Lipatan di wajah Marimutu Sinivasan tampak semakin jelas. Usai diperiksa Jaksa M. Yamin, Kamis pekan lalu, bos Texmaco ini bergegas meninggalkan Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Dengan raut ditekuk, dia menolak tudingan menggunakan dana sebesar US$ 17,16 juta plus Rp 1,4 triliun untuk membayar utang jangka pendek dan perluasan industrinya. Namun, saat wartawan yang mencegatnya menyinggung soal surat saktinya ke bekas presiden Soeharto, pintu BMW peraknya pun langsung tertutup rapat dan membawanya pergi. "Dia capek habis diperiksa sepuluh jam," kata Maqdir Ismail, salah seorang kuasa hukum Sinivasan ketika dikonfirmasi TEMPO keesokan harinya.
Biasanya Sinivasan memilih "mengejar" wartawan. Tapi hari itu ia "malas" menjawab soal surat buat Soeharto. Padahal, menurut Soehandojo, Kepala Humas Kejaksaan Agung, surat itu hanya merupakan salah satu materi dalam pemeriksaan. Meski begitu, Soehandojo tak mengetahui pasti jawaban yang diberikan Sinivasan perihal surat permohonan fasilitas kredit pre-shipment itu.
Munculnya Sinivasan ke Kejaksaan Agung ini merupakan kali kedua, setelah pemeriksaan pertama, 8 Desember lalu. Lamanya pemeriksaan kali ini karena kedua kubu, baik Sinivasan maupun Jaksa M. Yamin, sama-sama membawa segepok data tentang kasus penyelewengan kredit senilai Rp 9,8 triliun itu. Satu per satu data Kejaksaan Agung yang didapat dari Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, harus "diadu" dengan bukti-bukti yang dibawa Sinivasan.
Kalau data Sinivasan dan Sukardi klop, cerita bakal segera tutup, tentunya. Namun, menurut Maqdir, ditemukan adanya data yang tidak klop. Misalnya bahwa dana yang dikucurkan BI ke Grup Texmaco tidak melulu untuk fasilitas pre-shipment, tetapi ada juga yang dipakai untuk modal kerja. "Dan itu sudah tertuang dalam perjanjian dengan bank yang bersangkutan," kata Maqdir tanpa menyebut nama bank yang dimaksud.
Selain Sinivasan, hari itu mantan gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, juga harus menjalani pemeriksaan maraton. Selama lebih dari 13 jam, Djiwandono dicecar pertanyaan seputar perlakuan manisnya dalam melancarkan likuiditas BI melalui BNI kepada Grup Texmaco. Bantuan Soedradjad saat masih menjadi Gubernur BI (1996-1998) itu menyangkut fasilitas rediskonto pre-shipment senilai US$ 516 juta dan Rp 450 miliar, plus penempatan deposito cadangan sebesar US$ 100 juta melalui BNI.
Pada hari yang sama, mantan Direktur Utama BI (1993-1998), Budiono, menjalani pemeriksaan sekitar tujuh jam. Mujani, jaksa penyidiknya, meminta penjelasan Budiono berkaitan penempatan deposito sebesar US$ 214 juta melalui BNI, US$ 60 juta melalui Bank Exim, dan US$ 40 juta melalui BRI.
Kerja maraton Kejaksaan Agung ini mungkin bisa menghibur hati Laksamana Soekardi. Sebab, setelah membongkar penyelewengan itu pada 29 November 1999, Laksamana seakan ditinggalkan sendirian. Mulanya ia mendapat tepuk tangan, tapi kemudian hujatan yang diterimanya. Ia dianggap terlalu grusa-grusu dalam menangani masalah ini sehingga bisa menghambat pemulihan ekonomi. Celaan itu datang dari ekonom, menteri, bahkan anggota DPR. Sampai-sampai, Laksamana dituntut mundur saja dari jabatannya. Tak kurang Presiden Abdurrahman Wahid pun meminta agar kasus yang menimpa Sinivasan diselesaikan dengan jalan yang saling menguntungkan. Dengan pertimbangan, aset Texmaco masih lebih besar ketimbang utang perusahaan yang Rp 26,5 triliun itu.
Namun, sejak awal, tampaknya Jaksa Agung Marzuki Darusman berada satu jalur dengan Laksamana. Data yang dibawa Laksamana pada 2 Desember lalu langsung disambar dan dianggap telah cukup sebagai bukti. Sehingga, tanpa melewati tahap penyelidikan, Sinivasan langsung dipatok statusnya sebagai tersangka. Dan kurang dari sebulan, selain Soedradjad dan Budiono, saksi lainnya, Djokosantoso Mulyono (Dirut BRI), Widigdo Sukarman (Dirut BNI), dan Kodrati (Direktur Bank Exim) pun sudah diperiksa.
Namun, Laksamana pun mesti siap-siap kecewa lagi. Sebab, jubir Kejaksaan Agung Soehandojo sudah memberi ancang-ancang bahwa kejaksaan tak akan ragu-ragu mengeluarkan SP-3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) jika memang bukti yang diserahkan Laksamana dianggap kurang. "Jangan sampai kasus ini mengorbankan aspek ekonominya, meski sisi hukum tetap dijalankan," kata Soehandojo, mengutip nasihat Gus Dur.
Senin ini Sinivasan kembali dipanggil Kejaksaan Agung. Ke mana arah kasus ini tentu tergantung pada sejauh mana "penguasa" Gedung Bundar serius "menguliti" bergepok-gepok dokumen tadi.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini