperti lazimnya, Ali Said yang pandai bersilat kata itu dengan
tangkas menjelaskan arti "keadaan mendesak untuk melindungi
kepentingan umum". "Contohnya ada bencana alam atau wabah yang
memaksa pemerintah cepat bertindak," kata Ali Said. Tapi segera
ditambahkannya, tindakan cepat pemerintah itu tidak selalu harus
dihubungkan dengan keadaan bahaya itu. Dan perincian kepentingan
umum itu, ia tetap menunjuk pada isi RUU yaitu: kepentingan
bangsa, negara, masyarakat atau kepentingan rakyat bersama.
Perincian yang masih tetap kabur bagi anggota DPR.
Tapi bagaimanapun juga hampir semua anggota DPR sepakat
menyambut positif RUU yang diajukan pemerintah itu. "Secara umum
RUU itu sudah memadai," kata Ali Tamin. Keberatan-keberatan yang
ada, "sepanjang pengalaman saya, bisa diselesaikan dalam
lobbying," harap Ali Tamin. Albert Hasibuan sepakat RUU itu
harus digolkan juga di masa sidang DPR yang tinggal sekitar
sebulan lagi. "Sebab Peradilan Administrasi tidak kalah penting
dibanding KUHAP," kata Albert.
Sikap yang sama juga ditunjukkan Harjono Tjitrosubono. "Selama
ini rakyat ada hak, tapi tidak dilindungi," katanya. Ia melihat,
selama ini banyak tindakan pemerinuh yang merugikan rakyat.
"Misalnya sertifikat tanah yang kembar tiga, atau kebijaksanaan
perdagangan yang selalu berubah," katanya. Kerugian yang selama
ini tidak bisa dituntut rakyat melalui peradilan umum,
diharapkan dapat berjalan melalui Peradilan Administrasi. "Asal
saja jalan itu bukan jalan semut," gurau Harjono.
Jalan semut atau tidak, yang jelas jalan ke Peradilan
Administrasi itu masih panjang. "Jika pun RUU ini gol, peradilan
itu belum dengan sendirinya berjalan, karena harus pula
dilengkapi dengan hukum acara dan peraturan pelaksanaannya,"
tutur Albert Hasibuan. Dan "peraturan pelaksanaan itu bisa saja
10 tahun kemudian," sambung Ali Tamin. Sebab itu seorang anggota
DPR yanglain khawatir, tidak lengkap dan kaburnya RUU itu,
"karena pemerintah memang belum siap."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini