SIKAP politik NU menghadapi pemilu 1987 mendatang makin tegas. Itu tampak nyata setelah Rais Am NU, K.H. Achmad Siddiq, mengeluarkan fatwa. Tak tanggung-tanggung, fatwa itu disampaikan Kiai Siddiq pada sekitar 250 ulama pimpinan pondok pesantren se-Jawa Timur, dalam acara halal-bihalal yang diselenggarakan di Pesantren Ploso, Kediri, pekan lalu. Fatwa itu, kata Kiai Siddiq, dikeluarkan karena mulai timbul suara remang-remang yang cenderung menjadi Golput. Kecuali itu, ada pula klai yang masih membikin kotak-kotak. "Saya dengar-dengar, ada kiai yang masih suka membuat kategorisasi. Bahwa: kontestan ini golongan Islam, yang itu separuh Islam, dan yang lain campuran, kata Siddiq. Dengan kategorisasi itu lantas kiai itu, kata Siddiq lagi, mengeluarkan fatwa: wajib mencoblos kontestan tertentu, yakni PPP. Kiai Siddiq tak menyebut siapa kiai yang dimaksud. Tapi, agaknya, ia adalah K.H. Syamsuri Badawi. Sebab, inilah satu-satunya kiai di kalangan NU yang terang-terangan mengecam sikap PB NU yang melarang semua pengurus harian NU merangkap jabatan sebagai pengurus orpol. Juga melarang semua ulama NU, pengasuh pesantren, dan mubalig NU menjadi juru kampanye Pemilu 1987 nanti. Tapi buat Kiai Syamsuri, "Bagi umat Islam memilih PPP itu hukumnya wajib," katanya. "Kalau masuk Islam jangan tanggung-tanggung, jangan separuh-separuh. Termasuk dalam berpolitik." Apa fatwa Kiai Siddiq? "Kalau wajib, konsekuensinya berdosa bagi yang tidak mencoblos. Nah, berani sampean (Anda) mempertanggungjawabkan kepada umat Islam se-Indonesia?" kata Kiai Siddiq yang disambut tepuk tangan membahana. Kiai Siddiq, 60, yang gemar menggenjot argocycle, dan mendengar lagu pop itu, lantas bercerita. Ia, katanya, suatu hari pernah ditanya orang tentang pernyataan bahwa warga NU "tidak wajib nyoblos PPP". Tidak wajib itu apa? "Ya, saya jawab: sunah juga tidak wajib, makruh juga tidak wajib, dan haram pun juga tidak wajib," kata K.H. Siddiq. Itu, sama halnya, mencoblos Golkar atau PDl, tidak haram. "Jadi, pokoknya janganlah terlalu kejeron (mendalam) memikirkan pemilu," katanya lagi. Tentang Golput? "Nyoblos itu hukumnya wajib," ujar Kiai Siddiq dengan tegas. Sebab, pemilu merupakan syarat bagi hadirnya, tegaknya, dan kelangsungan negara. Padahal, "Tegaknya negara adalah persoalan asasi dalam Islam. Dan menegakkan imamah (keimaman) adalah wajib," katanya. Islam telah mewajibkan untuk beramar ma'ruf nahi munkar, dan melaksanakan seruan agama (dakwah Islamiyah). Tugas ini menurut Kiai Siddiq, tak akan sukses, apalagi sempurna, tanpa adanya kekuatan dan pemimpin yang mempunyai legalitas (imarah). Sesuatu yang merupakan syarat keberhasilan hal yang wajib, hukumnya wajib. Aslinya: Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahua wajibun -- kaidah penyimpulan hukum. "Jadi, nyoblos itu wajib," ujarnya. Sedangkan Golput, menurut Kiai Siddiq, haram hukumnya. Andaikan, katanya, dalam masyarakat sebesar Indonesia ini, tak ada pemerintahan yang kuat, dan tanpa pemimpin yang tangguh. Bisa dipastikan akan timbul kekacauan dan anarki. "Timbulnya kekacauan dan anarki sangat tidak diinginkan oleh Islam. Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih, (menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemanfaatan)," kata Kiai Siddiq. Kiai Siddiq lantas memberi sebuah ilustrasi. Misalnya, ketika sedang salat, tiba-tiba rumah terbakar. "Bagaimana sikap kita? Apa salat kita teruskan, karena kita hamba Allah yang patuh -- atau kita tinggalkan?" tanya Kiai Siddiq. "Ah, kita teruskan saja salat biar hangus sekalipun. Apa begitu? Tentu saja tidak. Islam mengajarkan, setop dulu salatnya. Kita matikan dulu api itu," kata Kiai Siddiq. Adapun Golput itu, "Ibarat api tadi. Itu harus kita matikan dulu," tambah Kiai Slddiq, yang disambut kembali oleh hadirin dengan riuh rendah. "Tolong ratakan pesan saya sebagai Rais Am NU ini, agar jangan sampai ada warga NU yang Golput." Menurut Kiai Siddiq, kini mulai timbul suara yang remang-remang cenderung ke Golput. Kecenderungan menjadi Golput itu diakuinya sebagai hal yang ma'qul -- masuk akal. Masuk akal karena dua hal. Pertama karena bingung, lantaran kurang memahami tata politik sekarang ini. Kedua, "Bisa juga karena terlalu serius memikirkan pemilu," kata Kiai Siddiq. "Janganlah terlalu kejeron memikirkan pemilu," katanya lagi. "Bisa bahaya nanti," sambungnya, dan ia kembali mendapat keplok hadirin. Hakikat pemilu, menurut Kiai Siddiq, adalah memilih program dan calon. Yang dipemilukan kelak bukan agama. "Program dan calon itulah yang dipemilukan," tuturnya tandas. "Lha, kalau tidak ngerti program, ya, lihat saja calonnya. Apakah gagah, pakai kumis, atau bagaimana," katanya. Ia kembali menegaskan bahwa sejak Muktamar Situbondo, akhir 1984, NU telah melepaskan keterikatannya secara organisatoris dengan kekuatan politik mana pun. Ibarat orang berdiri, katanya, kini jarak antara NU dan semua kekuatan politik sama-sama satu meternya. Ketiga kontestan dalam pemilu kelak sama. "Sama-sama berideologi Pancasila," kata Kiai Siddiq. Karena itu "Jangan dibeda-bedakan lagi. Misalnya, Pancasilanya Golkar, agak gemuk. Pancasilanya PDI agak kurus, dan begitu pula PPP. Jangan! Itu tidak betul," katanya. Yang terang ialah NU membebaskan warganya untuk menggunakan hak politiknya secara baik dan bertanggung jawab. Karena itu, Rais Am Kiai Siddiq mengimbau para kiai agar mempergunakan kewibawaannya, "untuk menumbuhkan kesadaran seluruh warga NU dalam berpemilu. Jangan sampai ada yang apatis, apalagi Golput." "Jadi kiai itu memang repot," tambahnya. "Bukan cuma orang yang kehilangan kambing dan mencari jodoh saja yang bertanya pada kiai. Nyoblos tanda gambar pun masih saja bertanya pada kiai," katanya. K.H. Syamsuri Badawi, pengasuh pondok pesantren terkemuka Tebuireng, yang selama ini terang-terangan mewajibkan umat memilih PPP, hari itu duduk di barisan paling depan. Ia tampak tenang-tenang, tak memberi komentar pada fatwa Kiai Siddiq. Tapi, sebelumnya, kepada TEMPO ia berkali-kali berkata, "Pokoknya, tidak ada alasan untuk tidak memilih PPP." Saur Hutabarat, Laporan Choirul Anam (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini