TIDAK seperti dugaan banyak orang, candi Borobudur ternyata bukan tempat ibadat penganut agama Budha. "Itu adalah monumen kebesaran zaman keagungan umat Budha." kata Senosoenoto, 57, sekjen Perwalian Umat Budha Indonesia Pusat (Walubi). Perwalian ini merupakan federasi dari tujuh aliran Budha yang ada di Indonesia. "Pendapat bahwa Borobudur bukan tempat ibadat itu disepakati semua anggota Walubi," tambah Senosoenoto. Menurut R.S. Soedjas, 67, dosen agama Budha di Universitas Gadjah Mada, buat umat Budha, Borobudur bukan candi, tapi thupa. Istilah candi, katanya, hanya dikenal di kalangan umat Hindu. Thupa (bahasa Sanskerta), selanjutnya disebut stupa, atau dalam bahasa Pali disebut dagoba (pagoda). "Borobudur adalah semacam monumen, untuk memperingati Sang Budha atau orang arhat (suci)," kata Soedjas. Karena itu, sejak dulu sebetulnya Borobudur bukan tempat beribadat, tapi tempat pemujaan dan meditasi. Sedangkan yang dipandang sebagai tempat ibadat adalah candi Mendut, sekitar 3 km dari Borobudur. Menurut Prof. Soekmono, Borobudur mungkin sekali dimaksudkan sebagai tempat ziarah, agar para penganut Budha dapat mencari pengetahuan yang tertinggi. Lorong-lorong yang mengitari seluruh bangunan dan tingkat-tingkat, dimaksudkan sebagai jalan untuk berkeliling sesuai dengan upacara. Dalam perjalanan ini para peziarah seakan dibimbing dan diberi petunjuk relief yang menghiasi dinding dan langkan pada tingkatan yang harus dilalui. Dibangun pada abad VIII oleh WangsaSyailendra, candi Borobudur selama berabad-abad tertimbun tanah, belukar, dan pepohonan, sampai digali dan dibersihkan pertama kali atas perintah Raffles. Waktu ditemukan kembali, candi itu sudah tidak berfungsi apa-apa. "Cuma dianggap sebagai tempat yang angker oleh penduduk. Dan untuk yang tidak menganggap angker, candi itu sumber yang baik untuk bahan bangunan," kata Prof. Dr. Soekmono, 62, guru besar sejarah purbakala di UI, yang menjabat penasihat ahli Konservasi Borobudur. Karena saat itu fungsinya sudah tidak ada bagi masyarakat, candi itu disebut dengan istilah monumen mati. Artinya, sudah tidak berfungsi sesuai dengan fungsinya dulu. Karena itu, menurut Soekmono, Borobudur bukan tempat ibadat, tapi monumen budaya. Soekmono berkisah. Pada 1957, ia ditanya menteri P & K waktu itu, yang dijabat Prijono, mengenai status Borobudur. Prijono menanyakannya untuk menjawab pertanyaan Menteri Agama Wahid Hasjim: Apakah Borobudur tempat ibadat atau monumen budaya? Soalnya, jika candi itu tempat ibadat, berarti masuk wewenang Departemen Agama dan kalau monumen budaya, di bawah wewenang Departemen P & K. Waktu itu Soekmono menegaskan, Borobudur merupakan monumen budaya. Sejak itulah wewenang pengawasannya berada di bawah Departemen P & K. Penetapan itu berakibat besar pada umat Budha. Menurut Soedjas, sejak ditetapkan sebagai monumen budaya dan mulai dipugar, Borobudur tidak diizinkan dipakai sebagai tempat upacara agama Budha. Sebagai tempat ibadat ditunjuk Mendut, yang memang memiliki sarana untuk beribadat, termasuk kamar untuk biksu. Selama puluhan tahun, candi Borobudur dianggap tempat keramat oleh sebagian masyarakat Jawa. Penganut aliran kebatinan, misalnya, sering datang ke Borobudur dengan membawa sesaji. Banyak pula yang meminta pesugihan (kekayaan) di candi ini. Dihidupkannya lagi fungsi Borobudur sebagai tempat upacara kebaktian dan meditasi dimulai pada 27 Mei 1953. Hari itu untuk pertama kalinya upacara Waisyak diadakan di Borobudur. Menurut Hamdhani Wiryana Ks., sekjen DPP Pemudha Budhis Indonesia, rupanya saat itu ada keinginan sebagian umat Budha agar ajaran Budha lebih "berkepribadian Indonesia". Sebelum 1953 Waisyak tak pernah dirayakan, karena ajaran Budha waktu itu masuk dalam Sam Kauw Hwee, gabungan tiga ajaran: Budhis, Taoisme, dan Kong Hu Cu -yang mendominasi. Karena menganggap Kong Hu Cu membawa warna asing dalam ajarannya, The Boan An, ketua Pemuda Theosofi Indonesia mengemukakan gagasan merayakan hari Waisyak di Borobudur. Ide The Boan An, yang kemudian bernama Y.A. MNS. Ashin Jinarakhita Maha Thera, biksu pertama Indonesia, sebenarnya lebih besar: merayakan hari suci Budha di candi-candi nasional dalam rangka mendapatkan identitas kepribadian sendiri, melepaskan diri dari budaya asing. Budhisme pada waktu itu memang belum diakui sebagai agama yang sah di Indonesia. Borobudur dengan begitu dipakai sebagai sarana untuk bersatu. "Salah satu alasan yang dipakai adalah karena Borobudur dianggap mempunyai getaran-getaran sakral," ujar Hamdhani. Langkah Ashin Jinarakhita rupanya tak menyenangkan semua orang. Pada 1956 lahirlah Matakin (Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia). Umat Budha sendiri kemudian terpecah dalam sektesckte, yang kemudian mencoba bergabung dalam Majelis Agung Budha Indonesia (1976), yang kemudian berubah menjadi Walubi (1978). Jumlah umat Budha di Indonesia, menurut data sensus penduduk 1980, tercatat sekitar 1,4 juta. Yang terbanyak di Jakarta (353 ribu) dan Sumatera Utara (325 ribu). Tapi, menurut Udin Tirta, yang menjadi wakil sekjen Walubi, diperkirakan jumlahnya sekitar 10 juta, yang terbanyak di Jawa Tengah selatan. Selama dipugar, sejak awal 1970-an sampai 1983, Borobudur tak diizinkan dipakai untuk upacara Waisyak. Setelah selesai pemugaran, pada Mei 1983 prosesi dari candi Mendut ke Borobudur dalam rangka perayaan Waisyak dicoba dilakukan, tapi gagal. Tahun lalu, 14 Mei 1984, prosesi dari Mendut ke Borobudur juga urung karena tak mendapat izin. Tampaknya, ini mengecewakan banyak umat Budha, hingga muncullah istilah "Borobudur sudah diambil alih pemerintah". Walau begitu, Borobudur masih dijunjung tinggi. "Dengan dianggapnya Borobudur sebagai monumen budaya, artinya Borobudur dianggap tidak sakral lagi, tapi hanya obyek pariwisata. Kami umat Budha menyerah saja, tapi dalam batin masih tetap memuja Borobudur," kata Romo Soedjas. Soedjas juga mengkhawatirkan kelangsungan upacara Waisyak, bila hanya terus diselenggarakan di Mendut. "Umat Budha tampaknya lebih suka merayakannya di rumah masing-masing. Bisa lama-lama upacara di Mendut itu bubar," katanya. "Kami masih berkeinginan menyelenggarakan upacara Hari Waisyak di Borobudur. Tentu saja, jika diperkenankan pemerintah," tutur Romo Purwo Sularso, 60, anggota Mapan Budi (Majelis Pendeta Budha Darma Indonesia) Yoyakarta. Tatkala Borobudur diledakkan, Romo Purwo merasa tidak begitu kehilangan tempat suci bagi umat Budha. "Saya hanya menyayangkan benda-benda yang hancur," katanya. Sedang Soedjas menganggap peledakan itu perbuatan jahat. "Tapi kami menanggapinya secara pasif saja, karena tempat itu dianggap bukan Budhis lagi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini