Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sulchan, kasir kita

Jakarta: gunung agung, 1979 resensi oleh: gunawan mohamad.(bk)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJUTAN SEORANG KACUNG: OTOBIOGRAFI H.M. SULCHAN Penerbit: Gunung Agung, Jakarta 1979 150 halaman (termasuk foto + indeks). DI Indonesia, seorang kaya mungkin sebuah atraksi. Tapi seorang kaya yang berangkat dari kemiskinan adalah sebuah legenda. Apalagi bila ia berasal dari Jawa Tengah. Di sini mobilitas sosial bukan saja pelan, tapi juga rumit. Dan jika itu terjadi, lazimnya hanya di dunia para pedagang tak ditopang oleh satu sistem yang mapan, tanpa hirarki yang utuh, seorang bisa naik jenjang ke puncak, dari anak tangga terbawah dunia saudagar. Namun pedagang bukanlah makhluk terpandang -- dan banyak jumlahnya -- di sekitar kraton Yogya dan Sala itu. Mungkin ini biasa di sekitar aristokrasi mana pun, mungkin pula ini pengaruh Hindu yang meletakkan pedagang pada kelas ketiga. Mungkin pula kecenderungan ini dipertegas oleh raja-raja Mataram di abad ke-17. Sultan Agung misalnya mengatakan, "Aku seorang raja dan prajurit, bukan pedagang seperti raja-raja lain di Jawa." Amangkurat, penggantinya, melarang rakyatnya berdagang. Dan seorang sejarawan pun menulis: "Para penguasa Jawalah yang dengan sepenuh hati dan secara berhasil menghancurkan semangat berniaga rakyat mereka." Lewat pertengahan abad ke-19 kemiskinan pun begitu merata, dan hanya para bupati saja yang merupakan kelompok berpenghasilan tinggi -- dengan bantuan Belanda. Awal abad ke-20 pada dasarnya keadaan tak berubah. Tapi di masyarakat Jawa ada sumber kekuatan lain, yang secara tradisional jauh dari kalangan aristokrat: kalangan santri. Di sini nampaknya kuat sekali dorongan sebuah kelas baru menuju ke permukaan. Dengan latar belakang seperti itulah. otobiografi H.M. Sulchan bisa menarik untuk diikuti sebagai satu dokumen. Tentu saja Sulchan bukan orang Jawa pertama yang kaya, dengan merangkak dari bawah. Ada Nitisemito, raja rokok kretek cap Tiga Bola dari Kudus. Tapi tokoh ini naik dan hilang nyaris tak tercatat. Sebaliknya Sulchan adalah yang pertama mengisahkan hidupnya sendiri. Kurang Data Bukunya terbit pada saat yang tepat: Atau mungkin justru ditulis karena itu. Inilah masa, ketika semangat berniaga bukan saja tak ditindas, tapi merambah ke mana-mana, termasuk ke kalangan tertinggi aristokrasi tradisional Jawa. Ini juga masa ketika pengusaha "pribumi" bergerak dengan protes seperti masa Sarekat Dagang Islam di dasawarsa pertama abad ke-20 -- suatu protes yang makin didengar. Ini juga masa orang berbicara santer tentang wiraswasta. Sayang sekali, buku ini belum lengkap terasa. Kejutan pada dasarnya baru semacam sinopsis sebuah riwayat yang terentang hampir 70 tahun. Terasa sekali kekurangan data yang terperinci, dan mungkin karena itu di banyak tempat otobiografi ini disisipi dengan deskripsi malam, pedesaan, suasana sedih atau senang yang sebenarnya bersifat umum. Bahkan deskripsi suasana semacam itu bisa menimbulkan keraguan. Lukisan alam, pilihan kata, perlambangan dan personifikasi bukanlah sekedar ornamen. Semua itu pantulan karakter pengarangnya. Adakah pribadi Sulchan tercermin dalam gaya buku ini -- yang ditulis dengan bahasa yang rapi, teratur dan bisa memikat? Pemakaian kata "aku", misalnya, dan bukan "saya", yang tak lazim bagi orang Jawa Tengah dalam berbahasa Indonesia sehari-hari, menunjukkan penulisnya seorang yang terbiasa dengan cara berbahasa puisi atau novel mutakhir. Begitukah halnya H.M. Sulchan, tokoh yang sibuk dengan bisnis dan kerja sosial ini? Mungkin sekali buku ini ditulis oleh orang lain. Tak jadi apa: Bung Karno pun perlu cari Cindy Adams. Tapi akan lebih baik kiranya seandainya si penulis, yang nampaknya cukup bertanggungjawab dengan kerjanya ini, punya lebih banyak waktu "di lapangan". Kita diberitahu misalnya, bahwa Sulchan (yang waktu kecil bernama Kasan adalah anak nelayan miskin di Desa Wedung. Tapi kita tak diberi lukisan setting (latar) yang cukup. Kita tak tahu adakah keluarga Kasan yang termiskin di sana, golongan manakah yang terkaya, bagaimana pula kontak penduduk dengan orang luar. Bahkan hal penting lain rasanya terlampaui begitu saja. Kita misalnya tak dapat gambaran yang cukup tentang profil anak-anak dalam keluarga Sulchan: bagaimana riwayat pendidikan sekolah mereka, sejauh mana mereka tertarik agama, atau musik atau bisnis. Dengan siapa pula mereka bergaul, dan dengan siapa mereka kawin. Mengetahui ini agaknya penting, guna bahan penduga adakah keluarga Sulchan --dengan status sosial yang berubah -- menunjukkan perubahan dalam menilai kerja, kekayaan dan pengaruh luar. Mungkin buku ini hanya dititikberatkan pada Sulchan sebagai seorang yang bisa mengatasi kemelaratannya -- lewat langkah yang ulet & rezeki Allah. Kegigihan Sulchan memang nampak terbayang di sini. Sayang bahwa masa formatifnya, ketika ia jadi kacung pabrik beras yang dipimpin Jepang, sebelum Perang Dunia II, hanya diringkas sebanyak 10 halaman. Barangkali karena itu keuletan Sulchan justru baru kita rasakan waktu setelah ia jadi pengusaha, terutama di zaman kacang dan kapuk. Gerbang suksesnya seolah begitu saja dibukakan oleh orang lain oleh mertuanya, Haji Jufri dan oleh Haji Ramli dari Surakarta yang dikenalnya di Tanah Suci. Orang ini memberinya 600 gulden secara cuma-cuma, sebagai modal awal. Etika Protestan Tapi mungkin itu mencerminkan nilai-nilai di kalangan pedagang Islam masa itu penghargaan kepada si rajin, betapa pun miskinnya, sebagaimana ditunjukkan Haji Jufri ketika ia memilih si anak melarat dari Wedung untuk jadi menantu. Juga, adanya semacam setiakawan yang panjang antar jamaah haji, setelah menempuh perjalanan yang waktu itu jarang dan sulit ke Tanah Suci. Menarik sebenarnya untuk mengetahui adakah nilai-nilai seperti itu masih berlaku pada masa kini -- satu hal yang mungkin penting untuk menelaah faktor kekuatan kalangan pengusaha "pribumi" pada taraf sekarang. Otobiografi Sulchan memang menunjukkan dia sebagai sosiawan. Harta adalah milik Tuhan. Dia hanya sang kasir. Tapi filantrofi semacam ini, yang juga terkandung dalam "etika Protestan" di kalangan kapitalis Amerika, (kerja keras, harta banyak dan memberi cukup), rasanya lebih lugas dan lebih impersonal ketimbang setiakawan Haji Ramli. Tak hanya itu. Betapa pun etika seperti itu lazim terdapat di kalangan wiraswasta -- dan memang layak ada di sana -- masih jadi persoalan sejauh mana ia bisa menjawab masalah "pemerataan". Namun tentu itu bukanlah masalah Haji Sulchan seorang. Kita kini banyak bicara soal entrepeneurship Kita juga banyak bicara pasal 33 UUD, sosialisme dan egalitarianisme. Tapi mungkin kita belum bertanya, apalagi menjawab, apakah kita bicara tentang satu cita-cita yang sama. G.M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus