Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dulu pembangkang, kini diundang

Petisi 50 lahir karena prihatin terhadap pidato pak harto di rapim abri pekanbaru dan hut kopassandha. mereka pernah disebut pembangkang. sumber ekonominya ditutup. kini mereka tetap juru kritik pemerintah.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JABAT tangan mesra B.J. Habibie untuk Ali Sadikin tak serta-merta membuat Petisi 50 jinak, apalagi bubar. Kelompok ini berniat terus melestarikan tradisinya sebagai juru kritik terhadap Pemerintah peran yang telah dilakoninya 13 tahun. ''Perjuangan kami jalan terus seperti biasa. Sebab, perjuangan itu ibadah,'' kata Ali Sadikin, tokoh paling vokal dari kelompok Petisi 50 itu. Tentang kunjungan kelompok kerja (Pokja) Petisi 50 ke PT PAL Surabaya pekan silam, atas undangan B.J. Habibie, kata Ali Sadikin, tak bisa dikatakan sebagai manuver agar kelompoknya bebas dari karantina politik. ''Kami tak berpikir ke sana. Ini sekadar jalan-jalan,'' tambah Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman menolak pula spekulasi adanya ''rehabilitasi'' bagi Ali Sadikin dkk. Soesilo agaknya tetap melihat kelompok ini sebagai penyandang ''cedera politik'', yang konsekuensinya antara lain terkena aturan cegah tangkal (cekal), tak mudah lalu-lalang ke luar negeri, kecuali dengan izin khusus. ''Status politik mereka tetap status quo,'' ujar Soesilo. Dengan begitu, aktivitas Ali Sadikin pun barangkali tak akan banyak berubah. Setiap hari ia menyantap 30-an koran dan majalah, lalu mengkliping berita paling aktual yang mengulas isu demokratisasi atau hak asasi di Indonesia. Itu yang dibahas setiap Selasa dan Kamis, bersama Pokja Petisi 50, di rumah Bang Ali yang luas dan teduh di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Sesekali Pokja itu membuat penilaian atau usulan, yang kemudian disampaikan ke instansi atau lembaga negara. Yang paling sering ke DPR. Selama kiprahnya, kelompok ini telah mengirim sekitar 125 surat. Sekali tempo, seperti menjelang Sidang Umum MPR Maret silam, Pokja bertandang ke gedung DPR untuk menyodorkan konsep. Sialnya, upaya Ali Sadikin dkk. mentok, cuma sampai di ruang Humas. Petisi 50 itu bukan lahir sebagai organisasi. Kelompok ini muncul April 1980 sebagai reaksi atas dua pidato Presiden Soeharto satu di depan Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru 27 Maret, yang lainnya pada ulang tahun Kopassandha (sekarang Kopassus) 16 Maret. Reaksi itu berbentuk surat ''Pernyataan Keprihatinan'' yang dikirim ke DPR dan media massa. Pidato Presiden ketika itu pun bernada prihatin. Di hadapan Rapim ABRI, dalam pidato tanpa teks, Pak Harto seperti cemas karena merasa asas Pancasila belum diterima secara bulat. Kepala Negara menilai masih ada kekuatan politik yang ragu-ragu mengamalkan Pancasila sebagai satu-satunya asas perjuangannya. ''Ini menunjukkan pada kita, mereka belum percaya sepenuhnya Pancasila sebagai ideologi,'' ujar Presiden kala itu. Dalam kesempatan itu pula, Pak Harto mengingatkan soal peran sejarah ABRI sebagai pembela Pancasila. Peran itu harus dilestarikan, bila perlu dengan mengangkat senjata. Tapi, kata Pak Harto, ABRI menghindari pemakaian senjata agar tak terjadi pertumpahan darah. Maka, seandainya dihadapkan pada kondisi sulit, 2/3 anggota MPR ingin mengganti Pancasila dan UUD 45, kata Pak Harto: ''Kalau perlu kita menculik salah satu dari kelompok 2/3. Karena 2/3 dikurangi satu sudah tak sah untuk mengubah UUD 45.'' Keprihatinan serupa dikemukakan Presiden pada ulang tahun Kopassandha. Pak Harto mengeluhkan intrik yang menuduhnya punya wanita simpanan, dan Ny. Tien sering campur tangan dalam masalah tender Pemerintah. Pak Harto menilai intrik itu dilemparkan oleh kelompok anti-Pancasila yang ingin menjatuhkannya. ''Karena mereka menganggap saya menjadi penghalang utama gerakan mereka,'' ujarnya. Maka, Presiden mengajak jajaran ABRI agar waspada, dan mengingatkan pula bahwa ABRI adalah pembela ideologi Pancasila. ''Bilamana Pancasila terancam, kita digugah untuk bangkit sebagai patriot,'' tambah Pak Harto. Kegelisahan Pak Harto itu bukannya tanpa alasan. Ketika itu suasana politik memang tak bisa disebut adem ayem. Gerakan mahasiswa menentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) belum reda. Mereka menggelar demo di gedung DPR, pertengahan Januari 1980, mendesak agar NKK yang dianggap bakal mendepolitisasi kampus itu dicabut. Intrik-intrik yang menyerang pribadi Presiden berseliweran di antara mahasiswa. Suasana di DPR pun panas. RUU tentang Pemilu yang diajukan Pemerintah dilawan habis-habisan oleh Fraksi PPP dan PDI. Dalam pembahasan RUU itu, kedua fraksi ini menuntut agar partainya ikut terjun menyelenggarakan pemilu hal yang tentu ditolak oleh Fraksi Golkar dan ABRI. Tapi hal yang paling peka adalah soal lambang partai. RUU itu menggiring agar PPP menanggalkan lambang Ka'bah dan menggantinya dengan gambar lain, sebagai konsekuensi penerapan Pancasila. Suasana pun tambah marak. Di kalangan PPP sendiri terjadi keretakan. Unsur NU bereaksi lebih keras dibanding unsur lain di FPP. Walhasil, unsur NU itu sempat memboikot sidang pleno di babak akhir pembahasan RUU ini. Dan Pemerintah ketika itu tentu belum lupa bahwa unsur-unsur FPP itu pula yang melakukan walk out di tengah Sidang Umum MPR 1978, ketika sidang membahas P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Boleh jadi, pidato di Pekanbaru dan Cijantung itu sekadar luapan kekesalan Pak Harto terhadap situasi politik saat itu. Namun, apa pun latar belakangnya, tokoh senior semacam Ali Sadikin, Jenderal Pur. A.H. Nasution (bekas Menhan dan Ketua MPRS), Jenderal Pol. Pur. Hoegeng (bekas Kapolri), Letjen Pur. M. Jasin, dan politikus tahun 1950-an seperti M. Natsir, Manai Sophiaan, Burhanuddin Harahap, Prof. Kasman Singodimedjo, dan sejumlah tokoh lainnya, yang jumlah keseluruhannya 50 orang, menilai pidato Pak Harto itu tak bisa diterima begitu saja. Tokoh-tokoh itu kemudian berkumpul dan menandatangani surat bersama yang disebut ''Pernyataan Keprihatinan''. Surat itu menyatakan kekecewaan atas kedua pidato itu. Ada enam butir kekecewaan yang ditulis di situ, antara lain menilai ada salah tafsir hingga Pancasila dipakai sebagai ancaman bagi lawan politik. Di butir lain, para petisiwan itu menafsirkan ucapan Presiden sebagai usaha menempatkan Saptamarga dan Sumpah Prajurit di atas UUD 45. Surat itu mengundang reaksi keras. Pejabat, birokrat, dan tokoh-tokoh Golkar, melecehkan aksi petisi itu. ''Mereka membuat asumsi keliru, dan membuat kesimpulan yang keliru pula,'' ujar mendiang Ali Moertopo, yang ketika itu menjabat Menteri Penerangan dan salah satu dewan pembina Golkar. Ketua Umum Golkar Amir Moertono tak kalah ketus: ''Kalau ada di antara mereka yang ingin jadi presiden, silakan. Tapi harap diketahui, kelima puluh orang itu tak ada yang laku di masyarakat.'' Yang terjadi kemudian, ke-50 penandatangan petisi itu mengalami karantina politik. Gerak-gerik mereka terbatas. Bahkan, M. Jasin, bekas Pangdam Brawijaya dan Deputi KSAD, tokoh yang dianggap menggerakkan petisi itu, sempat diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Di tengah tekanan Kejaksaan, Jasin merasa ditinggalkan kawan-kawan seiringnya. ''Semua mundur. Saya cuma mau dijadikan korban,'' ujar M. Jasin ketika itu. Maka, setahun setelah menandatangani itu, ia mengirim surat kepada Presiden, minta maaf dan menarik pernyataannya. Toh nasi sudah menjadi bubur. Ia kehilangan jabatan direktur utama di tiga perusahaan. Kisah kehilangan jabatan itu dialami pula oleh Chris Siner Keytimu, penanda tangan petisi yang ketika itu menjabat Kepala Biro Kemahasiswaan Universitas Atmajaya Jakarta. Departemen P & K konon menekan Atmajaya, tapi rektornya membela Chris. Walhasil, Chris tak enak hati, dan akhirnya mengundurkan diri. Pada umumnya, anggota petisi kemudian tak bebas bergerak. Sumber ekonominya dimatikan. Dokter Judirherry diberhentikan dari FK UI tanpa alasan jelas. Bisnis Mayjen (Pur.) Aziz Saleh surut seketika, dan Ali Sadikin mengeluh permohonan kredit untuk anak-anaknya tak dilayani. Dan semua petisiwan itu dikenai cekal. Kendati di bawah ''pengawasan'', sebagian besar kelompok petisi malah kompak. Menjelang Pemilu 1982, kelompok ini membuat pengumpulan pendapat, dan menghasilkan fakta bahwa cuma 43% dari 1.200 responden yang akan menggunakan hak politiknya. Manuver penting kelompok petisi ini dilancarkan setelah peristiwa Tanjungpriok September 1984. Petisi 50 menerbitkan ''Lembaran Putih'' yang berisi kisah versi lain tentang peristiwa itu. Aksi-aksi berikutnya terasa rutin tak menimbulkan akibat politik yang berarti. Baru dua tahun lalu, nama Petisi 50 muncul lagi setelah ramai-ramai ke Kantor Imigrasi menanyakan perihal pencekalan yang mereka alami. Aksi ''unjuk rasa'' itu lalu membawa mereka bertatap muka dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang ketika itu dijabat Sudomo. Dan Sudomo bersikeras bahwa isi petisi itu, yang ditulis 11 tahun berselang, adalah fitnah terhadap Presiden. ''Petisi 50 harus minta maaf. Selama ndak, ya akan terus jadi masalah,'' kata Sudomo. Dan dialog pun macet. Setelah melewati perjalanan 13 tahun, anggota kelompok petisi ini pun menciut. Sepuluh anggotanya telah wafat, di antaranya A.Y. Mokoginta, Prof. Kasman Singodimedjo, Burhanuddin Harahap, Slamet Bratanata, Syafrudin Prawiranegara, dan M. Natsir. Ada yang tak aktif karena usia lanjut atau menjauh dari dunia politik. Di antara mereka ada pula yang masuk bui, yakni A.M. Fatwa dan H.M. Sanusi. Keduanya dianggap terlibat aksi pengeboman kantor cabang BCA di Jakarta Kota, kasus yang berkaitan dengan insiden Priok. Tumpuan aktivitasnya tinggal pada Pokja, yang terdiri dari delapan orang, antara lain Ali Sadikin, Anwar Haryono, Mayjen (Pur.) dr. Aziz Saleh, Marsda (Pur.) Suyitno Sukirno dan Chris Siner. Tak heran bila dalam Petisi 50 ada sejumlah nama purnawirawan Angkatan Darat. Kelompok ini memang punya benang merah dengan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, yang dibentuk KSAD Jenderal TNI Widodo April 1978. Fosko diharapkan memberikan konsep untuk pengembangan AD. Yang duduk dalam forum itu beberapa dosen Seskoad Bandung dan purnawirawan beken seperti H.R. Dharsono, Djatikusumo, A.Y. Mokoginta, Akhmad Sukendro, dan A. Kawilarang. Awal 1979 Fosko mengirim hasil kajiannya ke Widodo. Isinya antara lain penilaian bahwa pelaksanaan Dwifungsi ABRI melenceng. Widodo gusar. Fosko ditutup. Namun, Widodo membiarkan para pensiunan itu membentuk wadah baru: Forum Komunikasi dan Studi (FKS) Purna Yudha. Dalam wadah baru ini, diskusi-diskusi politik terus berlanjut. Tak semua pensiunan militer yang masih suka ngobrol soal politik srek dengan FKS. A.H. Nasution enggan ke sana. Ia membentuk kelompok diskusi sendiri yang disebut Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, bersama Bung Hatta, Mr. Soenario, Ali sadikin, Hoegeng Iman Santoso, dan beberapa tokoh tua lainnya. Tapi, ada pula tokoh FKS, seperti A.Y. Mokoginta dan M. Jasin yang ikut pula di yayasan baru itu. Sudomo, bekas Pangkopkamtib dan Menko Polkam, menyebut kelompok Petisi 50 itu pembangkang. Dan kini, Menteri B.J. Habibie yang juga Ketua Harian Dewan Pembina Golkar mengajak mereka jalan- jalan ke Surabaya. Putut Trihusodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus