PULAU Galang mulai terkenal sejak setahun lalu setelah terpilih
sebagai pusat persinggahan pengungsi Indocina. Termasuk
Kecamatan Bintan Seatan Kabupaten Kepulauan Riau, pulau ini
terletak sekitar 50 km di selatan Tanjung Pinang, ibukota
Kabupaten Kepulauan Riau. Dan bisa dicapai dari sana sekitar 3
jam perjalanan dengan kapal motor.
Luasnya lebih dari 175 kmÿFD. Pantainya sebagian berpasir,
sebagian lagi ditumbuhi hutan bakau yang tak terlalu lebat.
Semak belukar dan berbukit-bukit memenuhi sebagian besar
pulau ini. Penduduk sekitarnya hidup sebagai nelayan tradisional.
Beberapa tahun lalu Pulau Galang pernah dijadikan pusat
penanaman nanas oleh PT Mantrust (TEMPO, 24 Februari 1979).
Ada sekitar 80 ha tanah bekas tanaman nanas itu kini membelukar.
Di sana juga masih ada sekitar 100 karyawan Mantrust yang bekerja
di penggergajian perusahaan itu.
Air bukan merupakan hal yang langka di sana. Banyak sungai
meskipun dangkal. Di beberapa tempat, di selasela semak-belukar,
ditemukan bekas penampung air peninggalan tentara Jepang yang di
zaman Perang Dunia II pernah bertahan di sana.
Jika pulau ini mulai mendapat perhatian barangkali karena ketika
mengunjunginya pertengahan September 1979, Presiden Soeharto
minta agar kehidupan penduduk sekitar lokasi penampungan
pengungsi diperhatikan, "hingga ada keseimbangan dan tidak
menimbulkan keresahan."
Keropos & Doyong
Fasilitas buat para pengungsi memang jauh lebih baik dibanding
keadaan hidup penduduk sekitarnya. Menurut perhitungan kebutuhan
sehari seorang pengungsi sampai Rp 500, sementara pendapatan
rata-rata penduduk di sana sehari cuma Rp 300. Begitu pula
sementara penduduk sekitar Pulau Galang tinggal di gubug-gubug,
para pengungsi di pulau itu dibuatkan barak-barak. Ada yang
berdinding hard board beratap terpal tapi juga tak sedikit yang
berdinding papan beratap seng. Untuk pengungsi pula, dibangun
kantor, rumah sakit, jalan-jalan dan dermaga.
Bagi para pengungsi juga ada sebuah peralatan laboratorium
kesehatan bantuan Australia "yang termasuk terbaik di
Indonesia," kata dr. Nadiar, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Kepulauan Riau. Di Indonesia, alat semacam itu katanya hanya ada
di Jakarta, Surabaya dan Medan. Tak heran bila Bupati Firman
Eddy mulai berniat memanfaatkan semua fasilitas tersebut.
Tapi kapan semua pengungsi angkat kaki dari sana, itulah
soalnya. "Jangan terlalu optimis bahwa seluruh pengungsi akan
bisa diangkut dalam satu tahun ini," ujar Laksma Kuntowibisono,
Pangdaeral II selaku Ketua Tim Pengelolaan dan Penanggulangan
Pengungsi Vietnam Daerah (TP3-VD). Menhankam M. Jusuf pekan lalu
mengungkapkan di sana masih terdapat 27.000 orang pengungsi.
Setiap bulan rata-rata 4.000 sampai 4.500 orang diberangkatkan
ke negara tujuan.
Meski begitu, Bupati Firman maju terus. Bahkan ia punya gagasan
menjadikan Pulau Galang sebagai sebuah kecamatan. Itu
diungkapkannya depan sidang DPRD Kabupaten Kepulauan Riau
November 1979.
Tak jauh dari Pulau Galang, ada sebuah pulau yang kini
nyata-nyata dibenahi. Karena termasuk "sekitar Pulau Galang yang
harus dibenahi." Namanya Pulau Panjang, masuk wilayah
kepenghuluan (desa) Karas, Kecamatan Bintan Selatan.
Dihuni penduduk 847 jiwa, rumah-rumah penduduk Pulau Panjang
selama ini umumnya beratap ilalang, berdinding keropos dan
doyong. Tapi kini disulap: beratap seng berdinding papan. Dari
arah laut sekarang tampak berkilauan, lantaran seng atap rumah
penduduk pulau ini, memantulkan cahaya matahari. Gedung SD yang
sudah roboh juga dibangun kembali, sementara sebuah masjid kecil
-- impian penduduk sejak lama -- berdiri pula di sana. Tak lupa
dibuat juga sebuah balai desa dan dermaga kayu tempat para
nelayan memunggah hasil laut.
Bupati Firman Eddy masih enggan menyebut jumlah dana yang
diterimanya untuk Pulau Panjang. Sebuah sumber di Tanjung Pinang
menyebut Rp 200 juta. Tapi di lapangan, rencana santunan
penduduk itu kabarnya tidak klop. Semula direncanakan memugar
100 rumah (Rp 500.000. Setelah dihitung ternyata ada 300 rumah
yang perlu diperbaiki, tersebar di beberapa perkampungan kecil
Tanjung Rinau, Dapur Tiga, Dapur Enam dan sebagainya.
Celakanya lagi, yang diterima Pemerintah Daerah ternyata juga
cuma Rp 60 juta saja. Padahal masih ada prasarana lain yang
terlupa diusulkan, seperti Balai Pengobatan. Sisanya yang Rp 100
juta lebih itu ternyata untuk membuat 7 kapal motor tunda @ Rp
10 juta lebih, berikut beberapa puluh unit jaring. Dan itu semua
ditangani "orang pusat."
"Padahal kalau dibuat di Tanjung Pinang bisa lebih murah" kata
seorang pejabat di Tanjung Pinang. Sehingga sisanya misalnya
dapat untuk ganti rugi pohon Cengkih dan kelapa milik penduduk
yang ditebangi pengungsi. "Tidak enak kalau hanya PuIau Panjang
dan sekitar Pulau Galang saja yang dibenahi, sedang penduduk di
pulau lain yang juga terganggu oleh ulah pengungsi terlupakan,"
tambah pejabat tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini