Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pongke dan sebuah masa lalu

Selaku ketua umum lembaga hak-hak asasi manusia h.j.c princen mendapat undangan untuk menghadiri seminar internasional tentang hak asasi manusia di amsterdam, tapi permohonan visanya di tolak. (nas)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA kekecewaan itu masih tampak di wajah H.J.C. Princen. "Saya ingin marah. Ingin mengumpat --kalau memang ada hak untuk mengumpat," kata Princen tatkala ditemui TEMPO Sabtu pagi lalu. Masih berpakaian piyama batik, pagi itu iasedang siap mendengarkan siaran Radio Hilver um dari Negeri Belanda. Agaknya untuk mencari tahu apakah ada berita yang menyangkut dirinya. Ceritanya dimulai dua pekan lalu Haji Princen, 55 tahun, selaku Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-hak Asasi manusia diundang untuk menghadiri suatu seminar internasional tentang hakhak asasi manusia yang diadakan di Amsterdam, Negeri Belanda. Diselenggarakan oleh Novib, lembaga sosial di negeri itu, antara 8-13 Desember 1980 dan mengundang banyak lembaga sosial di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Princen merupakan salah satu dari tiga orang Indonesia yang sedianya hadir dalam seminar tersebut. Namun Princen--yang biasa dipanggil Pongke--ternyata urung berangkat. Permohonan visanya ditolak oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Itu yang membuat Princen kecewa. "Ini suatu ironi. Bukankah Belanda selama ini dianggap sebagai juara hak-hak asasi manusia," katanya. Permintaan visa Princen, kata W.H. Simonz, Counsellor di Kedubes Belanda di Jakarta pada TEMPO, ditolak berdasar instruksi Kemlu Belanda. Alasannya menyangkut keamanan pribacli Princen yang berkaitan dengan masa lalunya: pada 1946 Princen membelot dari tentara Kerajaan. "Masih banyak orang di Belanda --terutama yang pernah menjadi tentara bersama Prmcen, yang tidak menyukai sikapnya. Sikap bekas rekan rekan ini mungkin bisa membahayakan keselamatan Princen," kata Simonz. Diakuinya, hal itu sudah lama terjadi --sekitar 34 tahun lalu. Toh dengan dalih keselamatan Princen, permohonan visanya ditolak. Kala Hitam Masa lalunya tampaknya terus membayangi Princen. Lahir di Den Haag, Negeri Belanda, pada November 1925, anak sulung seorang guru menggambar ini berusia 18 tahun pernah ditahan tentara pendudukan Jerman sampai Mei 1945. Pertengahan l946 ia terkena wajib dinas militer namun melarikan diri ke Prancis karena menolak dikirim sebagai tentara pendudukan ke Indonesia, yang baru saja menyatakan kemerdekaannya . "Saya tidak setuju dengan itu berdasar pendirian yang sederhana sekali waktu kami diduduki Jerman, kami merasakan bagaimana kalau harus hidup di bawah perintah suatu penjajah," kata Princen. Tatkala kembali ke Belanda untuk menengok ibunya yang sakit keras, Princen ditangkap dan kemudian dikirim ke Indonesia --yang kemudian menjadi tanah airnya. Karena desersinya itu, sesampai di Indonesia Princen dijatuhi hukuman satu tahun oleh Militaire Krijgsraad te Velde (pengadilan militer) di Sukabumi. Usai menjalani hukuman ia dikirim ke Purwakarta, dan di sini ia mulai kenal dan bergaul dengan beberapa seniman Indonesia, antara lain Burhanuddin, Chairil Anwar, Asrul Sani dan Mochtar Apin . September 1948 ia melarikan diri ke luar Republik di daerah Pati. Tapi tak lama kemudian ia ditangkap tentara dari batalion Sudiarto yang terlibat Peristiwa Madiun. Untung datang pasukan Kemal Idris dari Divisi Siliwangi dan membebaskan kota Pati -- dan juga Princen. Dari sinilah ia bergabung dengan batalion "Kala Hitam " Kemal Idris dan ikut long march ke Jawa Barat. Ia masuk agama Islam dan menikah dengan seorang gadis Sunda. Pada clash II Princen berpangkat Letnan Dua. "Belanda waktu itu menyediakan hadiah 40.000 gulden untuk kepala saya. Hidup atau mati," kata Princen. Dalam suatu pertempuran, ia kehilangan 14 anak buahnya dan juga Odah, istrinya. Sampai 1956 Princen kemudian bekerja di SUAD I, kemudian menjadi anggota DPR mewdkili golongan Minoritas Eropa Fraksi IPKI. Semasa Orde Lama bcberapa kali ia ditangkap dan ditahan, terakhir antara 1962-1966 bersama sejumlah tokoh Masyumi, PSI dan wartaan seperti Mochtar Lubis. Tatkala pada 1969 Gubernur Ja-Teng Munadi menuduhnya komunis. Kemal Idris dan Kol. (waktu itu) Ali Said membantahnya. Princen, pemegang Bintang Gerilya, juga menjadi "langganan" tahanan selama pemerintahan Orde Baru. Ketika Peristiwa 15 Januari ia ditahan selama lebih dua tahun. Menjelang Sidang Umum MPR 1978 ia juga ditahan. Kini ia bekerja sebagai pengacara dan tinggal di daerah Jatinegara, Jakarta. Yang juga mernbuat Princen curiga atas penolakan visanya: pada 1977 ia gampang memperoleh visa buat menengok ibunya yang sakit. Pada 1978 ia tiga kali ke Belanda, diantaranya malah ia pernah diwawancarai tv Belanda. Kabarnya, selama seminar hak-hak asasi yang berlangsung pekan lalu itu, Princen disambut secara "in-abstentia" dan kursi yang disediakan untuknya dibiarkan kosong. Suatu delegasi juga dikirim ke Menlu C.A. van der Klaauw untuk memprotes penolakan visa pada Princen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus