Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Genderang Perang Ditabuh Xanana?

Insiden berdarah pecah di Liquica. Lidah pengacara Xanana kepeleset menyatakan perang. Tim-Tim di ambang perang saudara?

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telepon di kamar Xanana Gusmao berdering. Jarum jam di rumah tahanan Salemba, Jakarta, Senin pekan lalu, menunjuk pukul 21.30. Suara di seberang sana datang dari bumi Loro Sae. Isinya berita berdarah: 17 rakyat Liquica mati dibantai. Presiden Conselho Nacional Resistencia de Timorese (CNRT) ini pun meradang. Suaranya terdengar menggeledek—dalam bahasa Tetun. Sambil menggenggam telepon, satu per satu barang di depannya dibanting. Botol, gelas, akuarium, dan suvenir pecah berantakan. Meredakan amarah, ia lalu tepekur di tepi ranjang. Kedua tangannya merengkuh kepalanya yang menunduk dalam. Ia mulai mengetik. Hasilnya, sebuah pernyataan dua lembar bertajuk ''Falintil Resumes Their Mission in Defence of The People of East Timor"—Falintil Melanjutkan Misi Mereka Membela Rakyat Timor Timur. Isinya memberi kewenangan penuh pada Falintil—sayap militer CNRT—membela rakyat Tim-Tim dari pembunuhan dan provokasi milisi sipil yang dipersenjatai ABRI. Selain itu, mendesak PBB segera mengirim pasukan perdamaian. Keesokan harinya, Republik geger. Mengutip pengacara Xanana dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Johnson Panjaitan, pers menulisnya tebal-tebal sebagai ''Pernyataan Perang". Rupanya, Johnson keseleo lidah. Ketua Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste (Solidamor), Bonar Tigor Naipospos, melihat ''kecelakaan" itu akibat salah tafsir. ''Dalam pernyataan asli, tidak ada kata pernyataan perang," katanya. Tigor melihat sasaran sebenarnya: mendesak PBB lebih serius menyikapi kondisi keamanan di Tim-Tim. Pemerintah langsung gerah. Merasa ditantang, Panglima ABRI Jenderal Wiranto menggertak balik, ''TNI dan Polri siap bertindak tegas dengan risiko apa pun." Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengecam sikap yang bisa mengeruhkan perundingan New York itu. Menteri Kehakiman Muladi mengancam mengembalikannya ke bui Cipinang. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Feisal Tanjung bahkan menyebut-nyebut soal Nusakambangan. Nada minor juga datang dari Menlu Australia Alexander Downer dan juru bicara Deplu AS, James Rubin. Sekjen PBB Kofi Annan pun menampik soal gelar pasukan. Sikap Portugal agak lain. Menurut Kepala Perwakilan Portugal di Indonesia, Ana Gomez, justru insiden Liquica itulah yang merintangi perundingan. Xanana sendiri membantah menyatakan perang. ''Kami hanya membela diri," ujarnya sambil tetap menyerukan rekonsiliasi. Ia balik menuding pihak Indonesialah yang menyatakan perang dengan terus mempersenjatai milisi sipil prointegrasi. Gelombang kekerasan di Timor Leste memang meningkat tajam, khususnya setelah Habibie, akhir Januari lalu, melempar opsi otonomi luas atau merdeka. Berbagai media memuat ancaman para komandan milisi: banjir darah jika otonomi ditolak. Dalam catatan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), pada kurun waktu itu telah terjadi 53 kasus kekerasan dan teror. Jumlah korban: 40 meninggal, 22 luka, 3 hilang, dan 2 diperkosa. Rupanya, situasi itulah yang memicu sikap keras Xanana. Teleponnya berdering-dering menerima pengaduan warga desa yang ketakutan. Para komandan Falintil bertubi-tubi mendesaknya melakukan perlawanan, sementara kekerasan berlangsung terus. Padahal, menyadari pentingnya perundingan yang tengah berjalan, Xanana telah memerintahkan Falintil agar meletakkan senjata. Helmy Fauzi dari Solidamor mendengarnya sendiri dari mulut Komandan Regiao (Wilayah) 4 Falintil, Ular Ryhyk, di markas rahasianya di Tim-Tim. Ditemui sehari sebelum kasus Liquica, pejuang yang telah bergerilya sejak 1975 itu menyatakan, ''Kami menaati perintah Panglima Xanana untuk menghentikan kekerasan." Tapi apa daya, insiden Liquica lalu meledak. Bentrokan berdarah ini boleh dikata terbesar setelah peristiwa Santa Cruz, November 1991. Uskup Diosis Dili Carlos Filipe Ximenes Belo bahkan menyebutnya sebagai pembantaian massal. Menurut catatan Belo, tragedi itu memakan 25 korban jiwa sipil. Laporan yang diterima Xanana menyebut 45 terbunuh. Sementara itu, Kapuspen ABRI Mayjen Syamsul Maarif bersikukuh di angka lima jiwa melayang. Menurut seorang saksi mata, Januario, insiden itu disulut perusakan rumah dan penganiayaan Felisberto dos Santos pada hari Minggu, 4 April. Yang bikin ulah adalah Manonas, milisi dari Satuan Gabungan Intelijen plus Garda Muda Penegak Integrasi, Gardapaksi. Felisberto mengalah, minta berdamai. Musyawarah direncanakan esok paginya, di kantor Desa Dato. Tapi, sekitar pukul 07.00, saat warga menuju lokasi, kelompok milisi Besi Merah Putih (BMP) melancarkan serangan. Mayat pun bergelimpangan. Lengan pastor setempat, Rafael dos Santos, luka kena sabet. Seribu orang mengungsi ke gereja. Lainnya melarikan diri ke hutan. Liquica lu-mpuh. Sepanjang jalan Atambua (NTT) menuju Dili diblokir BMP dan tentara. Bendera Merah Putih dikibar-kibarkan. Pastor Rafael yakin, pembantaian itu dibekingi militer. Ia melihat tentara ikut memberondongkan pelor. ''Kenapa tentara mendampingi BMP?" gugat Rafael. Uskup Belo bereaksi keras. Ia mendesak pemerintah membentuk Dewan Kehormatan Militer untuk mengusutnya. Versi prointegrasi tentu berbeda. Komandan BMP Manuel Sousa menyatakan serangan itu merupakan balasan atas penyerbuan gerilyawan sebulan lalu. Ketua DPRD I dan Golkar Tim-Tim, Armindo Soares, menuding Falintil menyerang lebih dulu. BMP lalu memburu lawannya yang bertahan di rumah Pastor Rafael. Insiden pecah setelah tembakan menyalak dari pastoran dan mengenai paha seorang polisi. Sousa—mantan anggota DPRD II Liquica dari PDI—juga membantah tudingan bahwa Bupati Liquica, Leoneto Martins, dan Komandan Kodim Liquica, Letkol (Inf.) Asep Kuswani, memerintahkan penyerbuan. Soal keterlibatan aparat, Helmy dari Solidamor menyodorkan hasil penyelidikannya pada peristiwa Maliana, 19 Maret lalu. Insiden di Dusun Maliubu, Kecamatan Maliana, Kabupaten Bobonaro itu meminta empat korban jiwa—dua di antaranya berusia 11 dan 12 tahun. Menurut pengakuan beberapa korban yang luka, penyerangan dilakukan milisi bersenjata otomatis. ''Jenisnya mirip yang dipakai Bapak-Bapak (ABRI)," kata seorang saksi korban. Komandan Kodim Bobonaro, Letkol (Kav.) Burhanudin Siagian, menunjuk Falintil yang menembaki warga. Tudingan ini, menurut Helmi, tak berdasar. Soalnya, warga yang kerap menyuplai makanan mengenal dengan baik sosok gerilyawan. Apalagi, beberapa wajah penyerbu dapat dikenali. Mereka ini sering terlihat bersama Letkol Siagian. Di sebuah warung di Batu Gede, Helmy juga melihat Siagian tengah berkumpul dengan adik dan anak Joao Tafares, panglima perang integrasi. Bersama dengan belasan anggota milisi lainnya, mereka menyandang senapan otomatis M16 dan FCN. Xanana malah telak-telak menuduh Panglima Kodam IX/Udayana, Mayjen Adam Damiri, mempersenjatai pasukan partikelir itu. Kecurigaan itu dibantah Armindo. Ia berkilah, senjata itu hasil rakitan sendiri. Kepala Staf Teritorial ABRI, Letjen Bambang Yudhoyono, mengamini. ''Dari dulu mereka sudah memiliki senjata untuk self defence," katanya sambil meminta semua pihak menahan diri. Sampai sekarang tidak ada pergerakan berarti dari kubu prokemerdekaan. Yang getol bermanuver justru kelompok prointegrasi. Ribuan milisi dikerahkan untuk gelar kekuatan. Minggu kemarin, di Viqueque, 3.000 milisi mengangkat sumpah setia kepada Republik, sambil menenggak darah anjing. Setiap malam mereka melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah. Pasukan ABRI agaknya juga bakal ditambah. Selasa pekan lalu, sebuah LST (landing ship tank) Teluk Kau bernomor lambung 504 merapat di Pelabuhan Dili. Semula, Wiranto mentah-mentah menolak anggapan itu. ''Nggak ada! Mikir pun nggak!" ujarnya menghardik. Tapi kemudian, kepada Darmawan dari TEMPO, Kepala Pusat Penerangan ABRI Syamsul Maarif membenarkannya. Cuma, tugasnya bukan untuk tempur, tapi ''sekadar" penjagaan teritorial. Berkekuatan satu satuan setingkat batalyon, pasukan itu terdiri dari Zipur 4 dan Bantuan Administrasi dari Kodam IX/Udayana. Saat ini total jenderal ada 10 ribu tentara ABRI di bumi Loro Sae. Semua serba siaga. Karaniya Dharmasaputra, Dwi Wiyana, Hardy Hermawan, Dyah Prabandari (Jakarta), Cyriakus Kiik (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus