RATUSAN warga Cipayung, pekan lalu, menggelar unjuk rasa di Gedung DPR/MPR. Mereka memprotes cara polisi menangkap warga sekitar Wisma Doulos. "Kami heran, kok, polisi menangkap warga yang tidak ikut menyerang," kata Dani, warga Cipayung.
Ketakutan warga kini bukan lagi pada serangan balasan simpatisan Doulos, melainkan oleh kesewenang-wenangan polisi. Itu seperti yang dialami Dani, yang sempat diangkut ke Kepolisian Daerah Metro Jaya tapi dilepas satu jam kemudian karena tidak terbukti berada di tempat kejadian.
Lain Dani, lain Ahmad Anuri, 30 tahun. Ia dituduh berada di balik penyerangan. Saat kejadian, ia mendatangi Doulos bersama sembilan muridnya. Tapi, saat itu, api sudah membakar bangunan. Kemudian, Ahmad Anuri menolong Pendeta Zacharias Patimukay. "Saya tidak tega melihat 13 wanita dan beberapa pria keluar dari wisma dikeroyok. Saya langsung berteriak menenangkan agar jangan membunuh. Kalau merusak, bolehlah," ujar Dosen Institut Studi Islam, Tanjungpriok, itu saat ditemui di Polda Metro Jaya.
Pendeta dan rombongan yang diselamatkan Anuri langsung bersimpuh minta tolong. Ustad yang gemar memakai baju koko dan kopiah putih ini disangka seorang haji. Sialnya, dialah yang pertama kali ditangkap polisi, saat sedang tidur di rumah, beberapa jam setelah penyerangan itu. "Saya dituduh provokator," katanya.
Apa penyebab warga menyerang Doulos? Menurut Anuri, penyerangan bermula dari kebencian warga. Misalnya, saat mengobati masyarakat tak mampu, dokter kesehatan Doulos mewajibkan pasien membaca rapal-rapal tertentu dan menandai tangannya dengan gerakan salib. Belum lagi penampilan pendetanya yang sering berpeci dan yang perempuan berkerudung. "Peci dan kerudung itu, kan, lambang Islam. Apa maksudnya?" kata Untung, tersangka lainnya.
Melihat cara-cara "dai" Doulos berdakwah, beberapa pemuda setempat membentuk Gerakan Anti Pemurtadan (GAP). Mereka memprotes aktivitas Doulos yang dianggap mengkristenkan warga muslim sekitar. GAP juga menyelidiki keabsahan pembangunan kompleks itu. Kebetulan, izin pembangunannya bermasalah. Klop!
Kelompok lain membentuk Gerakan Pembela Umat Islam (GPUI). Mereka mengumpulkan tanda tangan petisi warga dan mengirimkannya ke Kantor Kecamatan Cipayung—setelah kejadian, yang menandatangani petisi diuber-uber aparat. Protes warga tidak ditanggapi dan Yayasan Doulos terus melakukan aktivitasnya.
Nah, puncaknya saat bulan Ramadan. Sehabis salat tarawih, warga mengadakan pertemuan untuk menghentikan aktivitas Doulos. Sesuai dengan rencana, wisma itu akan diserang seminggu setelah awal puasa. "Rencananya hanya merusak bangunan. Tidak sampai membakar, apalagi membunuh," kata Untung.
Namun, sebelum hal itu dilaksanakan, Doulos sudah diserang dahulu. Saat itu, Dani melihat tiga bus diparkir tak jauh dari Doulos. Mereka berteriak, "Allahu Akbar. Serang!" lalu menyerbu sudut-sudut kompleks. Warga setempat, termasuk Anuri dan jemaahnya, terpancing dan ikut melampiaskan marah. Seusai penyerangan, Dani melihat seseorang memberi komando, "Jurusan Pondokgede di sana," diikuti beberapa orang yang tergesa-gesa masuk ke bus. Rupanya, di antara mereka ada yang berasal dari Pondokgede, Pinangranti, Lubangbuaya, dan Ciracas, masih di Jakarta Timur. "Kami tidak tahu siapa yang membakar pertama kali," ujar Untung.
Penyerang dari luar Cipayung inilah yang menimbulkan dugaan keterlibatan TNI, plus penyerangan sistematis yang meluluhlantakkan bangunan. Apalagi, semula, warga yang tergabung dalam GPUI berencana bertemu dengan Gus Wahid—adik Presiden Gus Dur—untuk membicarakan soal Doulos, Kamis dua pekan lalu. Namun, sehari sebelum pertemuan itu, Doulos telah diserbu.
Soal keterlibatan TNI tentu saja dibantah Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sudrajat mengatakan akan menindak tegas kalau ada Anggota TNI yang terlibat. "Itu betul-betul tindakan melawan hukum," katanya kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Kini, tim dari Kodam Jaya ikut memeriksa tersangka
Berdasarkan hasil penyidikan sementara, penyebabnya adalah kesenjangan. "Belum jelas kesenjangan apa. Tersangka mengaku tidak bermotif politik. Mungkin ada kepentingan lain. Saya belum tahu," kata Noegroho. Ia juga menyalahkan Pemerintah Daerah DKI yang lambat menanggapi aspirasi masyarakat. "Keresahan warga pernah disampaikan kepada Gubernur, tapi masalahnya tidak ditangani dengan baik. Itulah akibatnya kalau masalah tidak dipadamkan saat masih kecil," ujar Noegroho.
Ahmad Taufik, Eddy Budiyarso, dan Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini