Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Paus Fransiskus memiliki kebiasaan bertemu dengan tokoh agama mayoritas di negara yang ia kunjungi. Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Anton Subianto, menambahkan bahwa selain bertemu dengan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, Paus juga bertatap muka dengan para tokoh lintas agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis, 5 September 2024, Paus Fransiskus kemudian menghadiri pertemuan dengan tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal. Di sana, ia menandatangani Deklarasi Istiqlal, sebuah dokumen yang menegaskan komitmen terhadap kerukunan antarumat beragama. Setelah itu, Paus akan memimpin misa akbar untuk umat Katolik di Gelora Bung Karno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan Paus dianggap sebagai tonggak penting dalam memperkuat hubungan antaragama untuk menjaga perdamaian. “Di tengah kondisi global yang masih diwarnai konflik antarnegara, semangat inilah yang seharusnya menjadi dasar bagi setiap hubungan antar-manusia maupun antarnegara,” ujar Menlu Retno Marsudi.
Paus Fransiskus tiba di Indonesia pada 3 September 2024, setelah menempuh penerbangan selama 14 jam dari Roma dengan pesawat Italian Airways. Setelah menyelesaikan kunjungannya di Indonesia, ia akan melanjutkan perjalanan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura.
Sejumlah tokoh lintas agama menyampaikan Deklarasi Istiqlal selama kunjungan Paus di Masjid Istiqlal. Deklarasi ini dibacakan secara bergantian oleh Monsinyur Tri Harsono dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Ismail Cawidu dari Masjid Istiqlal.
Menurut kutipan dari Istiqlal.or.id, isi dari Deklarasi Bersama Istiqlal 2024 adalah sebagai berikut:
Deklarasi Bersama Istiqlal 2024
Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama Untuk Kemanusiaan
1. Fenomena global dehumanisasi ditandai terutama dengan meluasnya kekerasan dan konflik, yang sering kali membawa jumlah korban yang mengkhawatirkan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah agama seringkali diperalat dalam hal ini, sehingga mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang, terutama perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia. Padahal, peran agama harus mencakup peningkatan dan pemeliharaan martabat setiap kehidupan manusia.
2. Eksploitasi manusia atas ciptaan, rumah kita bersama, telah berkontribusi terhadap perubahan iklim, yang menimbulkan berbagai konsekuensi destruktif seperti bencana alam, pemanasan global, dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung ini telah menjadi hambatan bagi kehidupan bersama yang harmonis di antara masyarakat.
Menyikapi kedua krisis tersebut, sambil berpedoman pada ajaran agama masing-masing dan mengakui kontribusi dasar dan falsafah negara “Pancasila” di Indonesia, kami bersama para pemimpin agama lain yang hadir menyerukan hal-hal berikut:
i. Nilai-nilai yang dianut oleh tradisi agama-agama kita harus dimajukan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian yang melanda dunia kita. Sejatinya, nilai-nilai agama harus diarahkan untuk meningkatkan budaya hormat, martabat, belarasa, rekonsiliasi dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan perusakan lingkungan.
ii. Para pemimpin agama khususnya, terinspirasi oleh narasi dan tradisi rohani masing-masing, harus bekerja sama dalam menanggapi krisis-krisis tersebut di atas, mengidentifikasi penyebabnya dan mengambil tindakan yang tepat.
iii. Oleh karena terdapat satu keluarga umat manusia di seluruh dunia, dialog antar umat beragama harus diakui sebagai sebuah sarana yang efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik lokal, regional, dan internasional, terutama konflik-konflik yang dipicu oleh penyalahgunaan agama.
Selain itu, keyakinan dan ritual-ritual agama kita memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia dan dengan demikian menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap martabat manusia.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA I HENDRIK YAPUTRA I FRANCISCA CHRISTY ROSANA