Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Desa itu rata dengan tanah

Gelombang pasang akibat gampa bumi dasyat 19-08-77 di bali, lombok dan sumbawa. perkampungan awang yang berpenduduk 108 kepala keluarga rata dengan tanah. gelombang ganas yang pertama kali di indonesia. (nas)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT tengah hari itu beberapa nelayan tampak di pantai Awang Lombok Tengah bagian selatan. Siang itu air laut mendadak surut selama 10 menit sampai di mulut teluk, setelah sebelumnya terjadi guncangan selaml 5 menit. Tak lama kemudian, di permukaan tampak batu-batu seperti dilempar-lemparkan dari dasar laut. Air tiba-tiba menghitam, menguapkan bau yang lain dari biasanya, disusul gulungan ombak setinggi 8 meter, gemuruh meledak-ledak dari tengah laut menghempas daratan dengan deras sejauh 400 meter. Nelayan-nelayan itu hilang seketika. Dan perkampungan desa Awang yang berpenduduk 108 kepala keluarga itu pun rata dengan tanah.... Itu sebagian gambaran yang menyedihkan dari gelombang pasang akibat gempa bumi da'nsyat 19 Agustus lalu di Bali dan NTB (Lombok & Sumbawa). Gelombang ganas yang juga disebut tsunami itu - seperti yang sering melanda pesisir Jepang - baru pertama kali ini terjadi di Indonesia (lihat Ilmu). Di Mataram-Cakranegara (Lombok) beberapa munggu sebelum musibah itu telah beredar semacam kepercayaan bahwa dalam musim kemarau ini akan terjadi peristiwa besar yang minta korban jiwa. Musibah itu berupa 'gering' wabah penyakit yang menyerang hewan dan manusia. Dan sebelum gempa itu memang banyak anjing mati karena penyakitan. Konon setelah hewan, tiba giliran manusia. Maka masyarakat Hindu di Lombok Barat tak sedikit yang memasang menolak bala depan pintu rumah mereka. Tapi bala yang ditolak itu tetap datang. Bahkan tidak hanya di Lombok, melainkan juga di wilayah sekitarnya. Di Labuhan Haji, Lombok Timur selama beberapa menit air laut nlenggenangi sebuah pasar yang memang dekat pantai. Kapal motor "Kemajuan 76" (7 ton) sempat terangkat ke darat sejauh lima meter, sementara kapal motor lain (3 ton) terhempas pohon kelapa. Hancurnya Catur Muka Dari Mataram, ibukota Lombok, pembantu tetap TEMPO, Oka Sunandi, menulis bahwa Jumat malam itu hampir tak ada orang tidur di rumah. Tak ada rumah roboh memang tapi tembok-temboknya bergoyang-goyang dan retak. Terutama rumah-rumah sekitar Mataram. Cakranegara, Ampenan -- yang temboknya terbuat dari tanah atau batu bata mentah. Menara mesjid Karang Kelok Mataram patah dan menggelinding di tanah. Beberapa detik setelah gempa. Lonceng Lembaga Pemasyarakatan Mataran berdentang berkali-kali disambut kentongan di kampung-kampung tanda bahaya. Dan sejak siang hampir semua orang numplek di jalanan, hingga lalulintas macet. Di tengah lengkingan tangis, terdengar doa bermacam agama. Laporan Putu Setia koresponden di Bali, menyebutkan bangunan yang runtuh tak begitu banyak. Di kabupaten Badung cuma satu, milik Made Gendra di Br. Sesetan Tengah. Di Klungkung dua, di Nusa Penida empat dan satu SD Inpres. Dan hanya di pulau gersang inilah terdapat korban jiwa. Itu pun cuma dua orang: Nengah Lunjuk (8 tahun) dan Ni Made Murti (10 tahun). Empat lainnya luka berat. Namun gunjang-ganjing selama lima menit -- lima kali lebih lama dari gempa tahun lalu yang juga melanda Bali tentu menegangkan syaraf. Anehnya, meski tampaknya 'jinak' tapi gempa kali ini tak kenal kompromi terhadap pura, bangunan tempat ibadah umat Hindu Bali. Di Badung dua pura rusak: Dalem Bija Semana dan Dalem Yang Batu. Pura Pemaksan di Klungkung rusak pintu gerbangnya. Dan pura paling besar. Penataran Ped di Nusa Penida, hancur total. Kerusakan yang tak begitu berat hampir merata pada pura yang besarbesar. Ada yang jebol temboknya, ada yang runtuh candi bentarnya. Menurut beberapa ahli, pura temlasuk bangunan tahan guncangan gempa karena arsitekturnya menerapkan pedoman Asfal Kosala-Kosali. Alkisah, umat Hindu Bali percaya pura tak akan hancur kalau bukan lantaran kehendak Yang Maha Kuasa. Sering terjadi, kalau ada angin ribut atau kebakaran, pura tetap aman. Maka peristiwa gempa kemarin pun ditafsirkan sebagai semacam isyarat. Misalnya tentang hancurnya tangan patung Catur Muka yang berdiri di pusat kota Denpasar. Kebetulan tangan itu tergeletak di sebelah timur laut, menunjuk ke arah pura Besakih. Dan di sana ada prasasti Bhagawan Garga yang ditulis dalam pertemuan para tokoh agama di pura Besakih bulan Juli lalu. Isinya: ramalan akan terjadinya gempa berulang-ulang sebelum upacara Karya Eka Dasa Ludra di pura Besakih. Nah. Lalu disimpulkan: upacara yang akan diselenggarakan bulan Maret 1979 itu harus dilaksanakan meski biayanya besar. Persiapannya harus mantap mulai sekarang. Lempad Berantakan Turis-turis asing yang Jum'at siang itu berjemur di pantai Kuta pun mengalami nasib sial. Seperempat jam setelah gempa, tanpa diduga gelombang pasang naik tiga meter disertai arus kuat. Sejumlah pakaian, kamera, tas-tas berisi barang berharga jadi lenyap. Di pantai Sanur, sekitar hotel Bali Beach, sejumlah sampan berjejer menunggu turis pesiar. Mendadak, selama 45 menit air laut pasang setinggi 10 meter. Sampan yang parkir dekat landasan helikopter hotel Bali Beach rusak dibentur gelombang. Ada pula yang hanyut sampai ke tengah laut. Tak kurang dari 26 sampan rusak. Sebuah jip terseret pula ke laut. Di Pusat Pengembangan Kebudayaan Bali, sejumlah ukiran jebol. Beberapa patung rusak berantakan, misalnya karya Lempad atau Cokot yang tak mungk in dicari gantinya di art shop. Di antaranya juga ada patung anonim, melukiskan seekor burung mematuk ular, karya seniman dari Pujung, Gianyar, Sayan, patung sebagus itu kini hancur 'dipatuk' gempa. Yang paling parah kecamatan Lunyuk, Sumbawa Selatan. Di sini, setelah lima menit diguncang gempa, air laut surut 400 meter dari garis pantai, lalu terdengar tiga kali dentuman kcras, disusul gelombang pasang setinggi 10 meter, menyerang daratan sejauh 700 meter. Serangan gelombang itu sampai tiga kali selama 5 sampai 15 menit. "Hampir sulit dipercaya kalau di Lunyuk pernah ada tempat permukiman manusia," ujar dr. Robby Undap - dokter anggota tim SAR -- kepada pembantu TEMPO di Lombok, Ahmad JD. Desa Ai-Ketapang seluas 75 Ha hilang tertimbun pasir, demikian pula 10 Ha sawah dan 6 Ha kebun kelapa. Di beberapa tempat hanya bisa dikenali bekas-bekas kebun atau semen bekas sumur. "Selebihnya pasir melulu kata Ruslan, ajudan Gubernur NTB. Batu karang sebesar 3 meter kubik terlempar sejauh 500 meter ke darat. sementara seekor lumba-lumba tergeletak sejauh 300 meter dari pantai. Tubuhnya membusuk, minyaknya mencair. Lunyuk sangat terpencil. Satu-satunya alat transpor yang bisa digunakan hanyalah kuda. Itu pun harus menempuh jarak dua hari dua malam. Di sini gelombang pasang telah menyapu 61 rumah, sebuah SD dan mesjid, 20 kuda, 50 kerbau, 40 kambing. Korban jiwa 64 orang, sedang 37 lainnya hilang. Yang selamat 279 orang, itu pun luka-luka. Jumlah korban di NTB (Lombok danSumbawa) hingga Sabtu malam diperkirakan 359 orang -- di antaranya 185 meninggal, 98 luka-luka dan 76 orang hilang. Sudah seminggu tak diketemukan, kata Gubernur Wasita, "mereka yang hilang diperkirakan sudah tewas." Minggu lalu Presiden Soeharto menyurnbang Rp 50 juta kepada pemerintah daerah NTB untuk menanggulangi musibah tersebut. Sebelumnya telah pula diusahakan pengiriman bantuan pangan, pakaian dan obat-obatan, baik oleh Pemda setempat maupun lewat tim SAR yang dengan cepat terjun ke sana. Bagi para nelayan, yang penting tenu bantuan berupa sampan. "Kalau sudah punya sampan mereka akan bangun sendiri," kata Bupati Lombok Tengah Lalu Srigede -- Gubernur NTB sendiri akan minta kayu-kayu besar pada perusahaan Pilipina, PT Veneer Calabay, untuk maksud tersebut. Beberapa pejabat tinggi di bawah pimpinan Menteri Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro pun meninjau daerah-daerah yang tertimpa musibah termasuk Lunyu. Kontak dengan orang-orang Jakarta yang diharap bakal membawa pertolongan, punya kisah tersendiri. Malam 21 Agustus, dua hari setelah gempa Gubernur NTB Wasitakusumah berkumpul di aula Kanwil Departemen Pertanian bersama Panitia Agustus. Setelah berbuka puasa, mereka berdoa mohon bantuan Tuhan menanggulangi musibah itu. Lalu Wasitakusumah mengajak ajudannya menyusun laporan. Tiba-tiba telepon berdering. Di seberang sana terdengar suara: "Di sini Emil Saliun. Maka kedua pejabat itu pun bicara dari jarak 1.200 km via Palapa. "Sulit mendapatkan pertolongan segera. Sekiranya dapat, dilakukan droping dari udara," kata Wasita lalu menceritakan medan Lunyuk yang hanya bisa dicapai dengan kuda 2 hari 2 malam. "Saya tak bilang pada Menteri bahwa sekarang ini kuda Sumbawa lagi kurus-kurus." katanya kemudian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus