KEJUTAN SEORANG KACUNG: OTOBIOGRAFI H.M. SULCHAN
Penerbit: Gunung Agung,
Jakarta 1979
150 halaman (termasuk foto + indeks).
DI Indonesia, seorang kaya mungkin sebuah atraksi. Tapi seorang
kaya yang berangkat dari kemiskinan adalah sebuah legenda.
Apalagi bila ia berasal dari Jawa Tengah.
Di sini mobilitas sosial bukan saja pelan, tapi juga rumit. Dan
jika itu terjadi, lazimnya hanya di dunia para pedagang tak
ditopang oleh satu sistem yang mapan, tanpa hirarki yang utuh,
seorang bisa naik jenjang ke puncak, dari anak tangga terbawah
dunia saudagar. Namun pedagang bukanlah makhluk terpandang --
dan banyak jumlahnya -- di sekitar kraton Yogya dan Sala itu.
Mungkin ini biasa di sekitar aristokrasi mana pun, mungkin pula
ini pengaruh Hindu yang meletakkan pedagang pada kelas ketiga.
Mungkin pula kecenderungan ini dipertegas oleh raja-raja Mataram
di abad ke-17. Sultan Agung misalnya mengatakan, "Aku seorang
raja dan prajurit, bukan pedagang seperti raja-raja lain di
Jawa." Amangkurat, penggantinya, melarang rakyatnya berdagang.
Dan seorang sejarawan pun menulis: "Para penguasa Jawalah yang
dengan sepenuh hati dan secara berhasil menghancurkan semangat
berniaga rakyat mereka."
Lewat pertengahan abad ke-19 kemiskinan pun begitu merata, dan
hanya para bupati saja yang merupakan kelompok berpenghasilan
tinggi -- dengan bantuan Belanda. Awal abad ke-20 pada dasarnya
keadaan tak berubah. Tapi di masyarakat Jawa ada sumber kekuatan
lain, yang secara tradisional jauh dari kalangan aristokrat:
kalangan santri. Di sini nampaknya kuat sekali dorongan sebuah
kelas baru menuju ke permukaan.
Dengan latar belakang seperti itulah. otobiografi H.M. Sulchan
bisa menarik untuk diikuti sebagai satu dokumen. Tentu saja
Sulchan bukan orang Jawa pertama yang kaya, dengan merangkak
dari bawah. Ada Nitisemito, raja rokok kretek cap Tiga Bola dari
Kudus. Tapi tokoh ini naik dan hilang nyaris tak tercatat.
Sebaliknya Sulchan adalah yang pertama mengisahkan hidupnya
sendiri.
Kurang Data
Bukunya terbit pada saat yang tepat: Atau mungkin justru ditulis
karena itu. Inilah masa, ketika semangat berniaga bukan saja tak
ditindas, tapi merambah ke mana-mana, termasuk ke kalangan
tertinggi aristokrasi tradisional Jawa. Ini juga masa ketika
pengusaha "pribumi" bergerak dengan protes seperti masa Sarekat
Dagang Islam di dasawarsa pertama abad ke-20 -- suatu protes
yang makin didengar. Ini juga masa orang berbicara santer
tentang wiraswasta.
Sayang sekali, buku ini belum lengkap terasa. Kejutan pada
dasarnya baru semacam sinopsis sebuah riwayat yang terentang
hampir 70 tahun. Terasa sekali kekurangan data yang terperinci,
dan mungkin karena itu di banyak tempat otobiografi ini disisipi
dengan deskripsi malam, pedesaan, suasana sedih atau senang yang
sebenarnya bersifat umum.
Bahkan deskripsi suasana semacam itu bisa menimbulkan keraguan.
Lukisan alam, pilihan kata, perlambangan dan personifikasi
bukanlah sekedar ornamen. Semua itu pantulan karakter
pengarangnya. Adakah pribadi Sulchan tercermin dalam gaya buku
ini -- yang ditulis dengan bahasa yang rapi, teratur dan bisa
memikat? Pemakaian kata "aku", misalnya, dan bukan "saya", yang
tak lazim bagi orang Jawa Tengah dalam berbahasa Indonesia
sehari-hari, menunjukkan penulisnya seorang yang terbiasa dengan
cara berbahasa puisi atau novel mutakhir. Begitukah halnya H.M.
Sulchan, tokoh yang sibuk dengan bisnis dan kerja sosial ini?
Mungkin sekali buku ini ditulis oleh orang lain. Tak jadi apa:
Bung Karno pun perlu cari Cindy Adams. Tapi akan lebih baik
kiranya seandainya si penulis, yang nampaknya cukup
bertanggungjawab dengan kerjanya ini, punya lebih banyak waktu
"di lapangan". Kita diberitahu misalnya, bahwa Sulchan (yang
waktu kecil bernama Kasan adalah anak nelayan miskin di Desa
Wedung. Tapi kita tak diberi lukisan setting (latar) yang
cukup. Kita tak tahu adakah keluarga Kasan yang termiskin di
sana, golongan manakah yang terkaya, bagaimana pula kontak
penduduk dengan orang luar.
Bahkan hal penting lain rasanya terlampaui begitu saja. Kita
misalnya tak dapat gambaran yang cukup tentang profil anak-anak
dalam keluarga Sulchan: bagaimana riwayat pendidikan sekolah
mereka, sejauh mana mereka tertarik agama, atau musik atau
bisnis. Dengan siapa pula mereka bergaul, dan dengan siapa
mereka kawin.
Mengetahui ini agaknya penting, guna bahan penduga adakah
keluarga Sulchan --dengan status sosial yang berubah --
menunjukkan perubahan dalam menilai kerja, kekayaan dan pengaruh
luar.
Mungkin buku ini hanya dititikberatkan pada Sulchan sebagai
seorang yang bisa mengatasi kemelaratannya -- lewat langkah yang
ulet & rezeki Allah. Kegigihan Sulchan memang nampak terbayang
di sini. Sayang bahwa masa formatifnya, ketika ia jadi kacung
pabrik beras yang dipimpin Jepang, sebelum Perang Dunia II,
hanya diringkas sebanyak 10 halaman.
Barangkali karena itu keuletan Sulchan justru baru kita rasakan
waktu setelah ia jadi pengusaha, terutama di zaman kacang dan
kapuk. Gerbang suksesnya seolah begitu saja dibukakan oleh
orang lain oleh mertuanya, Haji Jufri dan oleh Haji Ramli dari
Surakarta yang dikenalnya di Tanah Suci. Orang ini memberinya
600 gulden secara cuma-cuma, sebagai modal awal.
Etika Protestan
Tapi mungkin itu mencerminkan nilai-nilai di kalangan pedagang
Islam masa itu penghargaan kepada si rajin, betapa pun
miskinnya, sebagaimana ditunjukkan Haji Jufri ketika ia memilih
si anak melarat dari Wedung untuk jadi menantu. Juga, adanya
semacam setiakawan yang panjang antar jamaah haji, setelah
menempuh perjalanan yang waktu itu jarang dan sulit ke Tanah
Suci.
Menarik sebenarnya untuk mengetahui adakah nilai-nilai seperti
itu masih berlaku pada masa kini -- satu hal yang mungkin
penting untuk menelaah faktor kekuatan kalangan pengusaha
"pribumi" pada taraf sekarang. Otobiografi Sulchan memang
menunjukkan dia sebagai sosiawan. Harta adalah milik Tuhan. Dia
hanya sang kasir. Tapi filantrofi semacam ini, yang juga
terkandung dalam "etika Protestan" di kalangan kapitalis
Amerika, (kerja keras, harta banyak dan memberi cukup), rasanya
lebih lugas dan lebih impersonal ketimbang setiakawan Haji
Ramli.
Tak hanya itu. Betapa pun etika seperti itu lazim terdapat di
kalangan wiraswasta -- dan memang layak ada di sana -- masih
jadi persoalan sejauh mana ia bisa menjawab masalah
"pemerataan".
Namun tentu itu bukanlah masalah Haji Sulchan seorang. Kita kini
banyak bicara soal entrepeneurship Kita juga banyak bicara pasal
33 UUD, sosialisme dan egalitarianisme. Tapi mungkin kita belum
bertanya, apalagi menjawab, apakah kita bicara tentang satu
cita-cita yang sama.
G.M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini