Banyak sekolah mengajarkan muatan lokal sekadar untuk memenuhi jatah kurikulum. Ada guru membagi-bagi kunci jawaban. "SI Kabayan ngala roay, artinya si Kabayan memetik ... apa ya ...," kata Ibu Guru Suryani, pada suatu hari di depan murid kelas 5 SDN III Depok. Karena pikiran ibu guru itu buntu menemukan kata yang tepat untuk roay dalam bahasa Indonesia, maka sekitar 45 muridnya pun mulai berisik. "Masa, Bu guru nggak tahu," ledek murid-muridnya yang buta bahasa Sunda. Suryani mengaku benar-benar sulit mengajar bahasa Sunda di daerah pinggiran Provinsi Jawa Barat seperti Depok. Bayangkan, dari 12 kelas yang rata-rata terisi 45 siswa, hanya dua sampai lima anak yang benar-benar berdarah Sunda. Sebagian besar siswanya "bukan asli", ada keturunan Batak, Minang, Jawa, dan Betawi. Tambahan lagi, bahasa Sunda tidak menjadi percakapan sehari-hari di luar sekolah. Karena bahasa Sunda, sebagai muatan lokal, harus ada nilainya, maka sekolah pun terpaksa main sulap-menyulap agar anak didiknya tak kapiran. Pada waktu ulangan atau ujian, tak segan-segan para guru keliling kelas membagikan kunci jawaban. Romy- berdarah Minang- siswa kelas 3 SD III Depok, mengaku terus terang ditolong gurunya mengisi kertas ulangan bahasa Sunda. Paling tidak, ia dan teman-temannya mendapat jatah nilai enam di rapornya. Menteri P dan K Fuad Hassan pernah menegaskan bahwa kurikulum muatan lokal itu maksimum harus mencapai 20% dari total jam pelajaran yang diberikan. Maksudnya, program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan kebutuhan daerah itu wajib dipelajari murid di daerah itu. Program pendidikan muatan lokal ini diwajibkan sejak tahun ajaran 1987/88. Bahasa daerah sebenarnya hanya salah satu pilihan bila suatu daerah memang menganggapnya perlu. Di Yogyakarta, bahasa Jawa yang menjadi muatan lokal sejak 1980 harus diikuti semua siswa tanpa pandang bulu. Kalau nilainya kurang dari enam, mereka bisa terancam tidak naik kelas. Jawa Barat menetapkan salah satu muatan lokal bahasa Sunda, dan Jawa Tengah dengan bahasa Jawa. Daerah lain yang tak menganggap penting bahasa daerah atau bahkan tak punya- bisa memilih muatan lokal seperti keterampilan atau seni budaya. Persoalan kemudian muncul di beberapa daerah perbatasan, atau muatan lokal itu asing bagi lingkungan masyarakatnya. Misalnya saja di daerah Dayeuh Luhur, Kabupaten Cilacap. Sebagai wilayah Jawa Tengah, di sekolah itu harus diajarkan muatan lokal bahasa Jawa. Padahal, sebagian besar muridnya sehari-hari memakai bahasa tutur Sunda. Misalnya SMPN Margo di daerah itu. Pelajaran bahasa Jawa diberikan bagi 90% muridnya yang berbahasa Sunda. Hal sebaliknya terjadi di perbatasan Cirebon dan Jawa Tengah. "Pelajaran itu sekadar untuk memenuhi target kurikulum. Bahasa Jawa jauh lebih sulit bagi siswa dibanding bahasa Inggris," ujar Darmono, seorang guru di sekolah perbatasan Cilacap dan Jawa Barat itu. Di SMPN V Yogyakarta, mata pelajaran muatan lokal itu bisa "mematikan" atau menyebabkan siswa tak naik kelas bila nilainya kurang dari enam. "Meskipun nilai mata pelajaran lainnya 9, kalau nilai mata pelajaran keterampilan 5, anak tersebut bisa nggak naik kelas," kata Kepala SMP 5 Yogya, Herry Sudibyo. Yang lebih kreatif adalah daerah Aceh. Sudah tahun ketiga ini SD di daerah itu mewajibkan muridnya membaca Quran. "Muatan lokal itu baru diterapkan untuk SD dan belum sampai ke SMP atau SMA," kata Kepala Kanwil P dan K Aceh, Ibrahim Kaoy, pada wartawan TEMPO Mukhlizardy Mukhtar. Dalam pelaksanaannya, muatan lokal boleh dibilang terseok-seok. Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Terbuka (UT) Prof. Setijadi dan Pembantu Rektor III UT Prof. Atwi Suparman, dalam makalah bersamanya, menyebutkan bahwa pelaksanaan kurikulum muatan lokal tak semulus yang diharapkan. Karena terhalang oleh sulitnya mendapatkan tenaga pengajar, langkanya fasilitas dan peralatan, serta besarnya dana yang dibutuhkan dalam berbagai bidang keterampilan yang diminati siswa. Kritikan itu bisa diterima Direktur Pendidikan Menengah Umum, Winarno Hamiseno. Muatan lokal, katanya, memang sulit diwujudkan. "Bagaimana muatan lokal bisa baik, wong daya serap siswa terhadap mata pelajaran pokoknya saja masih lemah," katanya. Di Surabaya, beberapa guru berpendapat bahwa muatan lokal itu bak anak tiri. Para murid lebih mengutamakan pelajaran yang mempengaruhi NEM, dengan mengesampingkan muatan lokal. Sekolah pun menemui kesulitan untuk mendapatkan guru yang terampil dan mahir. Karena sarana terbatas, ada beberapa sekolah yang membuat kebijaksanaan sendiri. Di Bali, selain kurikulum mewajibkan bahasa Bali, para siswa juga harus ikut kegiatan masak-memasak, tata busana, membuat patung (ukiran kayu), dan elektro. Sementara itu, daerah yang tak punya bahasa penuturan daerah seperti Sumatera Utara dan Betawi bisa menentukan bentuk kurikulum muatan lokal. Direktur Pendidikan Dasar, Soewono, menilai pelaksanaan muatan lokal berupa bahasa daerah di Ciamis dan Depok itu salah kaprah. "Hal-hal khusus semacam itu sebaiknya juga ditangani secara khusus pula," ujarnya. Namun, kemacetan muatan lokal, menurut Winarno Hamiseno, terutama disebabkan saratnya beban siswa dengan mata pelajaran pokok. Apalagi, katanya, sekarang ini gedung-gedung SMP dan SMA dipakai secara paralel. "Paling-paling hanya sekitar 30% sekolah yang mampu menjalankan muatan lokal dengan baik," katanya. Padahal, dalam kurikulum 1994 nanti, jatah muatan lokal mungkin akan ditambah. Gatot Triyanto, Sitti Nurbaiti, dan Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini