Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Medan - Calon Gubernur Sumatera Utara nomor urut 2 Edy Rahmayadi mengenang awal dirinya menjabat Gubernur Sumut pada 5 September 2018 lalu. Saat bertemu masyarakat Kota Pinang, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Edy mengatakan, saat itu ia mendapat tagihan utang dana bagi hasil dari pemerintah pusat sebesar Rp 1,7 triliun yang harus segera dibayar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edy langsung mengambil kebijakan membereskan utang pemerintah Sumut itu agar pembangunan di 33 kabupaten dan kota tidak stagnan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata, utang yang dimiliki Pemprov Sumut tidak hanya DBH. Ada juga utang ke PT Inalum sekitar Rp 500 miliar. Pembayaran utang itu relatif membuat pihaknya saat itu tak bisa bekerja.
"Kata guru ngaji saya, kalau punya utang, duluankan dibayar. Selama dua tahun, APBD tersedot Rp 2 triliun lebih," kata Edy pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Pada 2020, Edy berkisah, saat ingin mulai bekerja membangun Sumut sesuai visi misinya kala itu, tiba-tiba Covid-19 melanda. Saat itu Presiden Joko Widodo meminta semua daerah wajib melakukan refocusing APBD untuk penanganan pandemi.
"Alhamdulillah Sumut peringkat kedua terbaik secara nasional penanganan pandemi. Masih banyak program pembangunan yang belum berjalan karena harus bayar utang, nangani Covid. Inilah kami maju lagi untuk melanjutkan pembangunan yang kita program sebelumnya," kata Edy.
Proyek multi years Rp 2,7 triliun juga berakhir
Setelah tidak lagi menjabat, Edy Rahmayadi menyayangkan proyek jalan dan jembatan sebesar Rp 2,7 triliun ikut berakhir. Padahal proyek multiyears dengan metode rancang bangun itu ditarget bakal mendongkrak perekonomian masyarakat dengan kemudahan mobilitas.
"Harusnya lanjut terus supaya masyarakat merasakan dampaknya, infrastruktur yang lebih bagus untuk masyarakat," ujar dia.
Edy mengatakan, proyek terintegrasi tersebut, hadir seusai pandemi Covid-19 melalui perencanaan dan konsultasi yang panjang sampai disetujui DPRD Sumut.
Proyek ini tak berlanjut setelah Edy lengser. Berdasarkan data Dinas PUPR Sumut, proyek tahun jamak dihentikan pada Juni 2024. Progres pembangunan jalan yang terealisasi mencapai 74 persen dari 163 ruas jalan yang diprogramkan.
Edy tak mau menyalahkan siapa-siapa atas penghentian proyek tersebut. Ia menghormati arah kebijakan pemimpin yang menggantikannya. Namun ia berharap tidak ada unsur politik di balik penghentian proyek tersebut. Ini juga yang mendorong niatnya maju kembali bersama Hasan Basri Sagala di Pilkada Sumut mendatang.
"Kami ingin melanjutkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Sumut, serta program pembangunan kerakyatan lainnya," kata Edy mengulang.
Sebelumnya, calon gubernur Sumut Bobby Nasution menyebut, pembangunan infrastruktur di Sumut tidak merata. Padahal, Pemprov Sumut menganggarkan proyek multi years sebesar Rp 2,7 triliun. Dia lalu menceritakan kisah dari mulut ke mulut tentang perbedaan jalan di Sumut dengan provinsi tetangga yaitu Aceh dan Sumatera Barat.
"Kalau sudah kejedut kepala kita, berarti sudah masuk Sumut. Artinya, jalan di Aceh bagus, jalan di Sumatera Barat juga bagus. Begitu masuk Sumut, benjol kepala kita karena infrastruktur di Sumut, mungkin belum merata," katanya.
Soal nomor urut, Bobby kembali menyindir dengan mengatakan, nomor dua identik dengan proyek Rp 2,7 triliun yang dijalankan di pemerintahan Edy Rahmayadi.
"Saya sangat setuju kita dapat nomor urut satu, Pak Surya. Karena kalau nomor dua jadi ingat Rp 2,7 triliun. Pembangunan infrastruktur memang perlu biaya, tapi APBD Sumut cukup untuk memperbaikinya. Kalau bisa selesai proyek itu, mungkin agak enak sikit, tapi kalau tak selesai agak berat juga jalanan di Sumut," kata Bobby mengulang.
Pilihan Editor: Bobby Nasution dan Edy Rahmayadi Terus Berbalas Sindiran, Menantu Jokowi: Kepala Daerah Jangan Lempar Tanggung Jawab