Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Diresmikan sebagai Nama Jalan, Siapa Sebenarnya Syech Nawawi Al-Bantani?

Syech Nawawi Al-Bantani merupakan tokoh ulama Islam Indonesia sekaligus intelektual yang banyak menuliskan tidak kurang dari 115 kitab.

11 Februari 2022 | 18.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas memasang plang Jalan Syech Nawawi Al-Bantani untuk menggantikan nama jalan Cakung-Cilincing di Jakarta Utara. Syech Nawawi Al-Bantani merupakan ulama ternama asal Banten sekaligus kakek buyut dari Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Foto: Pemkot Jakarta Utara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Ma’ruf Amin meresmikan pergantian nama Jalan Cakung-Cilincing di Jakarta Utara menjadi Jalan Syech Nawawi Al-Bantani pada Selasa, 8 Februari 2022. Pergantian nama tersebut telah melalui tahap sosialisasi dan persetujuan masyarakat sekitar. Menurut Ma’ruf, Syech Nawawi Al-Bantani melalui karyanya berhasil menunjukkan bahwa di bidang keilmuan ulama Islam Indonesia tidak kalah hebat dengan ulama Timur Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Selain dikenal dengan kitab-kitab karyanya, Syech Nawawi Al-Bantani memberikan andil dalam membangun karakter muslim Nusantara yang toleran, moderat, serta penuh rahmat, kasih sayang, dan welas asih,” kata Ma’ruf Amin dikutip dari Antara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu, siapa sebenarnya Syekh Nawawi Al-Bantani ini?

Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani atau lebih dikenal sebagai Syech Nawawi Al-Bantani merupakan tokoh ulama Islam Indonesia sekaligus intelektual yang banyak menuliskan kitab. Tercatat Syech Nawawi Al-Bantani telah menulis karya tidak kurang dari 115 kitab. Kitab-kitab tersebut meliputi pembahasan di bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Syech Nawawi Al-Bantani juga merupakan salah seorang ulama yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram, Mekah.

Menyadur dari buku “Ulama-ulama Yang Menghabiskan Waktunya Dengan Membaca, Menulis, dan Menebarkan Cahaya Ilmu Pengetahuan” karya KH. Husein Ahmad, Syech Nawawi Al-Bantani lahir di Tanara, sebuah desa kecil di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, pada 1230 Hijiriah atau 1813 Masehi. Ayahnya, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani, merupakan Ulama lokal di Banten. Sementara ibunya, Zubaedah, seorang ibu rumah tangga.

Nama al-Bantani yang disandang Syech Nawawi Al-Bantani dan Syekh Umar bin Arabi al-Bantani didapat dari asal mereka, yakni Banten. Syech Nawawi Al-Bantani merupakan generasi ke-12 dari raja pertama Banten Sultan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Syech Nawawi Al-Bantani adalah keturunan Nabi Muhammad dari nasab Kesultanan Banten ini.

Dikutip dari nu.or.id, hidup di lingkungan agamis, Syech Nawawi Al-Bantani sudah mulai belajar agama Islam sejak usia lima tahun. Syech Nawawi Al-Bantani belajar dari sang ayah tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Kemudian ketika usianya menginjak delapan tahun, Syech Nawawi Al-Bantani berguru kepada salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu, K.H. Sahal. Syech Nawawi Al-Bantani juga menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.

Saat menginjak usai remaja, Syech Nawawi Al-Bantani telah mengajar banyak orang. Saat itu usianya belum genap 15 tahun, namun sudah memiliki banyak murid. Untuk melangsungkan kegiatan belajar mengajarnya, Syech Nawawi Al-Bantani remaja memilih tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa berbagi ilmu dengan murid-muridnya. Syech Nawawi Al-Bantani melanjutkan menimba ilmu saat usianya menginjak 15 tahun, ia berguru kepada sejumlah ulama ternama di Mekah.

Setelah selama tiga tahun menimba ilmu di Mekah, Syech Nawawi Al-Bantani kembali ke Tanah Air pada 1828. Namun kehidupan sosial di Banten tak sama seperti yang terakhir kali ditinggalkannya. Pemerintah Hindia Belanda dengan sewenang-wenang melakukan ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat. Menyaksikan praktik yang berlawanan dengan prinsip keislaman ini, Syech Nawawi Al-Bantani tergugah untuk melakukan jihad.

Syech Nawawi Al-Bantani kemudian melakukan dakwah keliling Banten untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Akibat dakwahnya tersebut, pemerintah Belanda kemudian membatasi gerak-gerik Syech Nawawi Al-Bantani, bahkan ia juga dilarang berkhotbah di masjid-masjid. Pemerintah kolonial Belanda menuduh Syech Nawawi Al-Bantani sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang saat itu juga tengah mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda pada 1825 hingga 1830.

Bertepatan dengan puncak perlawanan Pangeran Diponegoro pada 1830, Syech Nawawi Al-Bantani akhirnya kembali ke Mekah setelah mendapat tekanan pengusiran oleh Belanda. Setibanya di Tanah Suci, Syech Nawawi Al-Bantani kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Terusir dari Tanah Airnya sendiri oleh Belanda, Syech Nawawi Al-Bantani malah terkenal di negeri orang.

Selama di Mekah, Syech Nawawi Al-Bantani mulai mengajar di halaman rumahnya. Awalnya ia hanya memiliki puluhan murid, namun semakin lama jumlahnya semakin banyak. Bahkan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Syech Nawawi Al-Bantani dikenal dunia sebagai ulama yang piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fikih, tafsir, dan tasawuf.

Nama Syech Nawawi Al-Bantani semakin dikenal ketika ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tak hanya di Mekah dan Madinah, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan namanya juga begitu masyhur.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus