Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Orang-Orang Berkartu Kuning

Pemegang kartu kuning merasa tak mendapat prioritas untuk dipanggil. Rupanya kartu itu sekedar bukti diri, para pencari pekerjaan itu sudah mendaftar. Tapi semua menyambut gembira gebrakan sudomo.

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang sama pada gerombolan orang yang berkerumun di depan kantor Bina Guna Surabaya itu: semuanya membawa map. Isinya pun sama: Antara lain foto kopi ijazah dan keterangan riwayat hidup. Bergantian mereka mengerumuni papan pengumuman lowongan pekerjaan yang terpasang. "Siapa tahu kalau ada yang cocok," kata Heru Sukamto. Heru, 28 tahun, lulusan SMAN I Surabaya tahun 1974, sudah sebulan menganggur. Sebelumnya ia bekerja di beberapa tempat, terakhir di PT Petro Kimia Gresik sebagai mekanik dengan gaji per jam Rp 350. Yang dicarinya kini pekerjaan dengan gaji lebih tinggi. "Setelah devaluasi tentunya gaji ya harus naik," ujar ayah dari seorang anak itu. Ia sudah melamar ke sana-sini namun belum berhasil. "Pak Domo bilang, tidak sulit mencari kerja di Indonesia. Tapi itu kan cuma teori. Kenyataannya sulit," kata Heru. Bayu Ari Murti, mahasiswa Akademi Keuangan Suraya tingkat I, sudah setahun memiliki "kartu kuning": menunjukkan dia telah terdaftar di kantor Bina Guna sebagai pencari kerja. Ia rajin mengunjungi kantor itu. "Kalau satu bulan tak melapor, kartu saya gugur," ujarnya. Bayu mengharap bisa bekerja sebagai pegawai negeri "agar nasibnya jelas". Kerja kasar? "Kalau lulusan SMA disuruh bekerja sebagai tukang sapu hotel ya jelas tidak mau," tuturnya. Untuk itu ia bersedia sabar menunggu. Yayat Nurhayat, 30 tahun, hampir tiap hari bisa ditemui di Kantor Direktorat (Kandit) Bina Guna Jakarta Pusat, Jalan Cikini Raya. "Kantor ini sebenarnya bisa dikatakan tempat pertemuan para penganggur di Jakarta Pusat," kata Yayat. Lulusan SMA ini menganggap baik adanya gagasan membuka Bursa Kesempatan Kerja. Itu "mengirit uang dan waktu para pencari kerja," katanya. Buat Yayat pekerjaan apa pun akan diterimanya, asal "halal". Awal Mei ini bersama 70 orang lainnya ia melamar, melalui Bina Guna, di PT Mekar Raya yang membutuhkan 30 orang kondektur. Setelah tes, ternyata yang lulus cuma seorang. "Rasanya kami dipermainkan. Alasan mereka, sebagian besar dari kami berbuat gaduh, dan ada yang mengakibatkan pintu WC macet," ceritanya. Untuk biaya hidup, sekarang tiap malam ia mengajar mengaji dan menerima borongan mengaji untuk tahlilan di daerah Menteng. Lho? "Di Menteng kan banyak orang yang tidak bisa mengaji," katanya. Heru, Bayu, dan Yayat adalah sebagian dari sekitar 700 ribu pemegang kartu kuning di Indonesia. Sebagian besar mereka tidak tamat SD. (Lihat Tabel). Namun di kota-kota, para pencari kerja kebanyakan lulusan SLTA. Di Kandit Jakarta Selatan, misalnya, dari sekitar 22 ribu pendaftar pada 1982, lebih dari 15 ribu lulusan SLTA. Ijazah SLTA ternyata kurang menjamin. "Mereka sulit disalurkan karena keterampilannya kurang. Kalau ada yang diterima, sulit bagi mereka untuk bisa terus bekerja," kata Supandi dari Kandit Bina Guna Bogor. "Mereka kurang mau bekerja keras. Kebanyakan ingin menjadi pegawai negeri karena tesnya lebih mudah. Menurut pengamatan kami di sini, 60% dari pelamar belum mempunyai keterampilan, sehingga umumnya tidak lulus tes," ujarnya. Ia memberi contoh: tak ada seorang pun pelamar yang lulus tes tatkala sebuah perusahaan mencari tukang las, walau sebelumnya mereka mengaku memiliki keterampilan itu. Cuma sebagian kecil dari pendaftar yang dapat disalurkan kantor Bina Guna. Dari 32 ribu pencari kerja yang tercatat di Kandit Bina Guna Yogyakarta, hanya 1.936 (sekitar 9%) yang dapat disalurkan, tidak termasuk mereka yang telah bekerja tapi tidak melapor. Selain karena kurangnya kemampuan kerja para pelamar, menurut Kepala Kanwil Ditjen Bina Guna Yogyakarta Harjono Djati, sempitnya lapangan kerja juga karena ada perusahaan yang tidak melaporkan adanya lowongan kerja. Menurut Keppres No. 10/1980, tiap perusahaan swasta maupun pemerintah yang mencari kerja harus menggunakan saluran Ditjen Bina Guna. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1980 pelanggarnya bisa dikenai hukuman kurungan 3 bulan atau denda Rp 100.000. Tampaknya Keppres ini belum berjalan." Banyak perusahaan di Jawa Tengah yang tidak menggunakan saluran Ditjen Bina Guna," kata Hartoko, pejabat Kanwil Bina Guna Jawa Tengah. Mengapa pihak Bina Guna tidak mengambil tindakan? "Wah, itu urusan atasan," sahut Hartoko. Pencari kerja ternyata memiliki sifat yang berbeda. "Pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur umumnya tidak memilih-milih. Mungkin karena di daerahnya penghasilannya minim, di sini mereka mau bekerja di perusahaan yang menggaji Rp 750 sehari dan bertahan sampai bertahun-tahun. Kalau penduduk Bogor sendiri umumnya tidak mau bekerja kasar, apalagi dengan upah yang minim," tutur Supandi. Tidak semua pencari kartu kuning adalah orang yang frustrasi mencari pekerjaan. "Pada umumnya para sarjana mencari kartu kuning hanya untuk melengkapi syarat penerimaan pegawai," ucap seorang petugas dari Kandit Bina Guna Jakarta Selatan. Memiliki kartu kuning ternyata tidaklah mutlak. "Dari banyak perusahaan yang telah saya masuki, hanya satu yang meminta kartu kuning," cerita Bima Maurice, 31 tahun, yang ditemui pekan lalu di Kandit Bina Guna Jakarta Selatan. Sarjana muda pertekstilan yang tengah menganggur ini, datang ke kantor tersebut "hanya untuk mencoba-coba, siapa tahu ada informasi," katanya. Banyak pemegang kartu kuning yang tampaknya terlalu berharap. "Kartu kuning ini kurang manfaatnya," keluh Esti Setiowati, lulusan SLTA, di Kandit Bina Guna Semarang pekan lalu. Esti, 23 tahun, sudah 6 bulan mengantungi kartu kuning. Menurut dia, para pemegang kartu kuning ternyata tak mendapat prioritas memperoleh berita adanya lowongan kerja. Kartu mati? Anggapan ini dibantah. "Keliru bila menganggap memiliki kartu kuning berarti menjamin bakal dapat pekerjaan. Kartu itu sekadar bukti diri bahwa mereka sudah mendaftar. Bisa diterima atau tidaknya, tergantung perusahaan atau instansi yang membutuhkan," kata Hartoko. Hampir semua pemegang kartu kuning yang ditemui TEMPO umumnya menyambut gembira gebrakan Menteri Sudomo. "Mudah-mudahan Pak Domo tidak hanya berhasil membuka lebih banyak lapangan kerja baru, tapi juga memberantas 'sistem famili' dalam mencari pekerjaan," kata Ani Sulastuti yang pekan lalu melapor ke Kandit Bina Guna Purwokerto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus