RUMAH Jenderal (Purn.) A.H. Nasution disebut-sebut sebagai tempat munculnya keputusan Habibie mengundang Ali Sadikin dari Petisi 50. Memang, menurut kisah, di rumah bekas Menteri Keamanan Nasional dan Menko Hankam (1959-1966) inilah sejumlah tokoh Pemerintah dan pengkritiknya suka berkumpul paling tidak, di hari baik, seperti Lebaran lalu. Sehubungan dengan kunjungan Petisi 50 ke PT PAL Surabaya itu, Nasution, 75 tahun, bersedia memberikan jawaban atas pertanyaan wawancara TEMPO. Petikannya: Bagaimana cerita pertemuan Ali Sadikin dan Habibie itu? Pada hari Lebaran, rumah kami terbuka untuk siapa saja, untuk menyambung tali silaturahmi. Yang ber-Lebaran bukan saja Ali Sadikin dan Habibie, tapi juga jenderal-jenderal Suprayogi, Amirmachmud, Surono, Akhmad Tahir, Rudini, Wiyogo, Rusmin, Simbolon, Kawilarang, dan lain-lain. Mereka teman-teman seperjuangan dulu. Sebagai tuan rumah, saya bersama Bu Nas meladeni tamu-tamu yang datang bergantian. Apakah Anda setuju dengan kunjungan ke PT PAL itu? Dua minggu sebelum rencana kunjungan itu, saya diberi tahu Saudara Ali Sadikin. Saya menganjurkan untuk memenuhi undangan itu. Sebagaimana saya tahu, sebelum Orde Baru, Ali-lah, sebagai Deputi Pangal dan Menko Maritim, yang paling banyak mengembangkan PAL dan pembangunan Angkatan Laut. Saya pernah diundang juga oleh Habibie, tahun 1987, selesai menjalani operasi jantung di Amerika. Saya tanyakan apakah hal ini sudah diketahui Presiden. Jangan sampai kamu kena tindak. Dijawabnya bahwa Presiden sudah dilaporinya dan beliau mengatakan, itu baik kalau saya, yang ikut menampilkan Orde Baru, mengetahui apa yang dia kerjakan. Karena soal kesehatan, itu tak segera saya penuhi. Hingga, tiap kali ketemu Habibie, saya minta maaf dengan alasan bahwa semakin ketat pencekalan untuk saya dan istri oleh pihak keamanan. Sekadar contoh, pada tahun 1988 saya diundang resmi oleh pemerintah Malaysia untuk memberi ceramah di Kongres Kebudayaan Melayu atas tajuk ''Taktik dan Strategi Peperangan Klasik Modern'' di Persidangan Antarbangsa Tamadun Melayu II yang dihadiri sekitar 500 orang, termasuk 45 pakar. Oleh aparat keamanan, saya dianjurkan tak berangkat. Tahun yang sama, saya juga diwawancarai sebuah koran di Bandung tentang pembentukan Siliwangi. Akhirnya, menurut pemberitahuan tak resmi, tulisan itu tak boleh dimuat oleh instansi keamanan setempat. Untuk kedua hal itu, empat jenderal (Azis Saleh, Ali Sadikin, Hoegeng, dan Suyitno) membuat petisi ke DPR untuk keadilan, mengapa saya dilarang dalam soal yang semata-mata bersifat profesi. Juga Bu Nas sebagai salah satu pendiri Persit. Ia pernah diundang pengurus untuk menghadiri ulang tahun organisasi itu. Tapi kemudian ia ditelepon pengurus bahwa surat undangan akan diambil kembali karena kehadirannya tak diperbolehkan. Pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan 1990, saya bersama Pak Sanusi Hardjadinata dan Pak Natsir membuat surat terbuka. Tapi aparat keamanan melarang pers untuk memuatnya. Dan seterusnya. Karena itu, setiap ketemu Habibie, yang katanya ditanyai Presiden apakah saya sudah meninjau IPTN, PAL, dan lain-lain, saya minta pengertian bahwa itu belum bisa. Sebab, cekal pihak keamanan kian ketat dan sering. Dan terakhir, ada ketentuan pula dari Menko Polkam. Apakah pertemuan Habibie-Ali ini sebagai usaha Pemerintah merangkul Petisi 50? Entahlah. Tapi yang saya alami tidaklah begitu. Saya lebih cenderung melihat Habibie sebagai orang bertakwa, berniat baik untuk memperoleh input dari berbagai pihak atas apa yang dia kerjakan. Apakah ini pertanda ada usaha rekonsiliasi antara Pemerintah dan kelompok pembangkang? Sudah sekitar 30 tahun saya berada di luar pemerintahan. Saya sudah terlalu jauh untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Pemerintah. Bagaimana dampak kunjungan ini untuk Petisi 50 sendiri? Saya tidak dapat meramalkan sesuatu yang belum ada kenyataannya. Sikap kami ialah amar makruf nahi munkar. Surat terbuka Sanusi-Natsir-Nasution pada HUT Proklamasi 1990, yang saat itu dilarang pihak keamanan untuk dimuat pers, sebenarnya sekadar mengingatkan ikrar Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Perlu adanya pemikiran dan usaha semua pihak untuk mengatasi tantangan dalam negeri, seperti kesenjangan politik, sosial, ekonomi. Jika dibiarkan berlarut, itu bisa menimbulkan ledakan. Juga tantangan globalisasi dari luar, seperti persaingan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekonomi yang kiat ketat. Surat kami itu tak mengandung sikap konfrontatif. Dan itu didukung oleh Petisi 50 dan Forum Silaturahmi, para bekas tokoh partai politik yang tak bersedia lagi ikut dalam partai-partai yang dipandang bukan sebagai kekuatan rakyat. Apa yang diusahakan sekarang oleh Petisi 50 untuk mencapai targetnya? Saya hanya membaca dari surat-surat yang mereka kirim ke DPR tentang berbagai hal. Sejauh yang saya baca, surat-surat itu lebih banyak menyangkut hal-hal fundamental yang diikrarkan di awal Orde Baru, dan saya anggap hal itu adalah semestinya. Esensi perjuangan Petisi 50 adalah kesadaran berkonstitusi, dalam hal partisipasi serta kontrol sosial. Dengan petisi ke DPR, mereka mempertanyakan hal-hal yang dianggap penting untuk dijelaskan oleh Pemerintah. Sebab, menurut UUD 1945, DPR-lah yang mengawasi Pemerintah dan tindak lanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini