RASA kekecewaan itu masih tampak di wajah H.J.C. Princen.
"Saya ingin marah. Ingin mengumpat --kalau memang ada hak
untuk mengumpat," kata Princen tatkala ditemui TEMPO Sabtu
pagi lalu. Masih berpakaian piyama batik, pagi itu iasedang
siap mendengarkan siaran Radio Hilver um dari Negeri Belanda.
Agaknya untuk mencari tahu apakah ada berita yang menyangkut
dirinya.
Ceritanya dimulai dua pekan lalu Haji Princen, 55 tahun,
selaku Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-hak Asasi manusia diundang
untuk menghadiri suatu seminar internasional tentang hakhak
asasi manusia yang diadakan di Amsterdam, Negeri Belanda.
Diselenggarakan oleh Novib, lembaga sosial di negeri itu, antara
8-13 Desember 1980 dan mengundang banyak lembaga sosial di Asia,
Afrika dan Amerika Selatan. Princen merupakan salah satu dari
tiga orang Indonesia yang sedianya hadir dalam seminar tersebut.
Namun Princen--yang biasa dipanggil Pongke--ternyata urung
berangkat. Permohonan visanya ditolak oleh Kedutaan Besar
Belanda di Jakarta. Itu yang membuat Princen kecewa. "Ini suatu
ironi. Bukankah Belanda selama ini dianggap sebagai juara
hak-hak asasi manusia," katanya.
Permintaan visa Princen, kata W.H. Simonz, Counsellor di
Kedubes Belanda di Jakarta pada TEMPO, ditolak berdasar
instruksi Kemlu Belanda. Alasannya menyangkut keamanan pribacli
Princen yang berkaitan dengan masa lalunya: pada 1946 Princen
membelot dari tentara Kerajaan. "Masih banyak orang di Belanda
--terutama yang pernah menjadi tentara bersama Prmcen, yang
tidak menyukai sikapnya. Sikap bekas rekan rekan ini mungkin
bisa membahayakan keselamatan Princen," kata Simonz. Diakuinya,
hal itu sudah lama terjadi --sekitar 34 tahun lalu. Toh dengan
dalih keselamatan Princen, permohonan visanya ditolak.
Kala Hitam
Masa lalunya tampaknya terus membayangi Princen. Lahir di
Den Haag, Negeri Belanda, pada November 1925, anak sulung
seorang guru menggambar ini berusia 18 tahun pernah ditahan
tentara pendudukan Jerman sampai Mei 1945. Pertengahan l946 ia
terkena wajib dinas militer namun melarikan diri ke Prancis
karena menolak dikirim sebagai tentara pendudukan ke Indonesia,
yang baru saja menyatakan kemerdekaannya .
"Saya tidak setuju dengan itu berdasar pendirian yang
sederhana sekali waktu kami diduduki Jerman, kami merasakan
bagaimana kalau harus hidup di bawah perintah suatu penjajah,"
kata Princen. Tatkala kembali ke Belanda untuk menengok ibunya
yang sakit keras, Princen ditangkap dan kemudian dikirim ke
Indonesia --yang kemudian menjadi tanah airnya.
Karena desersinya itu, sesampai di Indonesia Princen
dijatuhi hukuman satu tahun oleh Militaire Krijgsraad te Velde
(pengadilan militer) di Sukabumi. Usai menjalani hukuman ia
dikirim ke Purwakarta, dan di sini ia mulai kenal dan bergaul
dengan beberapa seniman Indonesia, antara lain Burhanuddin,
Chairil Anwar, Asrul Sani dan Mochtar Apin .
September 1948 ia melarikan diri ke luar Republik di daerah
Pati. Tapi tak lama kemudian ia ditangkap tentara dari batalion
Sudiarto yang terlibat Peristiwa Madiun. Untung datang pasukan
Kemal Idris dari Divisi Siliwangi dan membebaskan kota Pati --
dan juga Princen.
Dari sinilah ia bergabung dengan batalion "Kala Hitam " Kemal
Idris dan ikut long march ke Jawa Barat. Ia masuk agama Islam
dan menikah dengan seorang gadis Sunda. Pada clash II Princen
berpangkat Letnan Dua. "Belanda waktu itu menyediakan hadiah
40.000 gulden untuk kepala saya. Hidup atau mati," kata Princen.
Dalam suatu pertempuran, ia kehilangan 14 anak buahnya dan juga
Odah, istrinya.
Sampai 1956 Princen kemudian bekerja di SUAD I, kemudian
menjadi anggota DPR mewdkili golongan Minoritas Eropa Fraksi
IPKI. Semasa Orde Lama bcberapa kali ia ditangkap dan ditahan,
terakhir antara 1962-1966 bersama sejumlah tokoh Masyumi, PSI
dan wartaan seperti Mochtar Lubis. Tatkala pada 1969 Gubernur
Ja-Teng Munadi menuduhnya komunis. Kemal Idris dan Kol. (waktu
itu) Ali Said membantahnya.
Princen, pemegang Bintang Gerilya, juga menjadi "langganan"
tahanan selama pemerintahan Orde Baru. Ketika Peristiwa 15
Januari ia ditahan selama lebih dua tahun. Menjelang Sidang Umum
MPR 1978 ia juga ditahan. Kini ia bekerja sebagai pengacara dan
tinggal di daerah Jatinegara, Jakarta.
Yang juga mernbuat Princen curiga atas penolakan visanya:
pada 1977 ia gampang memperoleh visa buat menengok ibunya yang
sakit. Pada 1978 ia tiga kali ke Belanda, diantaranya malah ia
pernah diwawancarai tv Belanda.
Kabarnya, selama seminar hak-hak asasi yang berlangsung
pekan lalu itu, Princen disambut secara "in-abstentia" dan
kursi yang disediakan untuknya dibiarkan kosong. Suatu delegasi
juga dikirim ke Menlu C.A. van der Klaauw untuk memprotes
penolakan visa pada Princen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini