JUMAT tengah hari itu beberapa nelayan tampak di pantai Awang
Lombok Tengah bagian selatan. Siang itu air laut mendadak surut
selama 10 menit sampai di mulut teluk, setelah sebelumnya
terjadi guncangan selaml 5 menit. Tak lama kemudian, di
permukaan tampak batu-batu seperti dilempar-lemparkan dari dasar
laut. Air tiba-tiba menghitam, menguapkan bau yang lain dari
biasanya, disusul gulungan ombak setinggi 8 meter, gemuruh
meledak-ledak dari tengah laut menghempas daratan dengan deras
sejauh 400 meter. Nelayan-nelayan itu hilang seketika. Dan
perkampungan desa Awang yang berpenduduk 108 kepala keluarga itu
pun rata dengan tanah....
Itu sebagian gambaran yang menyedihkan dari gelombang pasang
akibat gempa bumi da'nsyat 19 Agustus lalu di Bali dan NTB
(Lombok & Sumbawa). Gelombang ganas yang juga disebut tsunami
itu - seperti yang sering melanda pesisir Jepang - baru pertama
kali ini terjadi di Indonesia (lihat Ilmu).
Di Mataram-Cakranegara (Lombok) beberapa munggu sebelum musibah
itu telah beredar semacam kepercayaan bahwa dalam musim kemarau
ini akan terjadi peristiwa besar yang minta korban jiwa. Musibah
itu berupa 'gering' wabah penyakit yang menyerang hewan dan
manusia.
Dan sebelum gempa itu memang banyak anjing mati karena
penyakitan. Konon setelah hewan, tiba giliran manusia. Maka
masyarakat Hindu di Lombok Barat tak sedikit yang memasang
menolak bala depan pintu rumah mereka. Tapi bala yang ditolak
itu tetap datang. Bahkan tidak hanya di Lombok, melainkan juga
di wilayah sekitarnya.
Di Labuhan Haji, Lombok Timur selama beberapa menit air laut
nlenggenangi sebuah pasar yang memang dekat pantai. Kapal motor
"Kemajuan 76" (7 ton) sempat terangkat ke darat sejauh lima
meter, sementara kapal motor lain (3 ton) terhempas pohon
kelapa.
Hancurnya Catur Muka
Dari Mataram, ibukota Lombok, pembantu tetap TEMPO, Oka
Sunandi, menulis bahwa Jumat malam itu hampir tak ada orang
tidur di rumah. Tak ada rumah roboh memang tapi
tembok-temboknya bergoyang-goyang dan retak. Terutama
rumah-rumah sekitar Mataram. Cakranegara, Ampenan -- yang
temboknya terbuat dari tanah atau batu bata mentah. Menara
mesjid Karang Kelok Mataram patah dan menggelinding di tanah.
Beberapa detik setelah gempa. Lonceng Lembaga Pemasyarakatan
Mataran berdentang berkali-kali disambut kentongan di
kampung-kampung tanda bahaya. Dan sejak siang hampir semua orang
numplek di jalanan, hingga lalulintas macet. Di tengah
lengkingan tangis, terdengar doa bermacam agama.
Laporan Putu Setia koresponden di Bali, menyebutkan bangunan
yang runtuh tak begitu banyak. Di kabupaten Badung cuma satu,
milik Made Gendra di Br. Sesetan Tengah. Di Klungkung dua, di
Nusa Penida empat dan satu SD Inpres. Dan hanya di pulau gersang
inilah terdapat korban jiwa. Itu pun cuma dua orang: Nengah
Lunjuk (8 tahun) dan Ni Made Murti (10 tahun). Empat lainnya
luka berat.
Namun gunjang-ganjing selama lima menit -- lima kali lebih lama
dari gempa tahun lalu yang juga melanda Bali tentu menegangkan
syaraf. Anehnya, meski tampaknya 'jinak' tapi gempa kali ini tak
kenal kompromi terhadap pura, bangunan tempat ibadah umat Hindu
Bali. Di Badung dua pura rusak: Dalem Bija Semana dan Dalem Yang
Batu.
Pura Pemaksan di Klungkung rusak pintu gerbangnya. Dan pura
paling besar. Penataran Ped di Nusa Penida, hancur total.
Kerusakan yang tak begitu berat hampir merata pada pura yang
besarbesar. Ada yang jebol temboknya, ada yang runtuh candi
bentarnya. Menurut beberapa ahli, pura temlasuk bangunan tahan
guncangan gempa karena arsitekturnya menerapkan pedoman Asfal
Kosala-Kosali.
Alkisah, umat Hindu Bali percaya pura tak akan hancur kalau
bukan lantaran kehendak Yang Maha Kuasa. Sering terjadi, kalau
ada angin ribut atau kebakaran, pura tetap aman. Maka peristiwa
gempa kemarin pun ditafsirkan sebagai semacam isyarat. Misalnya
tentang hancurnya tangan patung Catur Muka yang berdiri di pusat
kota Denpasar. Kebetulan tangan itu tergeletak di sebelah timur
laut, menunjuk ke arah pura Besakih. Dan di sana ada prasasti
Bhagawan Garga yang ditulis dalam pertemuan para tokoh agama di
pura Besakih bulan Juli lalu.
Isinya: ramalan akan terjadinya gempa berulang-ulang sebelum
upacara Karya Eka Dasa Ludra di pura Besakih. Nah. Lalu
disimpulkan: upacara yang akan diselenggarakan bulan Maret 1979
itu harus dilaksanakan meski biayanya besar. Persiapannya harus
mantap mulai sekarang.
Lempad Berantakan
Turis-turis asing yang Jum'at siang itu berjemur di pantai Kuta
pun mengalami nasib sial. Seperempat jam setelah gempa, tanpa
diduga gelombang pasang naik tiga meter disertai arus kuat.
Sejumlah pakaian, kamera, tas-tas berisi barang berharga jadi
lenyap.
Di pantai Sanur, sekitar hotel Bali Beach, sejumlah sampan
berjejer menunggu turis pesiar. Mendadak, selama 45 menit air
laut pasang setinggi 10 meter. Sampan yang parkir dekat landasan
helikopter hotel Bali Beach rusak dibentur gelombang. Ada pula
yang hanyut sampai ke tengah laut. Tak kurang dari 26 sampan
rusak. Sebuah jip terseret pula ke laut.
Di Pusat Pengembangan Kebudayaan Bali, sejumlah ukiran jebol.
Beberapa patung rusak berantakan, misalnya karya Lempad atau
Cokot yang tak mungk in dicari gantinya di art shop. Di
antaranya juga ada patung anonim, melukiskan seekor burung
mematuk ular, karya seniman dari Pujung, Gianyar, Sayan, patung
sebagus itu kini hancur 'dipatuk' gempa.
Yang paling parah kecamatan Lunyuk, Sumbawa Selatan. Di sini,
setelah lima menit diguncang gempa, air laut surut 400 meter
dari garis pantai, lalu terdengar tiga kali dentuman kcras,
disusul gelombang pasang setinggi 10 meter, menyerang daratan
sejauh 700 meter. Serangan gelombang itu sampai tiga kali selama
5 sampai 15 menit.
"Hampir sulit dipercaya kalau di Lunyuk pernah ada tempat
permukiman manusia," ujar dr. Robby Undap - dokter anggota tim
SAR -- kepada pembantu TEMPO di Lombok, Ahmad JD. Desa
Ai-Ketapang seluas 75 Ha hilang tertimbun pasir, demikian pula
10 Ha sawah dan 6 Ha kebun kelapa. Di beberapa tempat hanya
bisa dikenali bekas-bekas kebun atau semen bekas sumur.
"Selebihnya pasir melulu kata Ruslan, ajudan Gubernur NTB. Batu
karang sebesar 3 meter kubik terlempar sejauh 500 meter ke
darat. sementara seekor lumba-lumba tergeletak sejauh 300 meter
dari pantai. Tubuhnya membusuk, minyaknya mencair.
Lunyuk sangat terpencil. Satu-satunya alat transpor yang bisa
digunakan hanyalah kuda. Itu pun harus menempuh jarak dua hari
dua malam. Di sini gelombang pasang telah menyapu 61 rumah,
sebuah SD dan mesjid, 20 kuda, 50 kerbau, 40 kambing. Korban
jiwa 64 orang, sedang 37 lainnya hilang. Yang selamat 279 orang,
itu pun luka-luka.
Jumlah korban di NTB (Lombok danSumbawa) hingga Sabtu malam
diperkirakan 359 orang -- di antaranya 185 meninggal, 98
luka-luka dan 76 orang hilang. Sudah seminggu tak diketemukan,
kata Gubernur Wasita, "mereka yang hilang diperkirakan sudah
tewas." Minggu lalu Presiden Soeharto menyurnbang Rp 50 juta
kepada pemerintah daerah NTB untuk menanggulangi musibah
tersebut. Sebelumnya telah pula diusahakan pengiriman bantuan
pangan, pakaian dan obat-obatan, baik oleh Pemda setempat maupun
lewat tim SAR yang dengan cepat terjun ke sana.
Bagi para nelayan, yang penting tenu bantuan berupa sampan.
"Kalau sudah punya sampan mereka akan bangun sendiri," kata
Bupati Lombok Tengah Lalu Srigede -- Gubernur NTB sendiri akan
minta kayu-kayu besar pada perusahaan Pilipina, PT Veneer
Calabay, untuk maksud tersebut.
Beberapa pejabat tinggi di bawah pimpinan Menteri Ekuin Prof.
Widjojo Nitisastro pun meninjau daerah-daerah yang tertimpa
musibah termasuk Lunyu. Kontak dengan orang-orang Jakarta yang
diharap bakal membawa pertolongan, punya kisah tersendiri. Malam
21 Agustus, dua hari setelah gempa Gubernur NTB Wasitakusumah
berkumpul di aula Kanwil Departemen Pertanian bersama Panitia
Agustus.
Setelah berbuka puasa, mereka berdoa mohon bantuan Tuhan
menanggulangi musibah itu. Lalu Wasitakusumah mengajak ajudannya
menyusun laporan. Tiba-tiba telepon berdering. Di seberang sana
terdengar suara: "Di sini Emil Saliun. Maka kedua pejabat itu
pun bicara dari jarak 1.200 km via Palapa.
"Sulit mendapatkan pertolongan segera. Sekiranya dapat,
dilakukan droping dari udara," kata Wasita lalu menceritakan
medan Lunyuk yang hanya bisa dicapai dengan kuda 2 hari 2 malam.
"Saya tak bilang pada Menteri bahwa sekarang ini kuda Sumbawa
lagi kurus-kurus." katanya kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini