Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELAS lelaki berbaret merah itu berdiri tegap. Mereka memberi hormat ke arah majelis hakim, balik kanan, lalu bubar jalan. Sejumlah polisi militer segera membuat pagar betis, memberi jalan bagi sederetan pasukan elite itu menuju ke luar ruang sidang. Di luar, penjagaan tak kalah ketat. Rekan-rekan satu korps serentak memberi hormat, lalu berteriak berulang-ulang, "Komando..., komando!" Sebuah minibus tahanan membawa mereka meninggalkan sidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta akhirnya memvonis sebelas anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat itu dengan hukuman beragam. Mereka dinyatakan Ketua Majelis Hakim, Kolonel C.H.K. Susanto, telah merampas kemerdekaan orang lain tanpa hak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Mawar--sebutan untuk kelompok itu--dijatuhi hukuman penjara antara 12 bulan dan 22 bulan penjara. Putusan terberat jatuh pada Mayor (Inf.) Bambang Kristiono, sang komandan tim, dengan hukuman penjara 22 bulan. Ia, bersama empat perwira berpangkat kapten, dipecat dari dinas militer. Mayor Bambang tak menerima putusan majelis hakim. "Saya menolak keputusan ini," katanya dengan nada tinggi.
Bagi Mayor Bambang, menculik dan menyiksa para aktivis itu adalah tugas mulia untuk kepentingan bangsa dan negara. Mereka diperintahkan untuk meredam kegiatan para aktivis radikal yang antirezim Soeharto. "La, kok mereka yang jadi korban? Padahal semuanya itu dilaporkan kepada pimpinan. Jangan semua kesalahan ditimpakan pada mereka. Kalau komandan hanya menerima saja, kayak kantor pos, bukan komandan namanya," ujar Kolonel Rettob Abdullah, penasihat hukum para terdakwa.
Pernyataan Kolonel Rettob itu ada benarnya. Seharusnya, bekas komandan Grup 4, Kolonel Chairawan, Komandan Jenderal Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto, dan penggantinya Mayor Jenderal Muchdi Purwoprandjono--penerus kebijakan menculik--sebagai atasan yang selalu mendapat laporan dari tim itu, patut turut disalahkan. Sayangnya, sanksi yang dijatuhkan pada Prabowo lewat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) hanyalah mempercepat pensiun delapan tahun lebih awal. Karena itulah, atas izin Pangab Jenderal Wiranto, Prabowo hengkang ke luar negeri.
Padahal, untuk menyeret Prabowo dan dua bawahannya, menurut anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Benjamin Mangkoedilaga, bisa dilakukan. "Bukankah seusai diperiksa DKP, Prabowo sudah mengaku dan bertanggung jawab atas penculikan yang dilakukan terhadap sembilan aktivis itu?" kata Hakim Ben. Bahkan, Andi Arief, 29 tahun, salah satu korban penculikan, juga tak menyalahkan 11 orang penculik dan penyiksa itu. "Mereka tak bisa disalahkan. Kalau mau fair, komandan yang memerintahkan penculikan itulah yang harus diadili. Bukan hanya Prabowo, tetapi juga Panglima Tertinggi ABRI, yang waktu itu dipegang Soeharto," ujar aktivis Partai Rakyat Demokratik itu, sengit.
Arief diculik sekelompok orang berbadan tegap dari rumah toko keluarganya di Bandar Lampung, 28 Maret 1998, dan dibawa ke suatu tempat dengan mata tertutup. "Tempat itu saya yakini di Markas Kopassus Cijantung, Jakarta Timur," ujarnya. Di tempat itu, selama 10 hari matanya ditutup kain dan disiksa seperti yang lainnya. Untungnya, Arief masih sempat mengenali salah satu penculiknya, Mayor Bambang Kristiono, saat sidang digelar. "Saya mengenalinya di dalam tahanan, yang lainnya bertopeng," ujar anak tokoh NU Lampung itu.
Di dalam tahanan, Arief juga bertemu korban penculikan lain, Herman Hendrawan dan Suyat, yang hingga kini masih raib bersama 11 orang lainnya. "Jadi, bohong kalau mereka hanya mengaku menculik sembilan orang saja," ujar Arief. Bagi Arief, peradilan yang baru berakhir itu hanyalah sebuah dagelan. "Seolah-olah hukum benar-benar ditegakkan. Padahal, Pangab Wiranto hanya mengorbankan para anggota Kopassus itu. Mereka kan cuma melaksanakan perintah. Lebih baik yang masih disekap segera dibebaskan," katanya.
Tuntutan yang lebih keras malah datang dari Komite Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang akan membawa persoalan ini ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda. "Kalau atasan penculik itu tidak diadili dan 13 orang yang masih disekap tak dilepaskan, kami akan membawa masalah ini ke Mahkamah Kriminal Internasional," kata Koordinator Kontras, Munir.
Menanggapi ancaman Kontras, Komandan Pusat Polisi Militer ABRI, Mayjen TNI Djasri Marin, tidak gentar. "Itu bukan wewenang saya lagi. Soal 13 orang itu kan masih dalam kategori orang yang hilang. Sampai saat ini, penyelidikan orang hilang masih kami teruskan," ujarnya kepada Dwi Wiyana dari TEMPO. Walhasil, masih misterius.
Ahmad Taufik, Setiyardi, Darmawan Sepriyossa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo