HERAN. Tak ada sorak sorai, tak ada tepuk tangan. Padahal, sekitar 300 peserta ujian SMA sekolah itu dinyatakan lulus 100%. Itulah pemandangan di SMA Kanisius, Jakarta, Sabtu pekan lalu, ketika diumumkan hasil ujian tahun ini. "Kami frustrasi," teriak seorang siswa. "Tidak lucu dan tidak seru, kami lulus semua." Tahun-tahun lalu, pada masa ujian sekolah, SMA yang termasuk favorit ini hanya bisa, paling banter, meluluskan 97% . "Kami ingin mempertahankan mutu. Apa boleh buat, kini lulus semua," kata Pater Drost kepala SMA ini tanpa kegembiraan. Sebaliknya di SMAN VI, Jakarta, di bilangan Blok M, Kebayoran Baru, kegembiraan para siswa meledak-ledak. Bila tahun lalu 6% peserta ujian sekolah ini tak lulus, kini dari 770 peserta hanya seorang dinyatakan harus mengulang. Kontan, plastik-plastik berisi air beterbangan mencari sasaran. Baju-baju siswa tak lama kemudian penuh tanda tangan spidol. Kaca-kaca mobil pun lalu penuh gambar. Dan kemudian di jalan-jalan sekitar SMA itu mereka melakukan konvoi bak pawai pemilihan umum. Agaknya, pertama kali inilah ada sejumlah siswa tak begitu gembira menyambut hasil ujian, padahal mereka lulus. Ada sebabnya, tentu. Ketika Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM), September tahun lalu, mengumumkan kembalinya ujian negara atau Ebtanas - setelah sejak 1972 diberlakukan ujian sekolah - banyak orang meragukan manfaatnya. Bukan rahasia lagi, nilai ujian negara sebelum 1972 sudah sering harus dikatrol agar siswa yang lulus memadai. Diberlakukannya kembali Ebtanas, dengan tujuan antara lain untuk melihat mutu sekolah yang sebenarnya, mengundang komentar tidakkah akhirnya akan ada katrolan nilai juga. Jawaban pertanyaan itu terdengar lantang di awal April lalu, dalam pertemuan pers dengan pihak Direktorat Jenderal PDM. Berbeda dengan ujian negara sebelumnya, Ebtanas tahun ini tidak menentukan lulus tidaknya siswa. Yang menentukan adalah nilai STT- (surat tanda tamat belajar) yang merupakan kombinasi antara nilai rapor semester V dan VI, dan nilai Ebtanas. Untuk menentukan nilai STTB ditentukan rumus (p + Q + 3R):5. P adalah nilai rapor semester V, Q rapor semester VI, dan R nilai Ebtanas. Itu berarti, nilai Ebtanas dihargai begitu tinggi, mempunyai andil 60% dalam menentukan kelulusan siswa. Sementara itu, nilai Ebtanas murni (NEM) sendiri akan dicantumkan di lampiran STTB. Dengan singkat, adanya ketentuan itu dijanjikan tak akan ada pengatrolan nilai. Tapi begitu Ebtanas SMA untuk tujuh mata pelajaran berlangsung, 8-15 April lalu, muncul berbagai keresahan. Kepala sebuah SMA swasta di Bandung menyatakan kepada TEMPO, paling banyak 25% siswa sekolahnya yang bisa lulus bila dengan rumus tersebut. Seorang guru SMP di Jakarta menulis surat pembaca di harian Kompas betapa ia berdebar-debar bila benar-benar rumus itu terlaksana. Menurut dugaannya, akan banyak siswa yang tak lulus, dan tentu akan muncul berbagai reaksi dari para siswa. Benar saja. Panitia Ebtanas yang paling cepat bekerja adalah di wilayah Kanwil Dep. P & K Jawa Tengah, yang telah mengumumkan hasil ujian negara SMA Rabu pekan lalu. Beberapa hari sebelum pengumuman, muncul keprihatinan. Konon, nilai Ebtanas benar-benar mencemaskan. Nilai Bahasa Indonesia paling tinggi, menurut sumber berita TEMPO di sebuah SMA di Purwokerto, Jawa Tengah, hanya 6,2. "Bahkan untuk Matematika, tak sedikit yang mendapat angka di bawah satu," ujar sumber itu lebih lanjut. Bila rumus nilai STTB dipertahankan, diperkirakan hanya 20% dari hampir 79.700 peserta ujian SMA di Jawa Tengah yang lulus. Akhirnya, rumus diubah dengan menurunkan bobot R, dan jumlah siswa yang lulus pun tak jauh berbeda dari tahun-tahun lalu. Besar kemungkinan semua kanwil Dep. P & K akan melakukan kebijaksanaan mengubah rumus nilai STTB. Di Jawa Timur, yang baru mengumumkan hasil ujian negara SMA Selasa pekan ini, konon, nilai Ebtanas Fisika rata-rata dua lebih sedikit. "Kalau kita konsekuen melaksanakan rumus semula, banyak siswa tak akan lulus," kata Waloejo kakanwil Dep. P & K Jawa Timur. Maka, faktor R dalam rumus di Jawa Timur juga diturunkan, bervariasi untuk tiap mata pelajaran berkisar antara 1 dan 3, kata Waloejo pula. Memang ada petunjuk dari Jakarta, katanya, yang memben keleluasaan tiap kanwil untuk mengubah rumus. Di DKI Jakarta bahkan perubahan rumus itu diketahui dengan persis. Yaitu, untuk Fisika, Kimia, Biologi, Tata Buku atau Hitung Dagang, Ekonomi atau Koperasi, dan Geografi atau Kependudukan bobot R diturunkan sampai hanya 0,2. Kemudian untuk Matematika, Bahasa Inggris, dan bahasa asing yang lain, R diberi bobot 0,5. Dengan cara itu, menurut L. E. Coldenhoff kakanwil P & K DKI Jakarta, pukul rata 90% dari sekitar 58.200 peserta Ebtanas SMA di wilayah ini lulus. Sebab, kemudian faktor R kecil sekali andilnya dalam membentuk nilai STTB - antara 20% dan 9%. Hal itu mengagetkan pihak SMA swasta yang kebanyakan dikenal ketat mempertahankan kualitas pendidikannya. Pasalnya SMA-SMA itu memasukkan nilai rapor semester V dan VI ke Kanwil apa adanya. Bila ada pengatrolan, kata sumber TEMPO di sebuah SMA swasta, paling hanya ditambah satu angka. Jadi, Ebtanas gagal? "Terlalu pagi untuk mengatakan begitu," jawab Hasan Walinono, Dirjen PDM, yang baru diangkat Maret lalu. Bambang Bujono Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta) Ibrahim Husni (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini