Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Simalakama yang terpotong-potong

Beberapa tanggapan mengenai RUU peradilan adminstrasi, yang kini sedang dibahas di DPR. diangap masih banyak kekurangannya. meskipun demikian, semua anggota DPR menyambut positif. (hk)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara) bak buah simalakama di saat-saat akhir masa aIatan DPR sekarang ini. Di satu pihak, Peradilan Administrasi itu sudah lama ditunggu dan diharapkan. Tapi di pihak lain rancangan yang diajukan Menteri Kehakiman Ali Said itu ternyata masih punya kekurangan yang cukup berarti bagi beberapa anggota DPR. "Pemerintah tampaknya tidak sepenuh hati membrikan peradilan itu -- sebelah tangan memberi dan sebelahnya menarik kembali," ujar seorang juru bicara fraksi di DPR. Keberatan yang umumnya diajukan fraksi-fraksi DPR adalah, putusan pemerintah macam apa yang masuk keputusan tata usaha negara yang bisa digugat keabsahannya melalui Peradilan Administrasi. Pasal 1 dari RUU itu hanya membatasi pada suatu keputusan tertulis. "Bagaimana dengan keputusan tak tertulis?" tanya Ali Tamin, jurubicara Fraksi Persatuan Pembangunan. Sebab. katanya, banyak sekali keputusan atau instruksi pemerintah yang disampaikan secara lisan, bahkan melalui telepon. Hampir senada dengan Ali Tamin rekannya Adipranoto dari FDI mempersoalkan pula kebijaksanaan seorang pejabat untuk ikut dimasukkan sebagai tindakan tata usaha negara. "Dan kebijaksanaan sering tidak tertulis," ujar Adipranoto. Sedang Albert Hasibuan, jurubicara FKP, tidak hanya mempersoalkan kebijaksanaan atau keputusan yang tidak tertulis. "Tapi juga keputusan-keputusan yang dikeluarkan tidak memakai nama keputusan, misalnya surat perintah," kata Albert. Di luar DPR, kekecewaan serupa juga dikemukakan Ketua Umum DPP Peradin (organisasi advokat), Harjono Tjitrosubono. Ia melihat banyak pembatasan terhadap hak rakyat, di RUU itu. Selain pasal 1 itu, ketentuan bahwa keputusan pemerintah (tata usaha negara) yang menyangkut kepentingan umum tidak bisa digugat, juga dinilai Harjono sebagai pembatasan. "Di mana batas kepentingan umum itu? tanyanya. Seharusnya menurut pengacara ini, hal itu diserallkan ke pengadilan dan tidak perlu dibatasi dalam undang-undang. Banyaknya pembatasan dalam RUU itu menyebabkan, "RUU itu tidak sehebat namanya. Seperti daging setelah dipotong, didendeng, kemudian dipotong-potong lagi, hingga habis," kata Harjono. Seperti halnya KUHAP, ia juga kecewa dengan ketentuan peralihan dari RUU itu, (pasal 46). Ayat 2 pasal itu menyebutkan, semua sengketa yang selama ini tidak diadili peradilan umum secara bertahap akan diserahkan kepada Peradilan Administrasi dengan peraturan pemerintah . . . dstnya. "Jadi pemerintah nanti yang menentukan prioritas bidang sengketa yang akan diselesaikan Peradilan Administrasi," tambah Harjono lagi. Padahal, menurut pengacara itu, apa yang diprioritaskan pemerintah belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat di waktu itu. Kritik pengacara itu, sebenarnya sudah disalurkan fraksi-fraksi DPR lewat pemandangan umum pertengahan Juli lalu. Ali Tamin misalnya keberatan kalau hakim administrasi itu seperti disebutkan RUU, minimal berumur 25 tahun. "Mereka bisa kalah wibawa," ujar Ali Tamin. Alasannya, pihak yang akan diadili itu adalah pejabat-pejabat yang sudah berpengalaman, berkedudukan dan mungkin "berkantung tebal". Sebab itu, ia mengusulkan hakim itu diangkat dari hakim yang sudah pensiun atau pejabat-pejabat yang juga sudah pensiun. ALI Tamin melihat soal yang lebih penting lagi adalah pengangkatan hakim peradilan itu oleh Departemen Kehakiman -- dan berarti pegawai negeri. Karena mereka akan mengadili pemerintah, "ini bisa mempengaruhi kebebasan hakim," kata Ali Tamin. Atau seperti dikeluhkan Harjono, "bagaimana kalau suatu ketika yang dituntut itu Menteri Kehakiman?" Pihak pemerintah, Menteri Kehakiman Ali Said dalam pemandangan umumnya, 21 Juni lalu, agak luwes menanggapi keberatan-keberatan itu. "Pemerintah akan memberikan perhatian khusus atas terjaminnya obyektivitas hakim itu," jawab Ali Said. Ia tak menjelaskan caranya lebih lanjut. Ia juga menjanjikan, keberatan anggota DPR mengeai istilah keputusan tertulis bisa dibicakan dalam pembicaraan tingkat yang lebih lanjut bulan Agustus nanti. Hanya saja, Ali Said tetap bertahan, keputusan pemerintah yang tidak tertulis dan dianggap melanggar hukum tidak bisa diajukan ke Peradilan Administrasi. Ia menunjuk alamat bagi sengketa semacam itu pada peradilan umum, seperti selama ini. Seperti lazimnya, Ali Said yang pandai bersilat kata itu dengan tangkas menjelaskan arti "keadaan mendesak untuk melindungi kepentingan umum". "Contohnya ada bencana alam atau wabah yang memaksa pemerintah cepat bertindak," kata Ali Said. Tapi segera ditambahkannya, tindakan cepat pemerintah itu tidak selalu harus dihubungkan dengan keadaan bahaya itu. Dan perincian kepentingan umum itu, ia tetap menunjuk pada isi RUU yaitu: kepentingan bangsa, negara, masyarakat atau kepentingan rakyat bersama. Perincian yang masih tetap kabur bagi anggota DPR. Tapi bagaimanapun juga hampir semua anggota DPR sepakat menyambut positif RUU yang diajukan pemerintah itu. "Secara umum RUU itu sudah memadai," kata Ali Tamin. Keberatan-keberatan yang ada, "sepanjang pengalaman saya, bisa diselesaikan dalam lobbying," harap Ali Tamin. Albert Hasibuan sepakat RUU itu harus digolkan juga di masa sidang DPR yang tinggal sekitar sebulan lagi. "Sebab Peradilan Administrasi tidak kalah penting dibanding KUHAP," kata Albert. Sikap yang sama juga ditunjukkan Harjono Tjitrosubono. "Selama ini rakyat ada hak, tapi tidak dilindungi," katanya. Ia melihat, selama ini banyak tindakan pemerinuh yang merugikan rakyat. "Misalnya sertifikat tanah yang kembar tiga, atau kebijaksanaan perdagangan yang selalu berubah," katanya. Kerugian yang selama ini tidak bisa dituntut rakyat melalui peradilan umum, diharapkan dapat berjalan melalui Peradilan Administrasi. "Asal saja jalan itu bukan jalan semut," gurau Harjono. Jalan semut atau tidak, yang jelas jalan ke Peradilan Administrasi itu masih panjang. "Jika pun RUU ini gol, peradilan itu belum dengan sendirinya berjalan, karena harus pula dilengkapi dengan hukum acara dan peraturan pelaksanaannya," tutur Albert Hasibuan. Dan "peraturan pelaksanaan itu bisa saja 10 tahun kemudian," sambung Ali Tamin. Sebab itu seorang anggota DPR yanglain khawatir, tidak lengkap dan kaburnya RUU itu, "karena pemerintah memang belum siap."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus