ADA jembatan antara rumah dan sekolah. Jumat pekan lalu di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yoyakarta. Muhari meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul "Suasana Rumah dan Prestasi Belajar, suatu studi tentang pengaruh suasana rumah terhadap prestasi belajar para pelajar SMP di Jawa Timur". Dosen IKIP Surabaya itu membuktikan, prestasi belajar siswa yang suasana rumahnya menyenangkan lebih baik dibanding dengan prestasi siswa yang suasana rumahnya tldak menyenangkan. Tapi jangan salah duga. Muhari tak bermaksud memberi saran agar rumah-rumah diubah hingga secara arsitektural menyenankan. Suasana yang dimaksud Muhari, 40, ialah suasana rumah yang dibentuk oleh penghuninya. Maka, dalam daftar pertanyaan yang disebarkan kepada 2.200 siswa dari 41 SMP negeri dan swasta di Jawa Timur bisa dibaca, antara lain: Apakah ibumu menemani ayahmu setiap kali makan ? Apakah sering timbul ketegangan antara ayah dan ibumu? Apakah kamu sering bercanda dengan orang-tuamu? Apakah kamu kerasan tinggal dirumah bersama saudara-saudaramu? Sebuah contoh ada di perumahan karyawan PN Gas, Surabaya. Udara di lingkungan perumahan itu berbau gas. Maklum, lokasi penyimpanan gas tak jauh dari situ. Tapi bukan karena udara berbau bila angka rapor kuartal pertama Didid Isyanto, siswa kelas I SMA Trisula, Surabaya, hampir merah semua. "Saya tidak kerasan di rumah, apalagi untuk belajar," kata Didid, anak seorang karyawan PN Gas. Bisa dimengerti bila Didid lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Di rumah petak 6 m X 5 m itu siang-malam ramai oleh remaja kawan-kawan kakak Didid. Sementara itu, ibu Didid mengaku, sudah tak bisa lagi mengatur keempat anaknya yang sudah remaja. Sebenarnya, suasana rumah Alifah Lestari, siswa SMPN VIII, Surabaya, tak jauh berbeda dengan rumah Didid. Rumah Alifah berhimpitan dengan rumah tetangga di lorong sempit belakang pasar. Dari pagi hingga sore suara anak-anak begitu membisingkan. Tapi, ini harus dipuji, Alifah mampu berprestasi. Ia menduduki ranking (peringkat) ketiga di sekolahnya. Tak seperti Didid, Alifah, yang belajar taekwondo ini rupanya terlatih berkonsentrasi. Tanpa harus punya kamar belajar khusus, ia mampu belajar di mana saja. "Ayak dan Ibu memberi contoh bagaimana menekuni sesuatu," kata anak seorang karyawan perusahaan daerah ini. Muhari, yang mengambil responden pelajar SMP karena banyak mahasiswanya menjadi guru di SMP, memang mendapatkan kesimpulan: hubungan ayah, ibu, dan anak merupakan faktor dominan pencipta suasana rumah tangga. Bisa saja suasana rumah yang sudah baik dirusakkan sendiri oleh seorang ibu. Anto, pelajar SMP swasta di Yogyakarta, misalnya, selama ini selalu pindah-pindah sekolah karena malu. Katanya, ibunya selalu melaporkan ke sekolah segala tingkah-lakunya di rumah. Maka, Anto bukan tak hanya tidak betah di rumah, tapi juga di sekolah. Akibatnya, berantakan semuanya. Masalah yang diteliti Muhari selama enam bulan, yang kemudian ditulis dalam disertasi setebal 330 halaman, sebenarnya sudah menjadi pendapat banyak orang. "Tapi pendapat umum belum tentu benar. Itu sebabnya saya lantas melakukan penelitian," kata Muhari. Selain itu, cara Muhari mengetahui suasana rumah lewat daftar pertanyaan masih bisa . diperdebatkan. Misalnya, bila seorang siswa menjawab bahwa orangtuanya sering sekali makan bersama, "berarti suasana rumah dilihat dari hubungan ayah-ibu sangat baik," kata Muhari. Yang tak diperhitungkan Muhari seberapa intens pertemuan bapak dan ibu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini