Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Diskusi, bukan interogasi

Menyajikan kritik sosial, hampir distop pertunjukkannya oleh pejabat. hanya tak sesuai dengan alam padang sidempuan. (ter)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI lakon yang hampir 100% menyajikan kritik sosial. Tak heran bila kuping sementara pihak memerah karenanya. Ada adegan pejabat disogok cukong dengan sebuah Mercy. Ada razia perumahan liar yang sadis. Ada polisi yang merazia morfin -- dan ternyata ia sendiri morfinis. Ada pula upacara mengulosi pejabat -- dan ulosnya tak lain wanita. Semua itu dipertontonkan di sebuah ibu kota di Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan. Padang Sidempuan, kota itu di tahun 60-an boleh dibilang terpencil -- setelah pemberontakan PRRI. Baru belakangan ini sedikit ramai karena jadi persinggahan bis lintas-Sumatera. Berpenduduk hampir 70 ribu jiwa dengan luas daerah 430 ha, Sidempuan terpilih sebagai tempat estival Drama IV Tapanuli Selatan, minggu ketiga Januari lalu. Sang Tokoh, judul tontonan di atas, merupakan pertunjukan terakhir -- disajikan oleh Teater Nuansa dari Medan. Menurut pengamatan Bersihar Lubis dari TEMPO, gaya pertunjukannya mirip gaya Yellow Submarinenya Sardono W. Kusumo di Jakarta. Boleh dibilang "teater total", hanya menyuguhkan adegan-adegan dari sebuah tema yang satu sama lain tidak bersambung membentuk satu cerita. Sayangnya -- atau justru di kawasan Sumatera Utara itu masyarakatnya begitu gampang "menerima" -- gaya pertunjukan itu tak mendapat sorotan dalam pembicaraan. Yang ramai mendapat perhatian ialah kritik sosialnya. Selama pertunjukan berjalan, dari penonton sudah terdengar celetukan: "Kritik seperti itu belum lazim di sini." Bahkan seorang anggota panitia sempat berdebar. Katanya kepada TEMPO: "Saya khawatir yang berwenang akan mengambil tindakan." Benar. Keesokan harinya, acara perpisahan antara Muspida setempat dengan BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia) Sumatera Utara dan BKKNI daerah tingkat II lainnya (penyelenggara dan peserta festival) berubah menjadi diskusi tak resmi. Dan inilah sebenarnya yang menarik. Yang memulai adalah Drs. Yusuf, Sekwilda Tingkat II Tapanuli Selatan. Dalam sambutannya sebagai tuan rumah festival, tiba-tiba terselip ini. "Secara pribadi saya puas dengan permainan semalam. Cuma saya sesalkan, ada beberapa adegan yang tak sesuai dengan alam Padang Sidempuan." Dan itu berarti awal dari sebuah diskusi. Sebab Dandim 0210 Tapanuli Selatan misalnya mengaku: "Semalam, terus-terang, saya hampir berdiri untuk menyetop pementasan." Untung itu tak jadi dilakukan, karena Pak Dandim masih menghormati panitia. Toh ia sedikit berang karena Sang Tokoh banyak memperkatakan ulah pejabat. Padahal, katanya: "Kita 'kan tahu, yang berbuat begitu hanyalah segelintir oknum!" Juga Danres Polri 210 Tapanuli Selatan. Ia mengritik adegan razia morfin. "Itu bisa menjatuhkan wibawa petugas," katanya lantang. Lantas Letkol ukardi S.A., Danres itu, dengan hormat meminta seniman yang hadir agar memberi penjelasan. Pertama kali tampil Johan A. Nasution, seniman yang menjabat Kepala Bidang Kesenian Kanwil P & K Sumatera Utara. Dikatakannya kepada hadirin: lakon seperti semalam itu tak bisa lepas dari yang dirasakan seniman dalam masyarakatnya. Tapi, ia pun minta maaf, dan memahami bahwa situasi dan kondisi Padang Sidempuan agaknya "memang belum mengizinkan." Demokrasi Sutradara pementasan itu sendiri, Barani Nasution, ternyata juga minta maaf. Dan menceritakan proses pementasannya. Katanya, Sang Tokoh merupakan karya bersama. Ketika ia memberi kebebasan anak buahnya untuk berekspresi sendiri, seorang anggota yang lain mencatat apa saja yang dilakukan warga Teater Nuansa Medan itu. "Tahu-tahu catatan itu merupakan satu cerita yang selesai," katanya. Suara yang agak berbeda datang dari tokoh-tokoh teater Padang Sidempuan sendiri. Bagi mereka kritik sosial dalam pementasan anak-anak Medan itu justru tak jadi masalah. Yang mereka kritik: kualitas pementasannya. Burhan Pohan misalnya, menilai Sang Tokoh sebagai hanya "sederet slogan bombastis." Kalau hanya kritik sosial," sudah sering dilontarkan anak-anak Padang Sidempuan sendiri. Lewat puisi, juga pementasar, drama," cerita Burhan. Toh para seniman itu diam-diam mengucapkan terima kasih kepada para pejabat Padang Sidempuan. Sebab seperti dibilang Burhan Piliang, tokoh teater Medan, diskusi itu justru "merupakan pertanda masih adanya demokrasi." Para pejabat, dengan sangat adil, menyerang bermuka-muka dan bersedia menerima penjelasan. Diskusi memang bukan interogasi -- apapun hasilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus