INI lakon yang hampir 100% menyajikan kritik sosial. Tak heran
bila kuping sementara pihak memerah karenanya. Ada adegan
pejabat disogok cukong dengan sebuah Mercy. Ada razia perumahan
liar yang sadis. Ada polisi yang merazia morfin -- dan ternyata
ia sendiri morfinis. Ada pula upacara mengulosi pejabat -- dan
ulosnya tak lain wanita.
Semua itu dipertontonkan di sebuah ibu kota di Daerah Tingkat II
Tapanuli Selatan. Padang Sidempuan, kota itu di tahun 60-an
boleh dibilang terpencil -- setelah pemberontakan PRRI. Baru
belakangan ini sedikit ramai karena jadi persinggahan bis
lintas-Sumatera. Berpenduduk hampir 70 ribu jiwa dengan luas
daerah 430 ha, Sidempuan terpilih sebagai tempat estival Drama
IV Tapanuli Selatan, minggu ketiga Januari lalu.
Sang Tokoh, judul tontonan di atas, merupakan pertunjukan
terakhir -- disajikan oleh Teater Nuansa dari Medan. Menurut
pengamatan Bersihar Lubis dari TEMPO, gaya pertunjukannya mirip
gaya Yellow Submarinenya Sardono W. Kusumo di Jakarta. Boleh
dibilang "teater total", hanya menyuguhkan adegan-adegan dari
sebuah tema yang satu sama lain tidak bersambung membentuk satu
cerita. Sayangnya -- atau justru di kawasan Sumatera Utara itu
masyarakatnya begitu gampang "menerima" -- gaya pertunjukan itu
tak mendapat sorotan dalam pembicaraan. Yang ramai mendapat
perhatian ialah kritik sosialnya.
Selama pertunjukan berjalan, dari penonton sudah terdengar
celetukan: "Kritik seperti itu belum lazim di sini." Bahkan
seorang anggota panitia sempat berdebar. Katanya kepada TEMPO:
"Saya khawatir yang berwenang akan mengambil tindakan."
Benar. Keesokan harinya, acara perpisahan antara Muspida
setempat dengan BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional
Indonesia) Sumatera Utara dan BKKNI daerah tingkat II lainnya
(penyelenggara dan peserta festival) berubah menjadi diskusi tak
resmi. Dan inilah sebenarnya yang menarik.
Yang memulai adalah Drs. Yusuf, Sekwilda Tingkat II Tapanuli
Selatan. Dalam sambutannya sebagai tuan rumah festival,
tiba-tiba terselip ini. "Secara pribadi saya puas dengan
permainan semalam. Cuma saya sesalkan, ada beberapa adegan yang
tak sesuai dengan alam Padang Sidempuan." Dan itu berarti awal
dari sebuah diskusi.
Sebab Dandim 0210 Tapanuli Selatan misalnya mengaku: "Semalam,
terus-terang, saya hampir berdiri untuk menyetop pementasan."
Untung itu tak jadi dilakukan, karena Pak Dandim masih
menghormati panitia. Toh ia sedikit berang karena Sang Tokoh
banyak memperkatakan ulah pejabat. Padahal, katanya: "Kita 'kan
tahu, yang berbuat begitu hanyalah segelintir oknum!"
Juga Danres Polri 210 Tapanuli Selatan. Ia mengritik adegan
razia morfin. "Itu bisa menjatuhkan wibawa petugas," katanya
lantang. Lantas Letkol ukardi S.A., Danres itu, dengan hormat
meminta seniman yang hadir agar memberi penjelasan.
Pertama kali tampil Johan A. Nasution, seniman yang menjabat
Kepala Bidang Kesenian Kanwil P & K Sumatera Utara. Dikatakannya
kepada hadirin: lakon seperti semalam itu tak bisa lepas dari
yang dirasakan seniman dalam masyarakatnya. Tapi, ia pun minta
maaf, dan memahami bahwa situasi dan kondisi Padang Sidempuan
agaknya "memang belum mengizinkan."
Demokrasi
Sutradara pementasan itu sendiri, Barani Nasution, ternyata juga
minta maaf. Dan menceritakan proses pementasannya. Katanya, Sang
Tokoh merupakan karya bersama. Ketika ia memberi kebebasan anak
buahnya untuk berekspresi sendiri, seorang anggota yang lain
mencatat apa saja yang dilakukan warga Teater Nuansa Medan itu.
"Tahu-tahu catatan itu merupakan satu cerita yang selesai,"
katanya.
Suara yang agak berbeda datang dari tokoh-tokoh teater Padang
Sidempuan sendiri. Bagi mereka kritik sosial dalam pementasan
anak-anak Medan itu justru tak jadi masalah. Yang mereka kritik:
kualitas pementasannya. Burhan Pohan misalnya, menilai Sang
Tokoh sebagai hanya "sederet slogan bombastis." Kalau hanya
kritik sosial," sudah sering dilontarkan anak-anak Padang
Sidempuan sendiri. Lewat puisi, juga pementasar, drama," cerita
Burhan.
Toh para seniman itu diam-diam mengucapkan terima kasih kepada
para pejabat Padang Sidempuan. Sebab seperti dibilang Burhan
Piliang, tokoh teater Medan, diskusi itu justru "merupakan
pertanda masih adanya demokrasi." Para pejabat, dengan sangat
adil, menyerang bermuka-muka dan bersedia menerima penjelasan.
Diskusi memang bukan interogasi -- apapun hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini