BUDIAJI mendapat grasi. Hukuman seumur hidup yang
dijatuhkan pada 1977 terhadap bekas Kepala Depot Logistik
(Dolog) Kal-Tim itu, dengan grasi Presiden tertanggal 5 Agustus
1980 diubah menjadi hukuman penjara 20 tahun. Dengan perubahan
ini, serta remisi yang bakal diperolehnya tiap 17 Agustus (kalau
berkonduite baik), Budiaji mungkin hanya akan menjalani masa
kurungan kurang dari 15 tahun.
Orang yang pernah mendapat julukan "Raja Kal-Tim" pantas
gembira mendengar itu. Nyatanya tidak. "Sewaktu kami panggil
untuk diberitahu mengenai keputusan Presiden itu wajahnya tidak
menunjukkan reaksi apa-apa. Bia.sa saja. Juga tidak memberikan
komentar," kata Drs. Soegiantoro, Direktur Lembaga
Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang, penjara di mana Budiaji, 43
tahun, mendekam.
Ia menempati sebuah ruangan di blok 111. Hanya beberapa
langkah dari ruangan di mana Kusni Kasdut menjalani hukuman
dulu. Belakangan ini pinggang dan leher bagian belakangnya
nyeri. Kalau mau berobat ke klinik di penjara itu, orang yang
menggelapkan uang Dolog Rp 7,6 milyar tersebut harus melewati
tiga pintu berjeruji besi.
Langit-langit kamarnya juga berjeruji besi. Cuma tempat
tidurnya berkasur dan rapi. Kamar itu, sekalipun kamar rerdekat
dari pintu depan, agak terlindung dari penglihatan. Pagar kawat
di depan pintu kamarnya sudah dirambati tumbuhan yang ditanami
Budiaji sendiri. Suasana di sekitar kamarnya'kelihatan lebih
hijau dari yang lain.
Keluarga yang ditinggal nampak mensyukuri pengurangan
hukuman itu. Salon kecantikan "Niniek" di Jalan Hang T uah,
Kebayoran Baru, Jakarta diliputi kegembiraan. Dari salon inilah
kabarnya keluarga Budiaji mengongkosi hidup sekarang.
"Alhamdulillah kami sekeluarga senang mendengar kabar itu,"
sahut Tety, adik ipar Budiaji. Nyonya Budiaji sendiri sejak 12
Desember berangkat ke Malang untuk menjenguk suaminya. Sebulan
sekali dia berangkat ke sana dan tinggal di kota itu sekitar
seminggu lamanya.
Barang Sitaan
Sang istri pertama ini selalu tak lupa membawa oleh-oleh
bola tenis. Sebab selain merawat tanaman hias dan menlapat tugas
mengurusi administrasi keamanan di dalam penjara itu, Budiaji
yang ketika jaya keranjingan golf dan terbang sekarang
menghabiskan waktu sorenya dengan main tenis. Ia juga menjadi
penekun mushalla. "Setelah sembahyang Isya dia mesti berdzikir
dulu. Kadang-kadang sampai jam 10 malam. Ke mushalla tak lupa
membawa tasbih," cerita seorang petugas.
Ia kabarnya lebih cocok dengan penjara Lowokwaru di Malang
itu. Semula ia menjalani hukuman di penjara "Stal Kuda" di
Balikpapan. Tapi karena penyakitnya berkepanjangan lantas
dipindahkan ke Malang.
Menurut Soegiantoro, sewaktu dipin.lahkan ke Malang dua
tahun yany lalu. penyakitnya masih terbawa. Ketika masih di
Balikpapan dia dikabarkan menderita sakit jiwa. Dilaporkan
sering ngomel sendirian dan membentur-benturkan kepalanya ke
dinding. Hingga sempat dirawat di RS Jiwa Samarinda.
Selama di Malang, menurut Soegiantoro, penyakit itu pernah
kambuh dua kali. "Pertama setelah baru saja diberitakan
meninggal dunia dan kemudian setelah diwawancarai wartawan
sebuah koran sore dari ibukota," kata direktur LP itu. Sekalipun
Budiaji lebih kerasan di penjara Malang.berat badannya kini
tinggal 52 kg (tinggi 170 cm). Melorot 16 kg dibandingkan
ketila masih di "Stal Kuda", Balikpapan.
Selain keluarga Budiaji, pengacaranya Soenarto Soerodibroto
SH nampaknya gembira pula menyambut keringanan hukuman kliennya
itu. Menanggapi grasi Presiden dia berkata: "Arti grasi itu an
sich, Presiden menganggap hukuman itu terlalu berat buat
Budiaji. Sehingga diturunkan menjadi 20 tahun," ulasnya.
Sebagai pembela Budiaji, Soenarto Soerodibroto sendiri
ketika berhadapan dengan hukuman seumur hidup yang dijatuhkan
hakim ketika itu, tidak mengajukan naik banding. "Itu permintaan
Budiaji sendiri," jawab Soenarto. Alasannya: Ada barang sitaan
yang dikembalikan kepada tersangka ketila sidang masih
berjalan. "Sehingga kalau naik banding, barang sitaan itu akan
terkatung-katung," sambungnya.
Terlalu Mudah
Soenarto tidak melihat kemungkinan Budiaji menggunakan
kemungkinan herziening untuk mengurangi hukumannya setelah grasi
Presiden. Soalnya, katanya tidak ada bukti-bukti baru yang bisa
dijadikan alasan. "Untuk sementara ini tidak ada upaya hukum
yang bisa digunakan untuk menolong Budiaji. Kecuali hanya
menunggu remisi setiap tahun," katanya.
Budiaji sendiri tampaknya tidak berhasrat untuk menggunakan
kemungkinan peninjauan kembali perkaranya. "Ketika ditanyakan
apakah dia akan menggunakan herziening, Budiaji hanya
mengatakan: Saya menerima saja keadaan seperti ini," kata
Direktur LP Lowokwaru, Soegiantoro menirukan Budiaji.
Mungkin itulah sikap yang terbaik. Karena selain tindak
pidana subversi, jumlah Rp 7,6 milyar yang dia korupsikan cukup
besar ketika itu. SekaranL ini dengan uang sejumlah itu bisa
dibeli 20.000 ton gula pasir.
Bisa dimengerti bila ada pihak yang ti(lak puas dengan
grasi tadi. R.O. Tambunan SH, pengacara dan anggota MPR
menyatakan kekecewaannya terhadap graS Presiden tersebut
Sekalipun grasi merupakan hak prerogatif Kepala Negara, ia
menilai pemberian grasi tadi terlalu mudah dan begitu cepat
apalagi kalau melihat masih banyak narapidana yang menunggu
grasi seperti itu sejak lama.
Tambunan menganggap korupsi Rp 7,6 milyar yang dilakukan
Budiaji tidakIah lebih ringan dibandingkan dengan perbuatan
membunuh satu atau dua orang seperti yang dilakukan Kusni Kasdut
dan Henky Tupanwael yang tahun lalu telah menjalani hukuman
tembak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini