Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CITA-CITA Sonya Elly menjadi guru bermula dari keinginan ibunya yang ingin melihatnya memakai baju dinas guru berwarna cokelat, tas jinjing di lengan, dan sepatu pantofel. “Kakak, Mama sangat senang dan ingin lihat Kakak pakai baju dinas,” kata Yospina Nauwe, ibu Sonya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan Yospina membawa Sonya menjadi guru dengan segudang prestasi tidaklah mudah. Yospina ingat saat itu Maluku tengah dilanda konflik sektarian selama 1999-2004. Konflik Ambon tak hanya pecah di Kota Ambon, tapi merembet hingga ke Kabupaten Seram Bagian Barat, kampung halaman Sonya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yospina lalu membawa Sonya meninggalkan kampung halamannya untuk kuliah di perguruan tinggi di Kota Ambon. Dia membayar Rp 1,5 juta, uang patungan bersama orang-orang kampung lain yang ingin menyeberang ke Ambon, untuk menyewa aparat keamanan. Mereka menaiki mobil bak milik Tentara Nasional Indonesia melewati desa-desa yang berkonflik dan keluar-masuk hutan agar terhindar dari serangan dan peluru nyasar.
Menurut Yospina, bahkan perahu cepat yang mereka tumpangi dari Desa Kamal di Seram Bagian Barat menuju Desa Passo di Ambon ditembaki. Satu mesinnya rusak tak berfungsi sehingga kapal itu melambat. Yospina hanya bisa pasrah saat tentara yang mengawal mereka meminta mereka tiarap. “Semuanya tiarap, ada tembakan!” ucapnya menirukan ucapan sang tentara. Yospina memeluk putrinya. “Kakak, kalau ada apa-apa Mama yang mati lebih dulu, yang penting Kakak sampai di Ambon untuk kuliah,” tuturnya mengenang insiden yang mengancam jiwa itu.
Harapan Yospina terwujud. Sonya akhirnya menjadi guru dan terpilih sebagai guru penggerak. "Kalau saya ingat saat-saat mau masuk perguruan tinggi, Mama yang paling berkorban untuk saya," kata Sonya sembari menyeka air mata.
Sonya mengaku juga terinspirasi menjadi guru berkat ayahnya, guru di Desa Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat. Sang ayah, Alberth Elly, bukan guru biasa. Meski gaji guru pada 1990-an tak seberapa, ia selalu berusaha membantu membiayai anak-anak di kampung yang putus sekolah.
Desa Taniwel berada di antara pantai dan gunung. Penduduknya hidup dari bertani dan melaut. Banyak anak suku Buton di desa itu yang tak dapat mengenyam bangku pendidikan karena keterbatasan ekonomi.
"Semasa kecil saya sudah lihat Bapak jadi guru. Dalam hati saya, gajinya kecil tapi dia masih mau bantu anak-anak supaya masih bisa sekolah. Dari situ saya mau jadi guru seperti Bapak," ujar Sonya.
Sonya tak berasal dari keluarga berada. Ibunya berdagang roti dan nasi kuning. Dulu, saat masih kecil, Sonya juga membantu sang ibu menjajakan dagangan di sekolah. Dia merasa punya tanggung jawab sebagai anak pertama dan membuka jalan bagi dua adiknya untuk berkarier di bidang masing-masing.
Kini hidup Sonya dipenuhi berbagai kegiatan. Dia mengajar di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Ambon. Di rumah dia mengurus suaminya, Bernadus Tonapa, dan tiga anak mereka, Fernando Angelo, Marsya Aurelia, dan Cecilia Krista. Suaminya adalah anggota Brigade Mobil Kepolisian Daerah Maluku.
Sore itu, Ahad, 27 November lalu, Sonya mendadak jadi penata rambut. Sang suami meminta dia memangkas rambutnya yang mulai menutupi kepala. Sebelumnya, Bernadus punya rambut bergaya cepak setengah plontos.
Sebelum kembali ke tempat tugas di Desa Ori, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Bernadus ingin rambutnya terlihat rapi. Ia tengah bertugas mengamankan Desa Ori dan Kariuw yang bersitegang pada Januari lalu.
Tangan kanan Sonya tampak cekatan memegang alat cukur rambut, sementara tangan kirinya memegang kepala sang suami. Sesekali ia memiringkan kepala sambil mengecek lajur rambut suaminya.
Sonya tampak sudah piawai. Bahkan saat alat buatan Cina itu tiba-tiba macet dia tahu cara membetulkannya. Bernadus, yang duduk di kursi menghadap sebuah lemari berbahan jati, memantau dari cermin yang menempel di pintu lemari itu. Tak sampai sedetik, mesinnya hidup kembali. "Oh, colokannya longgar," kata Sonya.
Bila Bernadus pergi bekerja, Sonya dan ketiga anaknya tinggal di rumah bersama Bruno, anjing peliharaannya. Kadang ketiganya dititipkan kepada kedua orang tua Bernadus jika mereka sudah pulang berdagang seledri di Pasar Mardika.
Rumah mereka bersebelahan di permukiman Kampung Toraja, Desa Galala, Kecamatan Sirimau. Penduduk daerah ini berasal dari Toraja, kampung halaman Bernadus. Orang tua dan keluarga besar Bernadus hidup bertetangga.
Esoknya, Sonya mengikuti lokakarya Implementasi Kurikulum Merdeka Angkatan 2 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Olahraga Provinsi Maluku di sebuah hotel di Kota Ambon. Kegiatan itu mengharuskan dia menginap di hotel, meninggalkan anak dan suaminya.
Di tengah kesibukannya, keluarganyalah yang menjadi penyemangat nomor satu. "Anak-anak dan suami tidak pernah mengeluh. Yang penting ada makanan di atas meja. Tuhan baik kepada saya," ucap Sonya.
Sonya Elly bersama murid SMA Negeri 2 Ambon, Maluku, 28 November 2022. TEMPO/George William Piri
Sonya tersenyum ketika membuka pesan WhatsApp dan melihat foto segunung pakaian yang baru diangkat dari jemuran dan wajan berisi minyak bekas menggoreng ikan. "Bos, dapur sudah ready, masak dan mencuci," tulis Bernadus di situ.
Sebagai pendidik di sekolah dan luar sekolah, Sonya harus bekerja dari pagi hingga larut malam. Kadang dia ditugasi ke pelosok Maluku selama berhari-hari. "Kadang harus pulang sampai tengah malam. Suami tidak marah. Apalagi untuk kepentingan pendidikan di Maluku, beliau di garis terdepan," katanya.
•••
WAKTU baru menunjukkan pukul 04.45. Sonya Elly bangun lebih pagi dan memulai hari baru dengan segudang rutinitas. Dia turun dari lantai dua dan bergegas ke dapur. Pintu masuknya persis di bawah tangga. Dia segera menyalakan api. Sambil menunggu api di kompor menyala rata, dia mengeluarkan satu kilogram beras dari lemari dan mencucinya.
Dia lantas mengambil sejumlah bumbu dapur. Ada bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan sebuah tomat. Semua bahan itu ia ulek di atas cobek. Dua tangannya bekerja cepat. Minyak goreng kemudian dituang ke wajan. Sambal segera ditumis. Aroma pedas seketika menyeruak di dalam rumah. "Biasanya kalau sudah cium bau begini anak-anak langsung bangun," ucapnya.
Menu pagi itu sambal ikan balobo khas Kepulauan Aru. Bahan utamanya ikan julung-julung yang dikeringkan tapi tidak asin. Bentuknya pipih berwarna putih. Teksturnya garing dan gurih, hampir mirip kerupuk. Setelah bercampur dengan sambal, dagingnya tidak terasa alot.
Menu balobo dipesan anak-anaknya tadi malam. Ikan balobo itu dibawa dari Kota Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, buah tangan dari sejumlah kepala sekolah menengah atas di daerah yang masyhur dengan mutiaranya tersebut. Ketika itu ia diminta menjadi instruktur pelatihan implementasi Kurikulum Merdeka yang berpusat di Sekolah Menengah Kejuruan PGRI Kota Dobo. "Ini saya bawa enam karton. Kepala-kepala sekolah di sana semua kasih ikan ini. Mereka kumpulkan untuk oleh-oleh."
Kota Dobo begitu membekas di ingatan Sonya. Ayah Sonya menghadap Tuhan setiba di sana. Tak ada tanda-tanda saat dia minta izin pergi. Saat itu sang ayah datang untuk berobat di Ambon karena mengeluh nyeri di bagian dada. "Saya antara sadar dan tak sadar menerima berita itu. Saya sudah berjanji akan pulang, tapi tanggung jawab saya di sana belum selesai," katanya.
Dia membayangkan ibunya sendirian menemani jenazah sang ayah di Ambon. "Dobo, aku jatuh cinta padamu," kata Sonya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo