Sepuluh tahun CBSA diperkenalkan. Ada yang menilai bahwa sistem itu gagal. Tapi ada yang sudah menikmati, CBSA bisa mengatrol NEM. SUARA gemuruh riang terdengar dari sebuah ruangan di SD St. Maria Fatima. Sabtu pagi pekan lalu, semua murid kelas VI berjingkrak karena dinyatakan lulus semua dan mencapai NEM (nilai Ebtanas murni) tertinggi- 45,79- untuk wilayah Jakarta Timur. Salah satu pendorong sekolah swasta di kawasan Kampung Melayu itu meraih nilai tertinggi adalah sistem CBSA (cara belajar siswa aktif) yang diterapkan sejak 1987. "Peningkatan NEM memang terlihat setelah CBSA diterapkan," kata Rosalina Kerstina, Kepala SD itu. Sebelum ada CBSA, lima siswa tercatat mendapatkan NEM 30 (rata-rata 6 tiap mata pelajaran). Kini, nilai terendah 35. Sementara itu, murid cerdas yang mendapat nilai lebih dari 45 tahun ini enam orang. Sebelum CBSA, rata-rata tiga orang. Ia menunjuk contoh pelajaran matematika. "Dulu mereka hanya menghafal rumus dan menggunakannya. Sekarang mereka bisa menganalisanya sebelum menghitung," katanya. CBSA, sebagai sistem pendidikan baru, mulai diterapkan sebagai proyek percobaan di Cianjur pada 1980. CBSA, dibandingkan sistem sebelumnya yakni DDCH (duduk, dengar, catat, dan hafal), sangat berbeda. Metodenya lebih menekankan agar siswa aktif menggali masalah dalam diskusi kelompok setelah melakukan riset di perpustakaan, buku bacaan, mencari bahan, dan mempresentasikannya di depan kelas. Guru hanya berfungsi sebagai pengarah dan tak perlu menerangkan berpanjang-panjang. Lihat saja murid-murid SD Ibu Jenab III Cianjur yang sudah memakai CBSA. Pada waktu pelajaran IPA, mereka disuruh berjemur di terik matahari selama tiga menit. Setelah balik ke ruangan, mereka ditanya, mengapa di luar ruangan panas dan di dalam tidak. Sambil mengeringkan keringat, m`reka pun md‰’usikan delompok setelah melakukan riset di perpustakaan, buku bacaan, mencari bahan, dan mempresentasikannya di depan kelas. Guru hanya berfungsi sebagai pengarah dan tak perlu menerangkan berpanjang-panjang. Lihat saja murid-murid SD Ibu Jenab III Cianjur yang sudah memakai CBSA. Pada waktu pelajaran IPA, mereka disuruh berjemur di terik matahari selama tiga menit. Setelah balik ke ruangan, mereka ditanya, mengapa di luar ruangan panas dan di dalam tidak. Sambil mengeringkan keringat, m`reka pun mendi …’ans Meak Parera, telah diterbitkan 36 judul untuk TK, SD 230 judul, SMP 10 judul, dan SMA 14 judul, atau seluruhnya 2,8 juta eksemplar. Dan buku CBSA itu sudah beredar di seluruh Indonesia. "Penyebarannya baru sampai tingkat sekolah replikasi atau kecamatan. Belum sampai ke desa," katanya. Agaknya, untuk memuluskan penerapan CBSA bukan hanya tersedia buku dan berbagai bacaan bagi murid. Guru pun harus paham dan mengubah gayanya mengajar. "Untuk menjelaskan CBSA, kami mengadakan penataran bagi para guru," kata Parera. Dan ternyata, di lapangan, guru untuk CBSA mengalami kemajuan besar. Ini terungkap dalam penelitian Dr. Djam'an Satori, M.A. dari IKIP Bandung di tiga Kecamatan Cianjur yang menerapkan CBSA tahun 1988-90. "Guru mulai punya keyakinan dan kemandirian dalam mengambil alternatif," kata Djam'an. Namun, agaknya tak semua melihat CBSA dengan kaca mata putih. Dr. Anwar Yasin, Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K, menilai CBSA belum optimal. Ia, tanpa menyebut sistem itu gagal, melihat beberapa petunjuk, misalnya peran guru yang cenderung makin dominan. Seharusnya, setelah CBSA jalan, motivasi murid yang menjadi besar, dan peran guru menjadi pengarah saja. Untuk daerah, masalah guru memang menjadi penghambat. Di kota, seorang guru bisa mendapatkan informasi CBSA lewat berbagai jalan. Kecuali buku, media komunikasi, dan perpustakaan, penataran pun secara reguler bisa diikuti. Di daerah, kecuali kebanyakan muridnya "malu-malu", peluang guru mendapatkan pengetahuan tentang CBSA kecil sekali. Ganjalan lain, menurut Anwar Yasin, adalah latar belakang budaya Indonesia yang cenderung membawa anak-anak menjadi "pendengar yang baik", seperti layaknya masyarakat paternalistik. Anak-anak tak boleh membantah atau berargumentasi dengan orangtua. "CBSA mau mengubah masyarakat yang memungkinkan individu dapat mengemukakan pendapat sendiri," ujarnya. Namun, seorang pengamat pendidikan, Pater Drost, melihat salah satu sebab kegagalan CBSA di Indonesia adalah metodenya kurang cocok. Metode CBSA mengandaikan tersedianya fasilitas seperti perpustakaan, buku, dan laboratorium. Juga masyarakat dan lingkungan alam yang bisa diamati para murid. Masalahnya, tak semua sekolah bisa melengkapi semua itu. Drost- ketika sekolah di Negeri Belanda dengan sistem CBSA- justru yakin bahwa sistem tatap muka antara guru dan murid lebih cocok. Ia memberi contoh, di luar negeri bahkan ada anak lulusan SD tak lancar membaca karena terlalu aktif dengan CBSA. "Di luar negeri mulai kembali lagi ke sistem biasa,"' katanya. Gagal atau berhasil, itu semua masih berupa pengamatan sepintas. Belum ada evaluasi menyeluruh. Padahal, Pemerintah telah mencanangkan CBSA harus terlaksana di seluruh Indonesia sekitar 1994. Karena itulah beberapa sekolah gencar melaksanakan CBSA. Ada yang gagal, tapi ada pula yang berhasil. CBSA sebenarnya bercita-cita mulia. Mengajar anak-anak berani berbeda pendapat atau berpikir demokratis dan kritis. Tentunya bukan sebaliknya, menjadi "CBSA" baru, cah bodo soyo akeh (anak bodoh semakin banyak). Liston P. Siregar, Indrawan (Jakarta), dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini