Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rekonsiliasi atau show habibie

Ada yang menilainya sebagai suatu awal rekonsiliasi. ada yang bilang ini usaha baik yang perlu terus diperbaiki. tapi ada pula yang melihat lawatan ke surabaya ini sebagai habibie's showtime.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH politik Habibie sudah tercium sejak munculnya ICMI di Malang tahun 1990. Ia tak sekadar menggaet dan ''melokalisasi'' sejumlah kekuatan Islam, baik dari kalangan birokrasi, kaum cendekiawan, maupun sejumlah aktivis ke dalam satu wadah. Tapi dia bisa pula mengakomodasi barisan Islam yang ada di dalamnya, dari tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Emil Salim sampai mereka yang dikenal alot seperti Sahirul Alim, Ismail Sunny, dan Imaduddin Abdulrahim ketiganya pernah ditahan. Sejak itu kekuatan Islam mulai diperhitungkan, dan organisasi ICMI memberi harapan baru pada sejumlah tokoh keras lain seperti H.M. Sanusi, A.M. Fatwa, dan Abdul Qadir Djaelani, yang hingga kini meringkuk di LP Salemba. Susunan anggota MPR, yang oleh Qadir Djaelani divonis 18 tahun penjara disebut ijo royo-royo itu boleh dibilang merupakan lembaran baru di pentas politik Indonesia. ''Ya, sekarang umat Islam lebih diberi kesempatan,'' kata Qadir Djaelani. Apalagi setelah susunan kabinet terbentuk, tokoh ICMI seperti Watik Pratiknya, juga cendekiawan muda Dr. Jimly Ash-Shiddiqy, ternyata diangkat sebagai staf ahli Menteri P dan K. Menteri Habibie juga telah mempekerjakan sejumlah eks mahasiswa ITB yang sebelumnya dikenal galak. Mohammad Jumhur Hidayat, bekas mahasiswa Teknik Fisika ITB yang dipenjara 3 tahun karena berdemonstrasi ketika Menteri Rudini berkunjung ke ITB tahun 1989, misalnya, kini bergabung di CIDES (semacam CSIS-nya ICMI), yang berkantor di gedung BPPT. Begitu pula Yoesman, bekas Ketua Dewan mahasiswa yang terlibat peristiwa aksi mahasiswa pada tahun 1978. Setelah menyelesaikan kuliah teknik mesin di ITB, dia kabarnya malah dipercaya menjadi pemimpin proyek pesawat CN 250 di IPTN. Itu antara lain sebabnya hingga H.M. Sanusi, 72 tahun penanda tangan Petisi 50 yang divonis 19 tahun karena kasus peledakan BCA (1984) menilai suasana politik sekarang memang sudah berubah. Tokoh gaek ini pada tahun 1983 memang telah memisahkan diri dari kelompok Petisi 50. Kemudian dia menilai serba upaya Pemerintah merangkul Islam, dan terakhir kelompok Petisi 50, sebagai suatu langkah ''rekonsiliasi politik''. Jadi, ''Tidak perlu dimusuhi lagi, tapi bisa dimanfaatkan,'' ujar Sanusi. ''Pemanfaatan'' itu antara lain bisa dilihat ketika Anwar Harjono, seorang tokoh Petisi 50, diam-diam sudah diperbolehkan menghadiri pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Arab Saudi bulan Maret lalu. Dan Chris Siner Key Timu, juga seorang anggota Petisi, bebeberapa waktu lampau, diizinkan terbang ke Kota Lourdes di Spanyol, untuk menghadiri upacara keagamaan Katolik. Namun, benarkah sikap Pemerintah yang berbaik-baik dengan Islam dan Petisi itu bisa dianggap sebagai suatu tindakan rekonsiliasi alias rujuk nasional? Seorang penghuni penjara Cipinang di Jakarta Timur memang berkesimpulan begitu. ''Pemerintah telah melakukan rekonsiliasi sepenuhnya dengan Islam,'' katanya. Dia lalu menunjuk disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Pendidikan Nasional, juga lahirnya ICMI sampai berdirinya Bank Muamalat, sebagai bukti nyata rekonsiliasi itu. Anwar Harjono, yang setelah wafatnya Muhammad Natsir praktis menjadi orang nomor satu di Dewan Dakwah Islam, tak mau terburu-buru memakai istilah rekonsiliasi. Dalam acara kunjungan ke PT PAL pekan lalu, Anwar cuma berkomentar, ''Ya, pelan-pelanlah kita perbaiki semuanya.'' Anggota MPR Ismail Sunny beranggapan, ''Pemerintah memandang kelompok-kelompok yang berbeda pendapat itu bukan lagi sebagai kelompok yang berbahaya.'' Lebih hati-hati lagi adalah pendapat Marsillam Simandjuntak. Dokter dan ahli hukum yang lebih suka bergerak sebagai aktivis dan pengamat politik ini tak serta-merta bertepuk tangan menilai lawatan Ali Sadikin dan kawan-kawan ke PT PAL Surabaya. Boleh jadi, lawatan tersebut akan disambung lagi oleh B.J. Habibie untuk melihat-lihat proyeknya di IPTN Bandung dan di kawasan industri Batam. Tapi Marsillam, salah seorang pendiri Forum Demokrasi, tidak melihat upaya Habibie itu sebagai suatu langkah rekonsiliasi. Lalu sebagai apa? ''Saya kira Habibie tidak diberi wewenang untuk melakukan rekonsiliasi,'' kata Marsillam. ''Ini lebih merupakan Habibie's showtime.'' Bekas tahanan Peristiwa Malari ini masih penasaran ingin melihat dibebaskannya A.M. Fatwa dan Sanusi dari penjara. ''Kalau kedua orang itu dibebaskan, baru ada artinya untuk memikirkan kemungkinan adanya perubahan kebijaksanaan politik,'' ujarnya menambahkan. Apakah harapan Marsillam bakal jadi kenyataan, itu agaknya terpulang pada sang waktu jua. Konon, para tahanan politik itu sudah tidak disekap seketat dulu. Ada yang bilang, beberapa dari mereka sudah boleh keluar dan bekerja pada pagi hari, tapi sorenya sudah harus kembali tidur di losmen prodeo. Apakah itu pertanda bahwa mereka akan segera dibebaskan, kita tunggu saja pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada bulan Agustus nanti. Agus Basri, Iwan Q. Himawan, Sri Wahyuni, dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus