SEMANGAT sapu bersih ternyata tidak cuma dimiliki kesebelasan sepak bola. Mantan menteri dan pejabat tinggi negara pun ternyata senang bersih-bersih. Cuma, yang disapu bukan bola atau yang lain, melainkan perabot rumah dinas menteri yang harus mereka tinggalkan.
Hasil "karya" para bekas pejabat itu memang luar biasa. Di rumah dinas bekas Menteri Pertanian Soleh Sholahuddin, di Jalan Denpasar, Jakarta, puluhan perabot milik negara habis bersamaan dengan pindahnya sang Menteri. Sofa, meja, kursi, penyejuk udara, dan pemanas air ludes tak tersisa. Tidak itu saja, karpet pun ikut dikelupas. "Padahal, semua barang itu sudah kami beri label inventaris negara. Kok, ya, dibawa juga," kata Suharsono, Pemimpin Proyek Prasarana Fisik Sekretariat Negara, yang menginventarisasi rumah dinas para pejabat tinggi negara itu.
Di rumah dinas bekas Menteri Negara Lingkungan Hidup, Panangian Siregar, keadaannya tak kalah menyedihkan. Ketika Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup yang baru, akan masuk ke rumah itu awal bulan lalu, tak sebuah furniture pun tersisa. Selain peralatan dapur ludes, penyejuk udara pun dicongkel. Bahkan, mesin faks yang sudah ada sejak zaman Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup dijabat Emil Salim pun ikut diangkut Panangian. Pada malam pertama menginap di rumah baru, Sonny terpaksa tidur tanpa gorden, bak ikan di akuarium, terang-benderang. Sedangkan sofa dan perabot lain dipinjamnya dari rumah dinas Menteri Erna Witoelar, yang tidak jauh dari sana. Sebagian lain dipindahkan Sonny dari Kantor KLH.
"Dua rumah itu memang yang paling parah," kata Suharsono. Tapi sang penghuni lama punya cerita. Panangian tidak membantah bahwa ia mengangkut semua barang inventaris itu. Tapi, menurut dia, angkut habis ini dilakukannya setelah mendapat izin dari Menteri-Sekretaris Negara, yang ketika itu dijabat Muladi. "Istri saya yang minta kepada Pak Muladi apakah boleh barang-barang itu diangkut untuk kami. Kata Pak Muladi, silakan saja. Kami kan baru pindah rumah. Masa, kami harus beli semuanya?" kata Panangian kalem. Tapi Muladi kontan membantah tangkisan Panangian itu. "Bohong. Omong kosong. Itu harus diusut dan barangnya harus dikembalikan," kata Muladi kepada wartawan TEMPO Arif A. Kuswardono.
Soleh Sholahuddin pun tidak kalah sewot dengan tuduhan Sekretariat Negara (Setneg) tersebut. Ia menuduh lembaga negara itu justru sedang lempar batu sembunyi tangan. Menurut Soleh, ketika satu setengah tahun lalu ia masuk ke rumah dinas itu, kondisi aset negara tersebut juga "luka parah". "Saya malah dimintai uang Rp 50 juta (oleh Setneg) untuk memperbaikinya," katanya. Belakangan, Soleh malah memperbaiki rumah itu sendiri dengan menggunakan dana taktis Departemen Pertanian dan sedikit dari koceknya pribadi. Total biaya yang dikeluarkannya, katanya, sampai Rp 400 juta.
Menteri lain yang meninggalkan rumah dinas dalam keadaan porak-poranda adalah Tanri Abeng, bekas Menteri Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rumah dinas yang terletak di Kompleks Widya Candra, Jakarta Selatan, itu juga tidak menyisakan satu perabot pun. Bahkan, karpet yang melekat di tangga rumah dua lantai itu pun ikut dikeletek.
Yang bikin miris, kabarnya, keluarga Tanri juga mencopot empat jamban duduk yang ada di empat kamar mandi di rumah itu. Ketika TEMPO mengunjungi rumah dinas yang selama ini ditempati anak Tanri—Emil Abeng—itu, Kamis pekan lalu, beberapa tukang yang disewa Menteri Pendayagunaan BUMN yang baru, Laksamana Sukardi, tampak sedang memasang jamban baru dan memperbaiki beberapa bagian lain rumah itu yang rusak. Kabarnya, Laksamana kesal berat akibat rumah dinas yang akan ditempatinya bak kapal pecah. Ia mengeluarkan setidaknya Rp 100 juta dari koceknya sendiri untuk memperbaiki rumah tersebut.
Sementara itu, Tanri Abeng sendiri sontak membantah tuduhan bahwa ia sudah resik-resik kelewat batas. "Tidak semua barang kami bawa. Kloset dan karpet termasuk barang-barang yang kami tinggal," katanya. Menurut mantan menteri yang pernah disebut-sebut dalam kasus Bank Bali ini, sebenarnya kloset itu pun dipasangnya sendiri. Jadi, menurut dia, itu bukan inventaris Setneg. Belakangan, Tanri menambahkan bahwa beberapa barang yang sebetulnya ia tinggalkan di rumah itu malah disikat pembantunya yang merasa barang-barang itu milik sah sang majikan. Ada-ada saja.
Terlepas dari debat siapa membongkar apa, soal resik-resik ini tentu saja merongrong anggaran negara, yang sebetulnya sudah lama kempis. Sumber TEMPO di Setneg menghitung dana yang dibutuhkan untuk memperbaiki dan mengisi rumah yang kosong melompong tersebut sekitar Rp 120 juta untuk sebuah rumah. Padahal, anggaran yang disediakan cuma Rp 25 jutaan. Di rumah dinas yang ditempati bekas Ketua DPR/MPR Harmoko, misalnya, pemerintah harus mengeluarkan Rp 100 juta untuk membeli perabot baru akibat perabot lama ludes bersamaan dengan hengkangnya si Bung. Sayang, Harmoko tidak dapat dikontak untuk menjelaskan soal perabotan ini.
Menurut Muladi, trik-trik nakal para menteri ini sebetulnya bukan lagu baru. Sejak dulu, selalu ada saja menteri yang mau ambil untung. Dalam hal mobil dinas, umpamanya, banyak menteri yang "merayu" Muladi agar mobil yang mereka pakai bisa dibeli. Padahal, peraturannya, mobil dinas baru bisa dilego setelah menteri tersebut bekerja lima tahun. Nah, dalam kabinet Habibie yang cuma bekerja satu setengah tahun itulah rayuan datang. Tapi Muladi menolak. Saat ini, menurut Sekretaris Negara Ali Rahman, sebagian besar mobil dinas memang sudah dikembalikan. Mobil yang belum balik kandang di antaranya adalah mobil Kijang yang "dipinjam" mantan menteri Panangian.
Bom waktu lain yang bisa membocorkan keuangan pemerintah adalah soal batas waktu penempatan rumah dinas. Selama ini, para mantan pejabat negara memang diberi tenggat tiga bulan untuk segera mengosongkan rumah dinas setelah masa jabatannya habis. Tapi biasanya ada saja menteri yang ingin memolorkan deadline. Setneg kabarnya sedang menyiapkan surat perintah pengosongan rumah dinas yang tenggatnya habis akhir Januari mendatang. Ada menteri yang sudah memberikan jawaban, ada yang cuek bebek.
Sikap keras Setneg ini sebenarnya bukan tidak beralasan. Soalnya, jika para menteri terlambat pindah, fasilitas rumah menteri berikutnya akan menjadi tanggungan pemerintah. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, Basri Hasanuddin, contohnya, saat ini harus menempati Perumahan Pejabat Tinggi Negara di kawasan Slipi—perumahan yang mestinya ditempati pejabat eselon I—karena Hamzah Haz, menteri sebelumnya, mau menghabiskan sisa masa kontraknya yang tiga bulan itu. Amien Rais pun terpaksa bertahan di rumah dinas Wakil Ketua MPR, yang mestinya sudah ditempati Wakil Ketua MPR Muhaimin Iskandar, karena rumah dinas Ketua MPR tidak segera ditinggalkan Harmoko. Nah, renteng gerbong inilah yang bikin repot. Bayangkan kalau 58 pejabat negara setingkat menteri berulah semua. Keuangan negeri ini bisa remuk hanya karena urusan fasilitas tetek-bengek tersebut.
Selain mengeluarkan surat, Setneg akan bertindak lebih tegas terhadap pejabat baru penghuni rumah dinas. Setiap pejabat harus mengisi surat izin penghuni (SIP) yang berisi daftar barang inventaris dan daftar barang bukan inventaris—sesuatu yang tidak dilakukan pada era sebelumnya. "Sekarang penghuni ikut menandatangani lembar SIP. Dulu kan yang menandatangani cuma Biro Umum Sekretariat Negara," kata Suharsono. Sedangkan aset yang sudah keburu dibawa kabur akan ditagih ke departemen terkait dan pribadi yang bersangkutan. Jika cara itu juga tak membuahkan hasil, ada cara lain, yakni meminta yang bersangkutan membayar tarif ganti rugi. Selama ini, cara ganti rugi dipakai untuk anggota DPR. "Tapi saya enggak tahu pasti apa yang seperti ini juga bisa diberlakukan untuk pejabat setingkat menteri," kata Suharsono.
Nah, kalau cara itu masih juga belum mempan, barangkali harus ditempuh cara yang lebih kocak. Misalnya, nama para pejabat pengutil itu diumumkan di media massa beserta barang kutilannya, atau Sekretariat Negara bisa membentuk kesebelasan sepak bola penyapu aset negara yang anggotanya para menteri tersebut.
Arif Zulkifli, Adi Prasetya, Setiyardi, Hani Pudjiarti
Yang Diboyong dan yang Ogah Pindah
Rumah Dinas Menteri Pertanian (Soleh Sholahuddin)
Perabot yang dibawa pergi:
Di ruang tamu: sofa 4 buah, meja sudut 3 buah, gorden, dan seluruh karpet
Ruang tidur tamu: spring-bed komplet, water heater 1 buah
Ruang tunggu: cermin 1 buah
Ruang kerja: AC split 1 buahRuang keluarga/makan: kredenza ukuran 180 x 80 cm 1 buah
Dapur: lemari es 1 buah
Ruang keluarga atas: sofa 3 duduk 1 buah, sofa 1 duduk 2 buah, meja tamu 1 buah
Ruang tidur anak: meja belajar 1 buah, cermin 2 buah
Ruang tidur utama: kursi kamar 2 buah, meja tengah 1 buah, AC split 1 buah
Ruang rias: meja rias komplet 1 set
Rumah Dinas Menteri Lingkungan Hidup (Panangian Siregar)
Perabot yang dibawa pergi: Seluruh furniture, AC, peralatan dapur, mesin faks, dan gorden hilang.
Rumah Dinas Menko Kesra (Haryono Suyono)
Perabot yang dibawa pergi:
Seluruh perabot tak tersisa.
Ketika ditinggalkan, rumah kosong tanpa perabot sama sekali. Rumah dalam keadaan rusak. (Menurut Haryono Suyono kepada TEMPO, ia sudah mengembalikan semua benda milik negara tiga bulan setelah ia tidak lagi menjabat menteri.)
Rumah Dinas Menteri Pendayagunaan BUMN (Tanri Abeng)
Perabot yang dibawa pergi: Empat kloset duduk, 8 AC split, seluruh karpet, termasuk karpet tangga, gorden, lampu ruang, furniture, termasuk kursi, sofa, meja, bufet, dan kitchen set.
Rumah dinas Ketua DPR/MPR Harmoko
Perabot yang dibawa pergi. Ditinggalkan tanpa satu furniture pun tersisa.
Rumah Dinas Wakil Ketua DPR/MPR FPDI (Fatimah Achmad)
Masalah: Rumah dan perabot ditinggal dalam keadaan rusak berat.
Keterangan: Ditinggalkan penghuninya dalam keadaan perabotan rusak total, kumuh, dan tidak terawat.
Rumah Dinas Wakil Ketua DPR/MPR Abdul Gafur
Masalah: Belum jelas kapan akan ditinggalkan.
Keterangan: Sekretariat
Kepresidenan sedang menyiapkan surat permintaan pengosongan rumah tersebut.