Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bom siapa lagi?

Puluhan orang sudah dimintai keterangan. Beberapa sempat ditahan dan diduga pelaku yang meledakkan candi Borobudur. Tapi dilepaskan lagi. Siapa pelaku sebenarnya? (nas)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELEDAKAN candi Borobudur masih terus diselubungi misteri. Hampir dua pekan berlalu, sejak peledakan yang menggemparkan pada Minggu malam 20 Januari itu. Dan selubung terbesar tetap itu: siapa pelaku peledakan tersebut, dan apa motivasinya? Hingga Senin pekan ini, aparat keamanan belum menahan seorang pun tersangka. Beberapa media massa memang memberitakan penahanan dua tersangka pelaku pekan lalu. Tapi Pangdam VII/Diponegoro Mayjen Soegiarto membantah. "Itu tidak benar. Sumber mana yang mengatakan itu?" katanya pekan lalu. Sekitar 57 orang memang telah dipanggil dan didengar keterangannya, tapi siapa para pelaku peledakan masih samar-samar. Laksusda Ja-Teng/DIY telah membentuk tim khusus untuk melacak peledakan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan. Jumat siang pekan lalu, misalnya, sekitar 70 orang tukang potret amatir, yang setiap hari beroperasi di candi Borobudur, dikumpulkan di Kantor Kecamatan Borobudur. Ikut hadir Letnan Kolonel Murwanto, komandan Kodim 0705 Magelang. Tujuan pertemuan: mencari keterangan dari para Mat Kodak itu, kalau-kalau ada yang melihat pengunjung yang gerak-geriknya mencurigakan pada 20 Januari lalu. "Sebagai tukang potret, tentu mata Anda semua lebih tajam dibanding kami. Saudara-Saudara tentu juga lebih hafal terhadap gerak-gerik pengunjung. Nah, siapa di antara kalian yang merasa melihat pengunjung yang agak mencurigakan dan kelihatan mengunjungi candi lebih dari sekali, harap bersedia memberikan keterangan," kata Murwanto. Usai pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, imbauan yang sama diserukan kepada sekitar 40 tukang ojek yang juga dikumpulkan. Hasil pertemuan: enam tukang potret dan tujuh tukang ojek bersedia memberikan keterangan. Dari para tukang potret itu diperoleh keterangan: ada tiga orang yang dicurigai. "Ketiga orang itu tampak datang ke candi lebih dari sekali, dan kelihatannya seperti tanpa tujuan," kata Lettu. A. Soeyoko, danramil Borobudur. "Mereka juga tampak datang sendiri-sendiri, dan seperti banyak mengamati candi." Ciri ketiganya: yang seorang bertubuh sedang, kulit sawo matang, rambut keriting, berewokan, dan wajahnya mirip keturunan Arab. Seorang lagi bertubuh tinggi besar, bercambang, dan mengenakan seragam Korpri. Yang ketiga bertubuh gemuk pendek dan memakai celana jin biru. "Walau baru sampai pada ciri-ciri fisik saja, itu akan dipakai sebagai bekal pelacakan," kata Murwanto. Dari informasi ini, pihak keamanan membuat sketsa wajah orang yang dicurigai itu. "Ketika saya tunjukkan pada Poyo Supriyo, pemilik losmen Borobudur, ia menjawab inggil (ya)," ujar Murwanto. Menurut Mayor Trimanto M., kepala staf Kodim Magelang, sketsa ini telah disebarIuaskan di kalangan petugas dan pihak imigrasi. Deskripsi ketiga orang yang dicurigai itu memang cocok dengan gambaran yang dilukiskan Poyo Supriyo, pemilik losmen Borobudur. Mereka diketahui datang ke losmen itu untuk menginap pada Sabtu 19 Januari. Kecurigaan pada mereka menguat setelah di kamar yang pernah mereka tinggali ditemukan potongan kabel merah, berdiameter 1 mm, di bawah kasur. "Mereka memang profesional, sampai sidik jari pun tidak ditemukan," kata Murwanto. Pemeriksaan kabel dilakukan di Labkrim Polda Ja-Teng, di kampus Akademi Kepolisian, Candi, Semarang. Hasilnya: "Potongan kabel itu, jenis, warna, dan diameternya persis sama dengan yang terpasang pada dua dinamit yang dapat dijinakkan," kata sebuah sumber TEMPO. Jenis kabel itu ternyata tak dijual di kawasan Borobudur dan Muntilan. Hingga disimpulkan: para pelakunya bukan penduduk setempat. Pelaku peledakan itu diduga lima orang. Mereka datang dari jurusan Yogyakarta, menggunakan mobil sedan. "Tapi merk, nomor polisi, dan warna mobil itu belum diketahui," kata Letkol Murwanto pada TEMPO Minggu sore lalu. Dari lima orang itu, baru satu yang diketahui namanya. Murwanto menolak mengungkapkannya. Para pelaku itu tiba di Borobudur Sabtu pagi, 19 Januari, pukul 07.00. Mereka tidak langsung ke penginapan, tapi berusaha naik candi seperti pengunjung lainnya. Karena salah seorang di antara mereka membawa tas punggung yang cukup besar, petugas satpam meminta tas itu dititipkan ke tempat penitipan. Di Borobudur, pengunjung memang dilarang membawa tas, tongkat, makanan, minuman, spidol, bolpoin, dan barang lain yang bisa merusakkan atau mengotorkan candi. Rupanya, mereka menolak, dan langsung menuju losmen Borobudur yang terletak di timur candi. Dan ternyata dari lima yang dicurigai itu hanya tiga orang yang kemudian menginap. Identitas ketiganya ternyata lupa ditanyakan Poyo Supriyo, pemilik losmen. "Ternyata, bukan kali itu saja identitas tamu losmen tidak dicatat," kata Murwanto menyesalkan. Losmen itu terletak sekitar 700 meter dari candi, dan memiliki delapan kamar, yang tarifnya Rp 5.000 semalam. Tiga orang yang dicurigai itu menginap di kamar nomor 1, yang hingga Senin lalu masih disegel pihak keamanan. Dari kamar ini sisi timur candi Borobudur tampak jelas. Di kamar inilah petugas keamanan menemukan potongan kabel yang mencurigakan itu. Belum jelas di mana dua dari lima orang itu menginap. Mereka tidak ikut menginap di losmen Borobudur. "Mungkin karena takut mobil mereka diketahui nomornya," kata Murwanto. Tugas kedua orang itu diduga mengantar-jemput ketiga temannya. Sabtu dan Minggu siang, kelimanya diketahui makan bersama di restoran dekat pasar Borobudur. Minggu malam 20 Januari, sekitar pukul 20.00, ketiga orang itu meninggalkan losmen dengan tujuan yang tidak diketahui. Lima setengah jam kemudian, bom waktu pertama menghancurkan salah satu stupa candi. Diduga mereka menuju arah Purworejo. "Kami sudah melacak ke Purworejo, Sabtu kemarin, tapi hasilnya masih nihil," ucap Letkol Murwanto. Diperkirakan mereka ini melarikan diri ke daerah Jawa Barat. Siapa mereka? "Yang jelas, bukan orang Borobudur," ujar Dandim mengelak. Apa motivasi peledakan Borobudur? Menurut seorang anggota tim khusus yang dibentuk Laksusda Ja-Teng/DIY, ada tiga motif yang diusut tim. Motif pertama: buntut ganti rugi pembebasan tanah yang dijadikan Taman Wisata Candi Borobudur. Kedua, ketidakpuasan para buruh yang semula bekerja dalam rehabilitasi candi, yang terpaksa menganggur setelah rehabilitasi selesai pada awal 1983. Dua dugaan itu, setelah diteliti, tipis kemungkinannya. Alasannya, mereka yang tidak puas atas ganti rugi tanah atau yang pernah bekerja sewaktu pemugaran - umumnya mereka masyarakat yang tinggal di sekitar candi - pengetahuannya relatif rendah. "Hingga tampaknya mustahil kalau mereka protes dengan meledakkan stupa, menggunakan bom waktu yang memerlukan pemikiran njlimet," kata sumber itu. Ada alasan lain. Biaya pembuatan bom waktu cukup mahal. Menurut sumber tadi, biaya pembuatan satu bom waktu sekitar Rp 200 ribu. Ini berarti untuk 11 bom (dua di antaranya tidak meledak), diperlukan biaya sekitar Rp 2,2 juta. Masyarakat setempat diduga bdak mampu mengeluarkan biaya sebesar itu. Walau demikian, pihak keamanan rupanya tidak menutup kemungkinan ada pihak ketiga yang menunggangi. "Artinya, orang ketiga tadi memiliki dana dan tenaga teknis untuk melaksanakan peledakan, sedang orang yang tidak puas dengan pemugaran dan pembebasan tanah bertindak sebagai penunjuk jalan," sumber yang sama menjelaskan. Dugaan ketiga adalah motif politis. Maksudnya, candi Borobudur dianggap sebagai lambang pemujaan, alias berhala. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan, banyak orang yang percaya bila mereka berhasil memegang tangan salah satu patung Budha dalam stupa di tingkat 4 - yang oleh masyarakat sering disebut Kunta-Bima mereka akan mendapat pahala. Di pantat patung ini ditemukan bom yang dirakit dengan empat batang dinamit. Padahal, di stupa lainnya, yang juga selamat, bom waktunya hanya terdiri dari dua batang dinamit. Bom di patung Kunta-Bima ini disetel akan meledak pukul 14.00, Senin siang, tapi bisa dijinakkan beberapa jam sebelumnya. "Mereka ingin menghancurkan Kunta-Bima yang dianggap berhala," kata sumber itu. Menurut anggota tim khusus itu, dugaan ketiga ini cukup kuat, walau belum diketahui golongan mana yang melakukannya. "Kalau golongan yang melakukan peledakan itu ingin diketahui eksistensinya, pasti sudah ada yang mengklaim bertanggung jawab atas ledakan itu. Tapi ini kok tidak," katanya. Inilah salah satu hal yang membingungkan tim untuk melacak para pelakunya. Tentu saja, di samping ketiga dugaan itu muncul juga banyak teori lain. Misalnya yang dikemukakan E.Z. Muttaqien, ketua Majelis Ulama Indonesia. Ia menduga, peledakan itu merupakan pelampiasan ketidakpuasan. "Peledakan itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak puas oleh kerusakan nilai atau kemerosotan moral yang merajalela sekarang ini. Mereka marah kepada pemerintah atau seluruh agama, karena pemerintah maupun kalangan agama dianggap tak mampu mengatasi kerusakan dan kemerosotan itu, seperti merajalelanya tindakan sadistis, pembunuhan, korupsi, atau kumpul kebo. Kalangan agama dianggap jaminan terakhir, setelah kalangan politik, yang akan bisa mengatasi kebejatan moral ini," ujarnya. Bila betul peledakan itu merupakan pelampiasan ketidakpuasan, mengapa sasarannya candi Borobudur? Borobudur sebetulnya kini lebih merupakan monumen budaya daripada monumen agama. Candi ini digolongkan monumen mati. Tatkala ditemukan kembali pada 1814, candi ini tidak dipergunakan lagi untuk acara ritual. "Penduduk setempat waktu itu tidak menggubrisnya sama sekali," kata Ny. Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan Departemen P & K. Dan pemerintah, menurut Haryati, tidak ingin menghidupkan monumen yang mati itu. Sejak selesai pemugaran, pemerintah tak mengizinkan candi ini dipakai upacara Waisyak. (Lihat: Bagian 11). Teror terhadap tcmpat suci agama sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Pada Oktober 1976, Timzar Zubil, tokoh Komando Jihad, meledak-kan Masjid Nurul Iman di Padang. Kemudian ia juga meledakkan Gereja Metodis, Medan. Pada 1980, sebuah bom mengguncangkan Masjid Istiqlal, Jakarta. Motivasi peledakan itu belum pernah diungkapkan secara jelas. Tapi diduga tujuan utamanya untuk memancing pertentangan antaragama. Apakah dalam peledakan Borobudur terkait tujuan untuk memancing pertentangan agama? Walau saat ini umat Budha di Indonesia terpecah dalam tujuh aliran, dan sekalipun tampaknya ada ketidakpuasan atas larangan penggunaan Borobudur sebagai tempat ibadat, tampaknya kecil sekali kemungkinan candi itu diledakkan umat Budha sendiri. Motivasi sebenarnya di balik peledakan Borobudur mungkin sekali baru akan terungkap bila para pelakunya tertangkap. Aparat keamanan sendiri, sejauh ini, tampaknya memang tetap condong menduga motivasi peledakan Borobudur bersifat politis. Pemugaran Borobudur dan pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), memang mengecewakan cukup banyak orang. Misalnya 381 keluarga yang digusur demi pembangunan taman wisata seluas 85 hektar itu. Pelaksanaan pembangunan ini sampai tertunda dua tahun, karena sebagian pehduduk bertahan keras untuk tidak pindah akibat harga pembebasan tanah dinilai terlalu rendah. Sebagian penduduk merasa terteror tatkala aliran listrik ke rumah para penentang diputus. Belasan penduduk yang tidak bisa menulis dibawa ke kelurahan, dan dipaksa membubuhkan cap jempol pada pernyataan setuju dipindahkan ke pemukiman baru. Perlawanan 52 keluarga yang mencoba bertahan patah, setelah pada 27 Juli 1983, 27 hari sebelum batas akhir penyerahan tanah, ditemukan sesosok mayat yang tidak dikenal di dekat rumah salah seorang pembangkang. Mereka menganggapnya sebagai isyarat dan ancaman buat yang masih membandel. Persis pada batas waktu 31 Juli 1983, pembebasan tanah pun beres. Pembangunan TWCB menggusur juga rezeki banyak orang, terutama ratusan pemilik warung makanan dan penjual souvenir yang sebelumnya hidup dari Borobudur. Para penjaja souvenir, misalnya, kini harus kucing-kucingan dengan para petugas satpam TWCB berseragam biru, yang selalu mengusir mereka jika kelihatan mendekati turis. Kendati begitu, Sudjadi, 60, kepala unit PT TWCB, berharap keadaan seperti itu akan berakhir bila para penjaja itu sudah ditampung. April depan, 100 kios yang dibangun TWCB akan selesai, hingga bisa menampung sebagian pedagang makanan dan souvenir itu. Sekalipun kecewa terhadap TWCB, para penduduk umumnya sedih atas terjadinya peledakan candi. "Kok, ada orang yang tega meledakkan itu," kata Pak Setro, yang pernah dianggap salah seorang pembangkang keras. Sedangkan Suchoro, yang dulu ikut mencoreti rumahnya dengan tulisan: "tidak dijual tanah dan rumah", dan pernah dipanggil ke Kantor Kecamatan, menganggap, "Merusak candi Borobudur berarti merusak lumbung padi orang Borobudur." Segera setelah peledakan terjadi, petugas keamanan memang sempat mencurigai Hanung Sudibyo sebagai pelaku peledakan. Alasannya, Hanung, 31, dianggap mengerti bahan peledak, lagi pula ia sedang ada di kawasan Borobudur tatkala peledakan terjadi. Ikut juga sebagai tersangka: Agus Sutarto dan kedua adiknya, Tohir alias Giyanto dan Maryanto. Ketiganya pekan lalu ditangkap di rumahnya di Surabaya oleh Polda Ja-Tim, lalu dibawa ke Polwil Magelang. Hanung bersama Agus Sutarto, sejak 12 Januari, memang bekerja di kawasan Borobudur, dalam pembangunan 2 km jalan di daerah Majaksingi, atas ajakan camat Borobudur. Jalan ini dibangun di daerah bebatuan, hingga memerlukan bahan peledak guna menghancurkan batu-batu itu. Hanung, sarjana muda Fakultas Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, membuat bahan peledak dari campuran potasium chlorat, belerang, dan bekatul. "Lebih tepat kalau disebut merekahkan batu, bukan meledakkan," kata Hanung, setelah dibebaskan, karena alibinya ternyata sangat kuat. Yang lebih sial nasib Agus Sutarto, Tohir, dan Maryanto. Ketiganya, segera setelah ditahan polisi di rumah mereka di Surabaya 25 Januari lalu, sempat diberitakan sebagai tersangka pelaku peledakan Borobudur. Mereka memang ada di Surabaya dalam rangka rencana Agus pindah rumah. Tapi setelah diperiksa di Polwil Magelang, karena mempunyai alibi yang kuat, ketiganya dibebaskan. "Kami sudah diperiksa, dan kini sudah tidak ada apa-apa," tutur Agus, Minggu sore lalu. Mereka sempat dipertemukan dengan Poyo, pemilik losmen Borobudur. "Ternyata, ketiganya bukan pelaku peledakan," kata komandan Kodim Magelang Letkol Murwanto. Sementara para teroris pelaku peledakan terus dikejar, candi Borobudur sendiri makin populer. Itu terlihat dari jumlah pengunjung yang melonjak. Pada hari Minggu lalu, misalnya, jumlah pengunjung tercatat 9.100 orang, padahal pada Minggu sebelumnya jumlahnya paling banyak 5.000 orang. Pada hari pertama setelah candi dibuka lagi untuk umum, Selasa 22 Januari, pengunjung membanjir sampai 2.400 orang, biasanya cuma sekitar 600-700 orang. Banyak pengunjung yang kecewa karena hanya bisa menyaksikan stupa-stupa yang diledakkan di luar batas "daerah tertutup", yang berjarak sekitar 10 meter. "Saya penasaran setelah membaca berita koran, dan memutuskan datang ke candi. Eh, ternyata kerusakannya tak separah yang saya bayangkan. Lega hati saya melihatnya," kata Munir, pengunjung dari Weleri, Semarang. Pengamanan candi, setelah peledakan, juga diperketat. Begitu sebuah mobil "asing" muncul di dekat candi pada malam hari, para tukang ojek segera mengawasi dan membuntuti. SeJumlah tentara juga berjaga-jaga di sudut jalan keluar dari Borobudur. Hingga Senin pekan ini, menurut Kolonel Roni Sikap Sinuraya, komandan Resort Militer Pamungkas, yang membawahkan jajaran Kodim di seluruh Yogyakarta dan Kedu, pihaknya belum menemukan titik-titik terang. "Baru dugaan-dugaan." Aparat keamanan, seperti Polda dan Kodam, baik Ja-Tim, Ja-Bar, maupun DKI Jakarta, juga dikontak tim khusus, untuk dimintai bantuan. "Tim akan terus bekerja keras melacak pelaku itu," kata Roni. Sebuah sumber mengungkapkan, yang kini sedang dilacak adalah peredaran arloji Rotax, yang dipakai sebagai timer peledak. Arloji yang harganya di bawah Rp 10 ribu ini diharapkan bisa mengungkap misteri peledakan Borobudur. Informasi yang ingin digali adalah: Siapa yang membeli sekaligus 11 arloji merk tersebut? Tatkala ditanya wartawan di Jakarta Senin pekan ini, Pangab/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani menganggap bahwa pelaku peledakan Borobudur adalah "orang gila". "Meledakkan candi, apa sih. Di Italia pernah terjadi. Di Israel pernah terjadi. Ternyata, orang gila semua," katanya. Tapi ditambahkannya, orang bertindak ekstrem mungkin karena motif pribadi, politis, atau merasa frustrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus