ADA yang sama pada gerombolan orang yang berkerumun di depan
kantor Bina Guna Surabaya itu: semuanya membawa map. Isinya pun
sama: Antara lain foto kopi ijazah dan keterangan riwayat hidup.
Bergantian mereka mengerumuni papan pengumuman lowongan
pekerjaan yang terpasang. "Siapa tahu kalau ada yang cocok,"
kata Heru Sukamto.
Heru, 28 tahun, lulusan SMAN I Surabaya tahun 1974, sudah
sebulan menganggur. Sebelumnya ia bekerja di beberapa tempat,
terakhir di PT Petro Kimia Gresik sebagai mekanik dengan gaji
per jam Rp 350. Yang dicarinya kini pekerjaan dengan gaji lebih
tinggi. "Setelah devaluasi tentunya gaji ya harus naik," ujar
ayah dari seorang anak itu.
Ia sudah melamar ke sana-sini namun belum berhasil. "Pak Domo
bilang, tidak sulit mencari kerja di Indonesia. Tapi itu kan
cuma teori. Kenyataannya sulit," kata Heru.
Bayu Ari Murti, mahasiswa Akademi Keuangan Suraya tingkat I,
sudah setahun memiliki "kartu kuning": menunjukkan dia telah
terdaftar di kantor Bina Guna sebagai pencari kerja. Ia rajin
mengunjungi kantor itu. "Kalau satu bulan tak melapor, kartu
saya gugur," ujarnya.
Bayu mengharap bisa bekerja sebagai pegawai negeri "agar
nasibnya jelas". Kerja kasar? "Kalau lulusan SMA disuruh bekerja
sebagai tukang sapu hotel ya jelas tidak mau," tuturnya. Untuk
itu ia bersedia sabar menunggu.
Yayat Nurhayat, 30 tahun, hampir tiap hari bisa ditemui di
Kantor Direktorat (Kandit) Bina Guna Jakarta Pusat, Jalan Cikini
Raya. "Kantor ini sebenarnya bisa dikatakan tempat pertemuan
para penganggur di Jakarta Pusat," kata Yayat. Lulusan SMA ini
menganggap baik adanya gagasan membuka Bursa Kesempatan Kerja.
Itu "mengirit uang dan waktu para pencari kerja," katanya.
Buat Yayat pekerjaan apa pun akan diterimanya, asal "halal".
Awal Mei ini bersama 70 orang lainnya ia melamar, melalui Bina
Guna, di PT Mekar Raya yang membutuhkan 30 orang kondektur.
Setelah tes, ternyata yang lulus cuma seorang. "Rasanya kami
dipermainkan. Alasan mereka, sebagian besar dari kami berbuat
gaduh, dan ada yang mengakibatkan pintu WC macet," ceritanya.
Untuk biaya hidup, sekarang tiap malam ia mengajar mengaji dan
menerima borongan mengaji untuk tahlilan di daerah Menteng. Lho?
"Di Menteng kan banyak orang yang tidak bisa mengaji," katanya.
Heru, Bayu, dan Yayat adalah sebagian dari sekitar 700 ribu
pemegang kartu kuning di Indonesia. Sebagian besar mereka tidak
tamat SD. (Lihat Tabel). Namun di kota-kota, para pencari
kerja kebanyakan lulusan SLTA. Di Kandit Jakarta Selatan,
misalnya, dari sekitar 22 ribu pendaftar pada 1982, lebih dari
15 ribu lulusan SLTA.
Ijazah SLTA ternyata kurang menjamin. "Mereka sulit disalurkan
karena keterampilannya kurang. Kalau ada yang diterima, sulit
bagi mereka untuk bisa terus bekerja," kata Supandi dari Kandit
Bina Guna Bogor. "Mereka kurang mau bekerja keras. Kebanyakan
ingin menjadi pegawai negeri karena tesnya lebih mudah. Menurut
pengamatan kami di sini, 60% dari pelamar belum mempunyai
keterampilan, sehingga umumnya tidak lulus tes," ujarnya. Ia
memberi contoh: tak ada seorang pun pelamar yang lulus tes
tatkala sebuah perusahaan mencari tukang las, walau sebelumnya
mereka mengaku memiliki keterampilan itu.
Cuma sebagian kecil dari pendaftar yang dapat disalurkan kantor
Bina Guna. Dari 32 ribu pencari kerja yang tercatat di Kandit
Bina Guna Yogyakarta, hanya 1.936 (sekitar 9%) yang dapat
disalurkan, tidak termasuk mereka yang telah bekerja tapi tidak
melapor. Selain karena kurangnya kemampuan kerja para pelamar,
menurut Kepala Kanwil Ditjen Bina Guna Yogyakarta Harjono Djati,
sempitnya lapangan kerja juga karena ada perusahaan yang tidak
melaporkan adanya lowongan kerja.
Menurut Keppres No. 10/1980, tiap perusahaan swasta maupun
pemerintah yang mencari kerja harus menggunakan saluran Ditjen
Bina Guna. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
05/Men/1980 pelanggarnya bisa dikenai hukuman kurungan 3 bulan
atau denda Rp 100.000. Tampaknya Keppres ini belum berjalan."
Banyak perusahaan di Jawa Tengah yang tidak menggunakan saluran
Ditjen Bina Guna," kata Hartoko, pejabat Kanwil Bina Guna Jawa
Tengah. Mengapa pihak Bina Guna tidak mengambil tindakan? "Wah,
itu urusan atasan," sahut Hartoko.
Pencari kerja ternyata memiliki sifat yang berbeda. "Pendatang
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur umumnya tidak memilih-milih.
Mungkin karena di daerahnya penghasilannya minim, di sini mereka
mau bekerja di perusahaan yang menggaji Rp 750 sehari dan
bertahan sampai bertahun-tahun. Kalau penduduk Bogor sendiri
umumnya tidak mau bekerja kasar, apalagi dengan upah yang
minim," tutur Supandi.
Tidak semua pencari kartu kuning adalah orang yang frustrasi
mencari pekerjaan. "Pada umumnya para sarjana mencari kartu
kuning hanya untuk melengkapi syarat penerimaan pegawai," ucap
seorang petugas dari Kandit Bina Guna Jakarta Selatan.
Memiliki kartu kuning ternyata tidaklah mutlak. "Dari banyak
perusahaan yang telah saya masuki, hanya satu yang meminta kartu
kuning," cerita Bima Maurice, 31 tahun, yang ditemui pekan lalu
di Kandit Bina Guna Jakarta Selatan. Sarjana muda pertekstilan
yang tengah menganggur ini, datang ke kantor tersebut "hanya
untuk mencoba-coba, siapa tahu ada informasi," katanya.
Banyak pemegang kartu kuning yang tampaknya terlalu berharap.
"Kartu kuning ini kurang manfaatnya," keluh Esti Setiowati,
lulusan SLTA, di Kandit Bina Guna Semarang pekan lalu. Esti, 23
tahun, sudah 6 bulan mengantungi kartu kuning. Menurut dia, para
pemegang kartu kuning ternyata tak mendapat prioritas memperoleh
berita adanya lowongan kerja.
Kartu mati? Anggapan ini dibantah. "Keliru bila menganggap
memiliki kartu kuning berarti menjamin bakal dapat pekerjaan.
Kartu itu sekadar bukti diri bahwa mereka sudah mendaftar. Bisa
diterima atau tidaknya, tergantung perusahaan atau instansi yang
membutuhkan," kata Hartoko.
Hampir semua pemegang kartu kuning yang ditemui TEMPO umumnya
menyambut gembira gebrakan Menteri Sudomo. "Mudah-mudahan Pak
Domo tidak hanya berhasil membuka lebih banyak lapangan kerja
baru, tapi juga memberantas 'sistem famili' dalam mencari
pekerjaan," kata Ani Sulastuti yang pekan lalu melapor ke Kandit
Bina Guna Purwokerto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini