Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gegap-gempita sorak penonton tepok bulu dalam ajang perebutan piala All England dan Thomas-Uber Cup tak sampai ke Desa Sumengko, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Tak terdengar pula nama-nama besar atlet yang diantarkannya ke pentas mancanegara diperbincangkan. Tapi ketekunan orang-orang Sumengko sulit dipisahkan dari prestasi atlet tepok bulu di negeri ini.
Desa itu dikenal sebagai desa penghasil kok. Pemandangan di teras rumah pasangan Suyadi-Nyamiatun pada Senin pekan lalu merupakan contohnya. Dua perempuan bersimpuh di teras rumah Suyadi-Nyamiatun di Sumengko. Menggenggam gabus berbentuk setengah bola, tangan-tangan mereka layaknya mesin, sangat cekatan menancapkan bulu-bulu angsa di atasnya hingga membentuk sebuah kok badminton. Empat orang lainnya mengoperasikan mesin dan memasang bulu.
Enam orang itu hanya sebagian dari belasan pekerja yang mengerjakan kok pesanan dari Bali. Sebanyak 17 pekerja lainnya mengambil kok-kok itu untuk dijahit di rumah mereka agar tetap bisa merawat anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Kok yang disetor lalu diperiksa kembali satu per satu oleh Nyamiatun, 41 tahun.
Ibu seorang mahasiswa semata wayang itu memastikan tak ada benang dan bulu yang tercerai. Setiap bulu yang tercerai akan digunting sebelum dimasukkan ke kardus kertas berbentuk tabung. Selanjutnya, kok buatan rumahan itu dikirim ke pengepul. Meski hanya dibuat di rumah dan dikerjakan oleh pekerja yang sebagian besar perempuan, kapasitas produksi kok Nyamiatun 100 lusin per hari.
"Ini pekerjaan perempuan. Pekerjaan-pekerjaan halus dan telaten ini lebih cocok dikerjakan perempuan," ujar Nyamiatun. Tak aneh jika Nyamiatun yang memimpin produksi di rumahnya. Suyadi, suaminya, malah pergi ke sawah.
Kok bikinan Sumengko dikirim ke berbagai kota di Bali, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Menurut Nyamiatun, di Sumengko ada lebih dari 50 orang yang menjadi pemilik usaha kok. Masing-masing mempekerjakan tetangga sekitarnya sebagai perajut, pemasang bulu, dan pekerjaan-pekerjaan lain dalam usaha itu. Praktis semua penduduk Desa Sumengko, terutama kaum perempuan, bekerja sebagai pembuat kok. Termasuk Nyamiatun.
Awalnya Nyamiatun bekerja pada pengusaha kok tetangganya. Ia tetap menjadi buruh tetangganya meski telah punya anak. Ia dan suaminya baru memutuskan membangun usaha sendiri pada 2002. Setelah bertahun-tahun mengumpulkan modal, keduanya membeli mesin potong bulu seharga Rp 6 juta dan mesin bor Rp 4,3 juta.
Tak ada tempat khusus untuk membuat kok. Nyamiatun hanya memanfaatkan ruangan di samping rumah untuk mengoperasikan mesin dan merakit kok. Meski begitu, kata dia, tempat usahanya masih jauh lebih baik dibanding tempat tetangganya yang hanya memanfaatkan ruang tamu atau ruang keluarga. Karena itu, ruang kerjanya kerap dikunjungi murid-murid sekolah dasar yang ingin melihat proses pembuatan. "Karena rumah saya ada terasnya," ucap Nyamiatun, lalu tertawa.
Meski telah lama memproduksi kok, hingga kini Nyamiatun tak pernah memberi label atau merek pada kok buatannya. Dia memilih menjual kok kosongan atau tanpa merek. Selain dijual eceran, sebagian besar kok produksinya dipasok ke perusahaan kok yang memiliki merek. Perusahaan-perusahaan itu tinggal memasangi label atau merek sebelum menjualnya ke pasar.
Menurut Nyamiatun, strategi penjualan seperti ini jauh lebih efektif dibanding memberi merek sendiri. Ia tak pede jika harus berkompetisi dengan kok merek lain. Ia tahu kemampuannya terbatas, tak punya infrastruktur untuk melakukan penetrasi pasar. Membuat kok kosongan adalah pilihan termudah karena bisa dibeli siapa saja. Toh, "Permintaan terbanyak dari perusahaan kok bermerek. Pesanannya tak pernah putus."
Pilihan itu bukan tanpa konsekuensi. Tanpa label, harga jual kok kosongan sudah pasti di bawah harga kok bermerek. Kok milik Nyamiatun yang dipasok ke perusahaan dihargai Rp 39 ribu per kardus isi 12 kok. Perusahaan menjualnya kembali ke pasar seharga Rp 49-50 ribu per kardus setelah diberi merek. Selain memberi label, perusahaan membubuhkan lem pada bulu kok agar lebih kuat menancap. Jika pengeleman itu dibebankan kepada pemasok, Nyamiatun harus merogoh Rp 6.000 lagi sebagai ongkos tambahan.
Sejak memulai usaha 12 tahun silam, Nyamiatun mengaku tak pernah menghadapi kendala. Satu-satunya ancaman pada usaha ini adalah terganggunya pasokan bulu angsa, yang menurut dia belum pernah terjadi. Selama ini kebutuhan bulu angsa dipenuhi oleh Sujianto, tetangganya sendiri. Bulu angsanya diimpor dari Taiwan. Alasannya, selain memiliki ukuran lebih panjang dan lebar, bulu angsa Taiwan berwarna putih bersih dibanding bulu angsa lokal.
Lantaran kualitasnya lebih baik, harga bahan baku bulu angsa impor lebih mahal. Menurut Nyamiatun, harga bulu angsa impor itu Rp 3,9 juta untuk sekardus berisi 13,5 kilogram bulu pilihan. Bulu angsa sebanyak itu cukup untuk membuat 150 lusin kok dengan 12 kok per lusin. Dengan harga jual kok Rp 39 ribu per lusin, penghasilan yang diperoleh Nyamiatun Rp 5,85 juta dari sekardus bulu angsa. Pendapatan dari produksi kok tanpa merek ini lancar karena selalu ada pesanan setiap hari.
Berbeda dari Nyamiatun, Sukadi, 52 tahun, tetangga Nyamiatun, memilih memberi label pada produknya. Sukadi berdalih tak akan bisa mempengaruhi pasar jika tetap mengandalkan produk kosongan. "Yang menentukan harga pasar adalah para pemilik merek," katanya.
Atas pertimbangan itu, sejak 1990-an, Sukadi memberi label untuk kok hasil produksinya. Dia menyasar pangsa atas dan pangsa bawah. Untuk pangsa atas, Sukadi menggunakan merek Angsa dengan kualitas bagus. Harganya Rp 45 ribu per lusin. Sedangkan untuk kok dengan kualitas di bawahnya diberinya merek Mitra. Harganya murah meriah. Ada yang Rp 40 ribu, Rp 25 ribu, hingga Rp 20 ribu per lusin.
Dalam satu hari, Sukadi memproduksi sekitar 90 lusin kok. Ia mengakui produksinya tidak sebanyak Nyamiatun. Berbeda dengan kok kosongan, Sukadi hanya memasok kok kepada pelanggan Angsa dan Mitra.
Meski begitu, ia bertahan pada pilihannya. Sukadi membangun merek demi tujuan mewariskan perusahaannya kepada anak-cucunya kelak. "Jika merek sudah terkenal dan memiliki pasar, pengelola hanya tinggal menjaga proses produksi," ucap Sukadi. Hal ini yang tak bisa dilakukan produsen kok kosongan yang harus bekerja keras bersaing dengan produsen kok kosongan yang lain.
Tiap produsen memiliki jaringan pengepul sendiri-sendiri dan bentuk kerja sama berbeda. Yang disepakati hanyalah tidak menggunakan bulu angsa lokal atau ayam sebagai bahan baku kok. Menurut Nyamiatun, bulu ayam memang murah. Tapi, karena kualitasnya buruk lantaran cepat rusak, harga jualnya sangat murah. "Harga jualnya hanya Rp 8.000 per lusin," katanya. Padahal biaya produksinya sama saja dengan kok kualitas baik.
Meski begitu, hal ini tak membuat seorang warga desa itu, Sumiatun, 53 tahun, meninggalkan mata pencarian mencari bulu unggas. Dia bertahan mengumpulkan bulu ayam dari peternak sekitar untuk kebutuhan industri kok. Bulu-bulu ayam tidak dipasok ke tetangganya yang telah fanatik pada bulu angsa impor. Sumiatun mengirimkannya ke sebuah pabrik kok di Solo. "Harganya Rp 20 ribu untuk 1.000 lembar bulu." Karena itu, tak banyak penduduk yang memilih mata pencarian seperti Sumiatun. Lebih baik membuat kok rumahan yang hasilnya jauh lebih menguntungkan.
Endri Kurniawati, Hari Tri Wasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo