Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para akademisi yang terdiri dari guru besar, dosen, alumni, dan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) melantangkan Seruan Padjadjaran pada Sabtu, 3 Februari 2024. Saat membuat naskah yang berisi 7 poin itu, sejumlah guru besar Unpad berembuk dan berdiskusi.
"Setelah mengalami 6 sampai 7 kali revisi, akhirnya tadi pagi jam 7 itu adalah revisi final. Jadi ini memperlihatkan bahwa naskah ini memang dibahas bersama dalam waktu yang singkat,” kata Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Unpad, Susi Dwi Harijanti kepada Tempo melalui telepon, Sabtu, 3 Februari 2024.
Naskah seruan yang bertajuk “Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Beretika dan Bermartabat” dibacakan oleh Ketua Senat Akademi Unpad, Ganjar Kurnia di kampus Unpad di Jalan Dipatiukur Bandung. Naskah tersebut telah ditandatangani 82 guru besar, 1.030 dosen dan alumni, dengan dukungan mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa Unpad.
"Aksi ini dilakukan untuk menunjukkan sikap masyarakat Unpad terhadap masalah hukum, etika berpolitik, dan sikap pemerintah menjelang pemilihan umum 2024 mendatang," kata Susi.
Seruan Padjadjaran yang dimulai dengan peribahasa Bahasa Sunda “Ngadék sacékna, nilas saplasna”. Artinya konsistensi ucapan dan perbuatan menjunjung kejujuran dan kearifan.
Susi menyebutkan, nilai-nilai kejujuran, kearifan, serta konsistensi antara ucapan dan perbuatan sesuai peribahasa tersebut tidak ditemukan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan belakangan ini. Hal inilah yang akhirnya membuat para akademisi Bersatu dan bergerak menyatakan seruan.
“Dengan diinisiasi oleh beberapa guru besar, kemudian mulai disusun rancangan naskah seruan, kemudian dikonsultasikan, didiskusikan kembali dengan para guru besar, juga ada masukan-masukan dari pimpinan universitas, juga dari para dosen,” kata Susi menjelaskan pembentukan naskah Seruan Padjadjaran.
Susi menuturkan, aksi ini bukan semata-mata seruan politik, namun juga didasarkan pada Pola Ilmiah Pokok (PIP) “Bina Mulia Hukum dan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional”.
“Kalau kita lihat dari Bina Mulia Hukum saja, kepada kita semua diperlihatkan secara kasat mata bagaimana penguasa itu menempatkan hukum hanya semata-mata untuk menjustifikasi saja,” kata Susi kepada Tempo melalui telepon WhatsApp, Sabtu, 3 Februari 2024.
Ia berpendapat bahwa saat ini, hukum bukan dibentuk dengan tujuan untuk mencapai keadilan, tetapi semata-mata untuk menjustifikasi tindakan para penguasa. Ia juga menyebut bahwa penguasa yang memiliki wewenang dan kuasa seringkali mengambil tindakan dan keputusan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Susi juga menekankan bahwa hukum sebagai alat justifikasi penguasa ini terlihat secara gamblang mulai dari pembenetukan undang-undang serta pengujian UU di Makhamah Konstitusi (MK) yang berakibat pada diubahnya syarat calon presiden dan wakil presiden untuk kepentingan kelompok.
“Artinya ketika mereka (para penguasa) melaksanakan hukum, mereka hanya menggunakan hukum itu sebagai slogan normatif, tetapi kehilangan jiwa, kehilangan ruhnya, kehilangan nilai-nilai etika, dan moralitasnya,” ujar Susi.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | AHMAD FIKRI
Pilihan Editor: Seruan Padjadjaran Selamatkan Demokrasi, Ketua BEM Unpad Siap Turun ke Jalan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini