Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Perbaikan Tak Sesuai dengan Harapan

Komisi Hukum DPR memastikan RUU KUHP dibahas ulang bersama pemerintah. Sejumlah pasal dinilai masih bermasalah.

7 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana rapat kerja Komisi III DPR dengan Kemenkumham terkait draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA — Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat memastikan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) bakal kembali dibahas secara terbatas. Rancangan tersebut nanti diserahkan kepada setiap fraksi untuk diperdalam. Kemudian pembahasan ulang juga akan dilakukan bersama pemerintah. “Kalau ada tekanan yang keras dari masyarakat, ya apa boleh buat (harus dibahas ulang)," kata Wakil Ketua Komisi Hukum, Adies Kadir, kemarin.

Komisi Hukum kemarin menerima dua rancangan undang-undang dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP. RUU Pemasyarakatan disepakati akan dilanjutkan setelah mendengarkan pandangan setiap fraksi. “Sedangkan untuk RUU KUHP, masih butuh diskusi lagi dengan Kemenkumham,” kata Adies.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dan KUHP merupakan warisan dari anggota DPR periode 2014-2019. Khusus untuk RUU KUHP, rancangan yang saat itu sudah final batal disahkan karena mendapat tekanan dari publik. Adapun tekanan itu muncul karena banyak pasal dalam draf yang dinilai bermasalah dan mengancam demokrasi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah kemudian merumuskan ulang pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu dan mengerucutkan pada 14 pasal krusial. Hasil perbaikan dari pemerintah tersebut telah diselesaikan dan baru dipublikasikan setelah draf diserahkan ke DPR. Total draf akhir tersebut memiliki 632 pasal. Sementara itu, pada Rancangan KUHP 2019 jumlahnya sebanyak 628 pasal.

Anggota Komisi III DPR RI memegang salinan berkas terkait draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat kerja dengan Kemenkumham di Kompleks Parlemen, Senayan, 6 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Hiariej menjelaskan terdapat enam pasal baru dalam draf akhir yang diserahkan ke DPR. Enam pasal itu memuat aturan tentang penadahan, penerbitan, dan percetakan. Tindak pidana penadahan tertuang dalam Pasal 595, 596, dan 597. Sedangkan tindak pidana penerbitan dan percetakan tertuang dalam Pasal 598, 599, dan 600.

Selain itu, ada penambahan penjelasan untuk pasal-pasal bermasalah, seperti Pasal 218 tentang penyerangan martabat presiden dan wakil presiden. Pada pasal tersebut telah ditambah penjelasan mengenai kritik dan kalimat "dilakukan untuk kepentingan umum".

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, cukup lega dengan rencana pembahasan ulang RUU KUHP. Namun dia tetap mengkritik langkah pemerintah dan DPR yang tertutup dalam penyusunan draf undang-undang. Bahkan terkesan DPR dan pemerintah hanya berfokus pada penyelesaian ketimbang pembahasan yang komprehensif. “Penyusunan draf tak banyak melibatkan masyarakat,” katanya. "Opsi menambahkan kata 'pembahasan' dalam catatan persetujuan rapat saja ditolak."

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Bayu Satria Utomo, mengatakan pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam RUU KUHP ternyata belum dihapus meski sudah berkali-kali dikritik oleh masyarakat. Pasal-pasal itu mengancam demokratisasi dan berwatak kolonial.

Massa dari Aliansi Bogor tolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berunjuk rasa di kawasan Istana Bogor, Kota Bogor, 6 Juli 2022. TEMPO/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah

Misalnya, kata Bayu, pasal tentang penghinaan terhadap lembaga negara yang tertuang dalam Pasal 351 dan 352. "Ini adalah pasal-pasal yang masih menunjukkan bahwa RKUHP mengandung watak kolonial,” kata dia. “Kita seharusnya memiliki semangat untuk bebas dari logika penjajahan.”

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan DPR dan pemerintah harus tetap membuka peluang pembahasan ulang RUU KUHP. Pada Rancangan KUHP 2019 dan draf final memang terdapat banyak perubahan. Padahal Pasal 20 UUD 1945 mensyaratkan setiap pembahasan harus melalui proses pembahasan yang patut. "Jadi, kalau langsung ketok, jelas ini langkah yang inkonstitusional,” kata dia.

Jika DPR dan pemerintah memaksakan langsung ketok, kata Bivitri, RUU KUHP tidak memiliki legitimasi politik. Tidak hanya secara formil bisa diuji di Mahkamah Konstitusi, tapi juga bisa menimbulkan kekacauan dalam hukum Indonesia. “Apalagi KUHP adalah induk dari seluruh hukum pidana,” katanya. "Bisa ada semacam pembangkangan sipil dan bisa timbul kekacauan."

EGI ADYATAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Egi Adyatama

Egi Adyatama

Wartawan Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus