Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Bata, Ini Kisah Pilu Bung Hatta Gagal Dapatkan Sepatu Merek Ini hingga Meninggal

Bung Hatta sejak lama mengidamkan sepatu merek Bally. Namun, keinginannya tersebut tidak pernah terealisasi sampai ia meninggal.

8 Mei 2024 | 08.23 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sepatu merek Bata beberapa hari belakangan ini menjadi perbincangan lantaran pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, resmi ditutup setelah 30 tahun beroperasi. Perusahaan ini memiliki sejarah panjang sebagai produsen alas kaki di Indonesia dan internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemunculan Bata di Indonesia dimulai pada 1931. Mulanya, Bata melakukan kerja sama dengan perusahaan kolonial, Netherlandsch-Indisch, sebagai importir sepatu yang beroperasi di Tanjung Priok. Enam tahun kemudian, pabrik pertama didirikan di tengah perkebunan karet di area Kalibata, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbicara mengenai sepatu, ada cerita pilu mantan Wakil Presiden sekaligus pendiri bangsa, Mohammad Hatta. Pria yang kerap disapa Bung Hatta tersebut sejak lama mengidamkan sepatu merek Bally sepanjang hidupnya. Namun, keinginannya tersebut tidak pernah terealisasi sampai ia meninggal. 

Ia pertama kali menemukan gambar sepatu tersebut di iklan koran. Bung Hatta pun menyobek foto sepatu tersebut dan disimpannya di dalam dompet. Kejadian tersebut baru ditemukan terselip di dompetnya saat ditemukan keluarganya setelah Bung Hatta wafat pada 1980. Kertas itu memperlihatkan iklan sepatu Bally, merek sandang berbalut kulit mewah asal Swiss.

Betapa Bung Hatta mengidamkan memiliki sepatu tersebut sampai-sampai gambarnya tersimpan rapi di dompet, seperti pria kasmaran yang meletakkan foto kekasih yang dirindukan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally itu tak terbeli. Padahal, sebagai seorang wakil presiden dan pernah juga menjabat perdana menteri, seharusnya mudah saja bagi Hatta membeli sepatu tersebut.

Bagi Hatta, kehidupan pribadi dan pekerjaannya mesti dipisahkan, termasuk dalam hal fasilitas yang diberikan negara untuknya. Ia pernah memarahi sekretarisnya, I Wangsa Wijaya, karena menggunakan tiga lembar kertas Sekretariat Negara untuk membuat surat kantor wapres.

Hatta kemudian mengganti tiga kertas tersebut dengan uang kas Wakil Presiden. Memang terdengar sepele, tetapi itulah caranya meneguhkan integritas, sesuai dengan pepatah Jerman yang dipegang teguh oleh Hatta “Der Mensch ist, war es iszt”--sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.

Hal ini juga ditanamkan pada putri-putrinya. Suatu kali, Gemala Rabi'ah Hatta yang sempat bekerja sambilan di Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney ketika mendapat beasiswa di Australia berkirim surat kepada ayahnya. Surat itu ternyata menggunakan amplot milik Konsulat dengan cap resmi. Akibatnya, Hatta membalas surat itu dengan nasihat.

"Kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, janganlah pakai kertas Konsulat Jenderal Indonesia. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas," kata Hatta. 

Mohammad Hatta meninggal dunia pada 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum, Tanah Kusir. Sampai akhir hayatnya, Hatta gagal mendapatkan sepatu idamannya. 

ILONA ESTHERINA | HENDRIK KHOIRUL MUHID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus