Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebentar lagi purnatugas. Selama satu dekade menjabat sebagai Kepala Negara, salah satu program Jokowi yang mencolok adalah Revolusi Mental. Rencana induk itu ia usung saat mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2014, pun di Pilpres 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh tahun silam, jelang kontestasi pemilihan kepala negara, Jokowi mengatakan Indonesia membutuhkan revolusi mental agar bisa menjadi sebuah negara yang maju. Menurut kandidat usungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ini Indonesia selalu memiliki mindset negatif. Sehingga, kata dia, sulit melakukan perubahan optimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Satu yang sangat penting menurut saya adalah revolusi dari mental. Dari negativisme menjadi positivisme. Ini penting sekali untuk mengubah mindset karena kita ini bangsa yang besar,” katanya saat melakukan siaran dengan salah satu stasiun televisi di Taman Suropati, Kamis, 24 April 2014.
Menurut Jokowi, yang juga Gubernur DKI Jakarta saat itu, Indonesia membutuhkan sebuah desain kebijakan yang besar di semua sektor, seperti pertanian, kesehatan, dan industri. Eks Wali Kota Solo ini mengatakan dalam implementasi kebijakan tersebut, bangsa Indonesia harus berpikir optimistis dan jangan sampai terjebak pada negativisme.
Jokowi juga secara khusus menulis tentang Revolusi Mental di harian Kompas edisi Sabtu, 10 Mei 2014. Dalam artikelnya, Jokowi menyebut dalam pembangunan bangsa, Indonesia cenderung menerapkan prinsip paham liberalisme, yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia.
Menurut dia, sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif. Tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi. Sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
“Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang,” tulis Jokowi.
Revolusi mental, menurut pendapat Jokowi, beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, Jokowi mengatakan Indonesia dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Presiden Pertama RI Sukarno alias Bung Karno dalam pidatonya pada 1963 dengan tiga pilarnya, “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
“Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini,” kata Jokowi dalam artikelnya.
Berikut pemaknaan Revolusi Mental ala Jokowi merujuk konsep Trisakti Bung Karno.
1. Indonesia yang berdaulat secara politik
Menurut Jokowi, kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Indonesia. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Indonesia harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Indonesia juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum.
“Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tulis Jokowi.
2. Indonesia yang mandiri secara ekonomi
Di bidang ekonomi, kata dia, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.
Menurut Jokowi, reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia.
Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
3. Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Jokowi berujar, Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Saat itu, Buni Yani, Peneliti Universitas Leiden Belanda, mengatakan gagasan Jokowi mengenai Revolusi Mental mendesak dilaksanakan dilihat dari sudut pandang antropologi. Jika melihat transformasi demokrasi di Indonesia selama 16 tahun dan di Filipina selama 28 tahun terakhir, perubahan sistem politik belum berbuah menjadi kesejahteraan karena tak dibarengi perubahan sikap mental dan perilaku nyata sehari-hari.
Di kedua bangsa ini, kata dia, perubahan sistem dan institusi telah terjadi, tapi perilaku dan sikap mental kolektif warga negara masih tetap sama. Yang berubah adalah orang, sistem, dan institusi, tapi sikap mental dan perilaku korup, tidak disiplin, serta etos kerja yang rendah masih tetap sama yang masih bisa ditemukan di hampir semua lini birokrasi.
“Sebagai perbandingan, Korea Selatan, yang kondisinya sama dengan Indonesia pada 1960-an, kini menjadi negara industri maju karena sikap mental serta etos kerja dan disiplin yang tinggi,” kata Buni di Kolom Tempo, Jumat, 20 Juni 2014.
Menurut dia, di banyak kantor pemerintah di Indonesia dan Filipina, masih bisa disaksikan para pegawai yang tidak disiplin. Proyek dilakukan melalui tender yang dimainkan yang menyebabkan banyaknya korupsi. Proyek diberikan bukan kepada bidder, yang bisa memberi harga paling rendah, melainkan kepada yang bisa memberikan sogokan paling tinggi.
“Etos kerja rendah menghasilkan kinerja buruk dan berakibat pelayanan publik yang terbengkalai. Kalaupun ada perbaikan di sana-sini atas inisiatif tokoh tertentu yang menumbuhkan harapan, gerakan ini rentan dikalahkan oleh sikap mental lama yang belum beranjak dari kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging,” katanya.
Dalam kondisi birokrasi yang suram inilah menurutnya gagasan tentang revolusi mental menjadi ide yang cemerlang yang dinanti-nantikan rakyat, yang mendambakan perubahan nyata. Revolusi mental menyiratkan kesediaan mengoreksi kebiasaan lama yang buruk dan keinginan berbenah menuju tata nilai baru demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | ANANDA TERESIA