BILA selama ini mahasiswa mengadu ke DPR, kini gantian DPR -- dalam hal ini Komisi II -- masuk kampus. Dan ini yang pertama kali terjadi. Komisi II, yang antara lain membidangi hal-hal yang jadi urusan Departemen Dalam Negeri itu, beberapa waktu lalu sempat beken setelah menyelenggarakan dengar pendapat mengenai keterbukaan. Tim Kunjungan Kerja Komisi II DPR yang terdiri 12 orang dan dipimpin Soetardjo Soerjo Goeritno (F-PDI) itu memilih Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mereka ingin mendengar langsung unek-unek para mahasiswa. Di antara mereka tampak Imam Sudarwo (F-KP), Nyonya Aisyah Amini (F-PP), dan Nyonya Roekmini Kusuma Astuti Soedjono (F-ABRI). Tatap muka itu Selasa malam lalu dilangsungkan di Balai Senat Kampus Bulaksumur, dipandu oleh Rektor UGM Koesnadi Hardjasoemantri. Semula para mahasiswa tampak curiga, tapi, berkat panduan Rektor UGM, dengar pendapat itu jadi lancar dan santai. Malah ada mahasiswa yang tampil dengan pertanyaan menggelitik: "Kenapa sekarang datang mendekati mahasiswa? Apakah karena citra parpol sudah tidak populer di mata mahasiswa?" Dengan tangkas Nyonya Roekmini, yang ketika mengintrodusir perlunya keterbukaan tempo hari cukup vokal, segera menangkis. "Bukan kali ini saja saya memantau UGM, sebab seminggu sekali saya pulang ke Yogya. Tolong, janganlah hanya berpikiran negatif. Marilah kita belajar berpikir positif," kata Roekmini, yang memang asal Yogya itu. Pertemuan 2,5 jam itu memang dimaksudkan mencari masukan mengenai beberapa kejadian di Yogya selama Agustus-September lalu, termasuk bentrokan antara aparat keamanan dan beberapa mahasiswa UGM di Jalan Kusumanegara awal bulan lalu. Ketika itu para mahasiswa bermaksud menemui pimplnan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menyampaikan apa yang mereka sebut "kesewenangan dalam proses peradilan". Yang dimaksud ialah persidangan dua tersangka tindak subversi Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono, yang dijatuhi hukuman 8 dan 7 tahun penjara karena memiliki dan mengedarkan buku terlarang. Para mahasiswa menyatakan bahwa keterangan saksi ahli, yang mestinya bisa dijadikan pertimbangan, sama sekali tidak disinggung dalam amar tuntutan jaksa maupun putusan hakim. Mengenai bentrokan itu sendiri, Rektor UGM menyayangkannya, "Padahal, juga tidak dikehendaki oleh aparat keamanan maupun mahasiswa, dan kejadian itu bukanlah polcy pimpinan Angkatan," katanya. Dan ketika Aisyah Amini memberitahukan bahwa ada mahasiswa yang mengadu ke DPR -- menyatakan bahwa yang diadili adalah kebebasan ilmiah -- segera Rektor membantah. Mengenai kebebasan ilmiah, kata Rektor, para dosen dan mahasiswa UGM cukup vokal. "Kebebasan ilmiah tetap ada, sedang yang disidangkan adalah masalah lain, yaitu masalah subversi," katanya. Seperti menggugat, seorang mahasiswa menyatakan, selama ini mahasiswa mengangkat masalah tanah -- seperti kasus Kacapiring, Badega, dan Kedungombo karena khawatir hal itu akan dimanfaatkan oleh komunis bila tidak ditangani secara tuntas. Tapi sebaliknya justru gerakan mahasiswa dituduh subversi. Usai pertemuan, Roekmini menyatakan, wakil rakyat harus peduli, kok ada masyarakat -- termasuk mahasiswa -- yang merasa belum tersalur aspirasinya, sehingga mereka resah, sumpek. Padahal, sebagai kelompok cendekiawan, mereka cukup potensial. Kesimpulan para wakil rakyat: "Melalui dialog seperti ini, kami berusaha merealisasikan keterbukaan yang pernah dilontarkan Komisi II tempo hari," kata Soetardjo. BSH dan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini