Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka dicium tangannya

Rombongan widjojo nitisastro, meninjau lombok yang kena gempa. wilayah yang dilanda, terisolir, menyulitkan bantuan sampai ke daerah tujuan. kunjungan disertai gubernur ntb, emil salim menteri perhubungan. (nas)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR NTB (Lombok dan Sumbawa) tampak gembira ketika menerima tim dari Jakarta yang langsung dipimpin Menteri Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro. Kedatangan orang-orang penting dari pusat itu telah dimanfaatkan oleh Gubernur Wasitakusumah untuk ikut meninjau desa-desa yang dilanda gempa. Apa yang membuat Gubernur terlambat sampai lima hari untuk melakukan inspeksi sendiri, telah dituturkan oleh seorang pembantu TEMPO yang ikut tim Widjojo. Berikut ini laporannya: Keharuan meliputi wajah Gubernur Wasitakusumah ketika menyalami Menteri Ekuin Widjojo dan Menteri Perhubungan Emil Saiim di lapangan terbang Rembiga, Lombok. Ia sedih karena wilayah-wilayahnya yang terlanda gempa sangat terisolir. Tak ada jalan menuju ke sana. "Kalau lewat laut harus menunggu sampai Januari," katanya. Maksudnya, sampai Januari itu adalah musim angin timur di mana ombak sangat besar. Lewat darat? "Harus melalui jalan setapak di bukit-bukit dan hanya bisa dilalui dengan berkuda," tambah Gubernur. Maka tim Widjojo pun terbang dengan helikopter. Ini juga dimungkinkan setelah tim SAR di bawah pimpinan Marsekal Pertama Dono Indarto berhasil mendarat di desa Perung dekat Ai Ketapang kecamatan Lunyuk, Sumbawa Selatan, 23 Agustus lalu. Penduduk Ai Ketapang sendid (yang desanya porak poranda) sudah seminggu mengungsi ke bukit Sampar Pemantu, khawatir gelombang datang lagi. Dan Gubernur Wasita baru pertama kali itu meninjau ke sana. Akan halnya tugas-tugas tim SAR, memang lancar-lancar saja adanya, meski ketika menurunkan bantuan di desa Perung, telah terjadi kecelakaan. Sebuah larung beras terpental beberapa kali dan akhirnya menimpa Afandi, seorang pemuda yang tampaknya terlalu bersemangat menyambut kedatangan tim SAR. Ia pingsan selama tiga hari dan akhirnya meninggal. Seharusnya ia bisa diselamatkan kalau tim kesehatan cepat bertindak. Tapi memang ada beberapa karung bahan makanan lain yang hancur berantakan ketika diturunkan dari udara, hingga tak bisa lagi dimanfaatkan. Desa lain yang juga lenyap adalah Tatar, kecamatan Jereweh, Sumbawa Selatan, yang berpenduduk 237 jiwa. Tanah permukimannya seluas 25 hektar, berpagar gunung, berpelataran Samudera Hindia. Semua bangunan berdinding bambu, beratap daun aren-semuanya 47 buah termasuk madrasah. Obat Sumbawa "Gelombang pasang itu bersuara ramai sekali seperti orkes," kata Zainal, kepala kampung Tatar. Ada 25 yang lewas, dua di antaranya - Daking dan Jemadil - hilang. Seperti halnya Ai Ketapang, Tatar juga belum pernah ditinjau pejabat. Paling-paling Camat. Ketika helikopter tim Widjojo mendarat dua kilometer dari lokasi musibah, penduduk berlarian menyambut. Mereka menembus belukar menuju sisa bangunan - lebih tepat gundukan tanah yang kering - di tengah padang pasir. Desa itu sekarang memang sudah menjelma jadi padang pasir. "Mana pak Gubernur?" tanya seorang penduduk. Lalu Zainal menyambung: "Ada yang sakit." la berjalan dibuntuti Widjojo dan Emil Salim menuju sebuah gubug. Yusuf, si sakit, mengaku sudah diobati oleh pak Mantri. Tapi tetangganya menjelaskan, Yusuf baru saja mendapat "obat Sumbawa" (maksudnya obat tradisionil) dari mertuanya. Ia patah tangan, memar di kepala, matanya sebelah bengkak merah-hitam. hari itu juga, atas inisiatif Widjojo dan Emil, ia diterbangkan dengan heli ke Mataram untuk perawatan. Kecamatan Jereweh - 30 kilometer dari Tatar - bisa dicapai kurang dari setengah hari perjalanan berkuda. Di sana, sebagaimana di setiap kecamatan, terdapat SSB (single side band) sebagai alat komunikasi yang penting. Di sini didapati lagi 25 orang tewas. Semula dilaporkan cuma 91 meninggal, kini jadi 116 orang. Di kampung Teruwai, kecamatan Pujuk, pantai Awang Lombok Tengah, penduduknya rata-rata nelayan. Ketika tim Widjojo datang, sambutan mereka sangat mengharukan. Tamu-tamu itu disambut, disalami, dicium tangannya. Meski tampak kegembiraan menyambut para tamu, toh pada dasarnya mereka menyimpan kesedihan. Baik anakanak maupun orang tua. Ketika Widjojo minta agar anak-anak yatim-piatu yang orang tuanya meninggal dikumpulkan, hampir semua ibu-ibu yang menggendong anaknya maju. "Bapak dan ibu saya juga mati," kata mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus