Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi (KIKA) menolak hasil revisi Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan melalui sidang paripurna oleh DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025. Koordinator KIKA Satria Unggul mendorong masyarakat sipil bersatu memberikan desakan kepada pemerintah untuk membatalkan UU TNI serta menjunjung tinggi konstitusi, demokrasi, negara hukum, dan supremasi sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satria menjelaskan beberapa alasan masyarakat secara umum harus menolak UU tersebut. Pertama, pihaknya menilai hasil revisi tersebut akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI. Hal ini dikarenakan UU TNI menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis seperti masa Orde Baru. Hal itu terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
“Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” ujarnya dalam konferensi pers bertajuk “Kejahatan Legislasi dalam Persetujuan UU TNI 2025” yang dilangsungkan secara daring pada Kamis, 20 Maret 2025.
Alasan kedua, menurut dia UU TNI bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil.
Hal tersebut, kata dia, tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
Alasan ketiga, Satria menegaskan dampak impunitas yang dimiliki anggota TNI yang akan berpengaruh terhadap tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi. Hal ini bisa mengancam kebebasan sipil dan demokrasi dalam menyuarakan pendapat dan kritik serta berpengaruh terhadap kekuatan politik yang ada.
“Di mana aktor-aktor politik yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki posisi kekuasaan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan keputusan yang bias serta bertentangan dengan prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law),” tuturnya.
Alasan keempat, pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil dapat mengancam supremasi sipil, membuka ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara, hingga menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang. Hal ini menandai profesionalisme militer yang justru akan semakin melemah.
Alasan kelima, Satria menekankan bahwa impunitas juga berpengaruh terhadap situasi kebebasan akademik di Indonesia. Di antaranya, melalui melalui sweeping buku-buku kiri, pembubaran diskusi berkaitan isu Papua dan keamanan nasional, serta berbagai tindakan represi lainnya menjadikan situasi kebebasan akademik semakin memprihatinkan.
Alasan keenam, menurut Satria, perubahan UU TNI dapat dikategorikan sebagai kejahatan legislasi. Ini karena bertentangan dengan prosedur pembentukan undang-undang yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Satria memandang, pelaksanaan rapat pembahasan revisi UU TNI di hotel secara tertutup dan mengerahkan penjagaan yang intensif oleh Komando Pasukkan Khusus (Kopassus) menunjukkan proses pembentukannya sangat jauh bertentangan dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).
Berdasarkan sejumlah alasan tersebut, KIKA bersama asosiasi akademisi lain, yakni CALS, KIKA, UII, SPK, LSJ dan Pandeka FH UGM, sepakat bahwa UU TNI yang telah disahkan bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM serta merupakan bagian dari kejahatan legislasi serius yang membunuh demokrasi Indonesia.
Melalui pernyataan tersebut, pihaknya menolak bangkitnya dwi fungsi ABRI dengan cara pengisian jabatan sipil dari TNI aktif yang semakin melanggengkan impunitas TNI dalam birokrasi sipil. Hal-hal ini, menurut dia, bertentangan dengan upaya untuk membangun pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.