ADA SMA swasta yang dinilai baik, ada yang tidak- jika kita percaya penilaian pemerintah pekan ini. Tapi bagaimana dengan SMA negeri? Haruskah dianggap SMA negeri tak perlu dinilai ? Di Bangil, kota kecamatan, 46 km sebelah selatan Surabaya, misalnya, cuma ada satu SMA negeri di tengah 10 SMA swasta. Dengan terus terang Soeparyo, wakil kepala SMA negeri itu, mengizinkan para guru merangkap mengajar di SMA swasta. Akibatnya, di sekolah negeri ini sering ada jam kosong. "Banyak mata pelajaran yang ketinggalan, karena Pak Guru barangkali sudah capek," kata seorang murid di situ. Apalagi, dari 37 guru yang ada, baru 17 orang berstatus guru tetap. Memang, SMA negeri yang berlokasi ditengah sawah di Desa Kalirejo itu sudah memilik sarana agak lengkap. Laboratorium sudah ada sejak dua tahun lalu. Tapi pintu ruang laboratorium itu jarang dibuka. Juga perpustakaan, yang mendapat ruang sekitar 7 m X 4 m, sebenarnya cukup memadai. Cuma, lihat saja buku koleksinya: sebagian besar berupa buku pegangan untuk guru, terbitan Departemen P & K. Praktis, perpustakaan ini tak berfungsi. "Minat baca siswa dan buku yang tersedia tak cocok," kata seorang guru. Ditambah lagi dengan cara mengajar guru-guru SMA Negeri Bangil itu yang tanpa variasi, cuma menyampaikan pelajaran seperti yang ada dalam buku, menimbulkan pertanyaan seandainya SMA ini juga dinilai. "Seandainya begitu, saya pun tak tahu apakah SMA ini bisa memenuhi standar," kata Soeparyo, dengan rendah hati. Wakil kepala itu sendlri, yang memberi pelajaran Bahasa Inggris, mengaku cara mengajarnya biasa-biasa saja, cukup berpedoman pada buku pelajaran. SMA Negeri Bangil, yang baru akan menghasilkan lulusan pertamanya tahun ini, hanya sebuah contoh. SMA negeri yang kreatif, yan tidak sekadar menjadi agen penyampaian buku pelajaran, ada juga. SMA Negeri I di Balige, kota kecamatan 280 km dari Medan, manajemennya rapi. Di luar tugas mengajar, tutur P.W. Simare-mare, kepala SMA di situ, 35 guru ditugasi berbagai hal. Ada yang jadi juru bicara sekolah, ada yang mengawasi ketertiban sekolah. Juga 900 siwa SMAN I Balige itu tak cuma dibiarkan belajar menekuni buku. Sekolah yang punya halaman luas itu memberikan tanggung Jawab kepada setiap siswa untuk memelihara tanah masing-masing seluas satu meter persegi. Tanah itu boleh ditanami apa saja, asal dijaga kebersihannya. "Kami harus mampu menciptakan persaingan yang sehat antara murid-murid, agar ada prestasi dalam segala hal," tutur Simare-mare pula. Toh di SMAN Balige itu, ternyata, hanya ada seorang guru Kimia, padahal yang dibutuhkan minimal tiga orang. Terpaksa guru Fisika ditarik mengajarkan kimia. "Tentu, hasilnya kurang memuaskan," kata Pak Kepala. Namun, dilihat dari administrasi, kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, siswa, sarana, dan suasana sekolah - tujuh komponen yang dinilai dalam pemberian pangkat sekolah swasta - SMA negeri di kota besar umumnya termasuk baik. Selain biasanya ada laboratorium dan perpustakaan yang berjalan baik, 1uga guru umumnya tercukupi. Bahkan, sekolah yang kreatif bisa menciptakan suasana kekeluargaan yang unik. Di SMAN 46 Jakarta, misalnya, siswa selalu mendapat ucapan selamat ulang tahun berupa surat yang langsung ditandatangani kepala sekolah. Di SMAN II, Yogyakarta, siswa yang paling rajin memanfaatkan perpustakaan yang punya koleksi sekitar 30.000 buku, mendapat piagam dari sekolah. Tapi cukupkah itu semua menjadikan SMA negeri punya mutu ? Ada catatan menarik dari hasil tes Proyek Perintis (PP) I, tes masuk sepuluh perguruan tinggi negeri terpllih. Ternyata, dan sekitar tiga ribu SMA swasta dan 900 SMA negeri, oleh panitia PP I hanya 40 SMA swasta dan enam SMA negeri yang dipandang berkualitas baik. Ukuran dari PP I, dihitung banyaknya lulusan SMA yang bisa menembus tes PP I dengan skor minimal 90 (skor tertinggi 20). Benar, tes PP I bisa juga salah. Tapi setidaknya dilihat dari sudut bahwa tes PP I agak berbeda dengan soal-soal ulangan dan EBTA SMA, ada yang bisa dicatat. Yakni, dari sudut ini bisa dipertanyakan: seberapa jauh lulusan SMA dipersiapkan menghadapi soal-soal tak terduga. Dengan kata lain, adakah siswa SMA didorong mencari ilmu di luar tembok kelas, atau hanya diminta mengunyah-ngunyah yang diberikan guru dan buku pelajaran. Tapi soal ini, sayangnya, tak tercantum dalam tujuh komponen untuk menilai mutu SMA itu. Dan, ternyata, jumlah guru yang cukup belum menjamin bahwa proses belajar-mengajar akan berjalan lancar. Di SMAN III, Kudus, Jawa Tengah, siswa-siswa sering mengeluh karena guru bahasa Inggris mereka sering tidak ada di tempat. Selain itu, dalam beberapa mata pelajaran, Pendidikan Moral Pancasila misalnya, sering pula guru hanya memerintahkan siswa memfotokopi catatan yang dibuat guru. Setelah itu, habis perkara. Siswa diminta belajar, atau tepatnya menghafal, yang tertulis dalam fotokopi catatan itu. Dari hal-hal seperti ini, kesimpulan yang dibuat panitia PP I, bahwa hanya ada beberapa SMA negeri yang baik, agaknya bisa dimaklumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini