Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Petisi jalan terus

Ali sadikin menyambut pendekatan pemerintah, tak menganggap pak harto sebagai lawan. petisi 50 akan tetap mengoreksi penyimpangan. habibie akan mengundang ke proyek industri yang lain?

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI detik terakhir menjelang bertolak ke Surabaya, Ali Sadikin, 66 tahun, masih merahasiakan perjalanannya. Semula, bekas Gubernur DKI Jaya itu menolak diwawancarai. Namun, akhirnya ia memberikan penjelasan beberapa hal mengenai undangan Menteri Habibie ke PT PAL (perusahaan dok dan galangan kapal) Surabaya itu. Wawancara pertama TEMPO dilakukan oleh Robby Darmawan di rumahnya, Jalan Borobudur, Jakarta, tiga hari sebelum berangkat ke Surabaya. Untuk melengkapi seluruh ''paket'' perjalanannya, tokoh utama Petisi 50 itu bersedia pula diwawancarai wartawan TEMPO Rihad Wiranto, Dwi Setyo Irawanto, dan Iwan Qodar Himawan di Bandara Halim Perdanakusuma sepulang dari Surabaya. Bahkan, menurut berita, Habibie juga sedang menyiapkan kunjungan anggota Petisi 50 ke IPTN dan Pindad, Bandung. Berikut petikannya. Mengapa Anda begitu tertarik pada PT PAL? Dulu saya orang Angkatan Laut. PAL itu adalah unit dari Angkatan Laut. Itu pandangan saya. Saya pernah ikut mengurus PAL (dulu dikenal sebagai pabrik kapal Indonesia). Tidak mungkin AL tak punya unit perawatan (naval maintenance). Jadi, PAL itu organik AL dan Surabaya adalah satu-satunya main navy base. Angkatan Laut dulu mendatangkan 100 kapal dari Rusia untuk pembebasan Irian Barat. Perawatan harus ada, bengkel harus ada. Saya ketika itu adalah Deputi Administrasi, ketika Martadinata menjadi Menteri AL. Jadi, saya yang mengurus PAL. PAL akarnya sejak zaman Belanda, puluhan-ratusan tahun yang lalu untuk angkatan laut Kerajaan Belanda. Jadi, kalau dibilang usia PAL baru 13 tahun, itu ngawur. Dan Habibie tahu sejarah. Masuk akal kalau dia mengundang saya. Setelah melihat PAL, kini apa lagi kritik Anda? Saya lihat faktanya di PAL. Itu sudah sesuai dengan apa yang saya bayangkan 35 tahun lalu. Malahan lebih baik. Kalau saya punya armada, itu mesti punya home base yang bisa melayani segala macam perlengkapan. Kalau nggak armada AL, ya armada seperti Pelni, Jakarta Lloyd. Anda diundang ke PT PAL. Bisa diartikan bahwa Petisi 50 telah berangkulan dengan Pemerintah? Kami sama-sama pejuang. Nasution, Soeharto, saya, sama-sama Angkatan 45. Saya tak menganggap Soeharto lawan. Saya akan tetap berusaha mengoreksi penyimpangan dari konstitusi dan demokrasi. Dan kunjungan ini adalah tawaran. Saya melihatnya positif. Kharis Suhud menjanjikan saya akan dipertemukan dengan Soeharto. Kami mau berdialog. Tapi sampai sekarang nggak ada itu pertemuan. Apa dampak politiknya buat Petisi 50? You pikir ini politik, terserah. Kami tetap berjuang. Kunjungan ini hanya kunjungan. Habibie sebagai Dirut PT PAL mengundang saya. Kalau orang-orang memikir segi politisnya, terserah. Apa yang akan dilakukan Petisi 50 selanjutnya? Petisi jalan terus. Seperti biasa. Bukan masalah bahwa kami ingin ngantem Soeharto. Yang kami inginkan adalah pembaruan politik, demokratisasi. Kami mau, cita-cita awal Orde Baru dilaksanakan. Setiap waktu kami tetap peduli pada persoalan itu. Apakah Petisi masih efektif untuk memperjuangkan demokratisasi? Ada cara lain? Kami melakukan karena yakin ini benar. Saya menganggap perjuangan ini ibadah. Amar ma'ruf nahi mungkar. Saya tidak berontak atau bikin makar. Saya bikin surat. Itu kan demokratis. Jadi, bagaimana sikap politik Anda sekarang? Masalah politik, ya politik. Itu sikap kami masing-masing, hak politik kami. Di Pakistan, Perdana Menteri Nawaz Sharif mengundang Nyonya Bhutto untuk menyelesaikan masalah kenegaraan. Tapi ini terlepas dari itu, secara spontan Habibie mengundang saya waktu bertemu di rumah Pak Nasution. Seandainya Habibie bilang, ''Nanti tunggu satu minggu, baru Bapak saya beri tahu diundang apa nggak,'' itu berarti direkayasa. Waktu itu nggak. Tak ada rekayasa dan maksud politik. Selama ini Anda dianggap punya jarak dengan Pemerintah. Bagaimana sekarang? Nah, kalau ada pendekatan, apa salahnya? Apa saya harus menganggap dia musuh. Memangnya saya gila. Tapi kami harus melihat bahwa dia punya hak politik, saya juga punya hak politik. Kami harus memberikan silaturahmi. Itu sudah jelas, saling menasihati. Saya tak punya rasa dendam. Kalu kami dendam-dendaman, berarti kami kerdil. Ngerti nggak? Ada yang mengatakan, Petisi 50 pecah .... Oh, nggak. Semua komplet. Saya telepon Pak Dharsono, ia betul-betul sakit. Pak Hoegeng sedang mempersiapkan berobat ke luar negeri. Ada rencana meninjau proyek industri Habibie yang lain? Habibie bilang akan mengajak ke tempat lain itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus