Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru Yang Tak Menyerah

Gaji guru terlalu sedikit untuk bisa hidup secara layak, sehingga mereka perlu mencari penghasilan tambahan. Ada yang tidak gampang menyerah, lewat usaha pribadi, bertani, bertukang. (pdk)

6 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK didiknya bisa menjadi dokter atau saudagar. Tapi gaji guru, bukan rahasia lagi, memang pas-pasan, atau malah kurang. Bersama kebijaksanaan pemerintah tahun ini, yang tidak akan menaikkan gaji pegawai negeri, lengkap sudah kepastian bahwa guru-terutama yang pegawai negeri--harus tetap mengencangkan ikat pinggang. Toh, sekitar 30 ribu guru SD di Jawa Timur bisa merasa lega. Mereka mendapat kenaikan pangkat Februari lalu, berarti pula kenaikan gaji, sepuluh atau duapuluh ribu. Mungkin itu tak begitu berarti, sementara harga BBM tahun ini naik 60%. Rektor IKIP Sanata Dharma di Yogyakarta, Prof. Dr.A.M. Kadarman, ketika mewisuda 145 sarjana suatu Sabtu bulan lalu, pun berpesan. Jabatan guru "tidak membuka jalan ke arah kekayaan dan kehormatan. Gaji guru terlalu sedikit untuk bisa hidup secara layak, sehingga mereka perlu mencari penghasilan tambahan." Namun rektor itu optimistis. Berdasar catatan di IKIP Sanata Dharma dari delapan ribu lulusannya sekitar 75% tetap bertahan menjadi guru. Mereka yang bertahan itu jelas mereka yang tidak gampang menyerah. Ada usaha pribadi, ada pula usaha bersama lewat sekolah. Seperti guru di sebuah SMA swasta di Jalan Kramat, Jakarta. Guru ini boleh dikata pulang ke rumah hanya untuk tidur. Pagi dia mengajar di SMA tersebut. Siang hari dia mengajar di sebuah SMP swasta. Dan malam hari mengajar di SMA swasta yang lain. "Tapi dengan cara begitu pun saya masih harus hidup sederhana sekali," tuturnya. Pak guru bahasa Indonesia itu menghidupi istri dan tiga anak. Di SMAN V, Surabaya, usaha guru mencari tambahan mengajar ini bahkan dianjurkan dan dibantu kepala sekolahnya. Hampir semua 60 guru SMA ini merangkap mengajar di sekolah swasta. "Tapi saya membantu dan mengizinkan dengan syarat," kata Aris Munandar, Kepala Sekolah itu. "Di sana harus bekerja baik, di sini harus baik pula." Purwowidodo, guru Bimbingan dan Penyuluhan SMAN V itu, merasa bersyukur bahwa ia dibolehkan mengajar di dua SMA swasta. "Tanpa kesempatan mengajar di luar, mungkin saya tak punya apa-apa," tuturnya. Ia kini bepergian dengan sepeda motor. Rumah pun telah dimilikinya. Sementara itu kehadiran BP3 (Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan membantu guru. BP3 didirikan tahun 1974, bertujuan membantu sekolah melengkapi sarana pendidikan, seperti peralatan laboratorium, olahraga, dan gedung. Tapi kemudian sudah lazim pula BP3 mengumpulkan dana dari orang tua murid guna menambah penghasilan guru. Cara ini berlaku hampir di semua sekolah negeri. Tapi soal dana itu memang tergantung pada kerjasama pihak sekolah, BP3, dan orang tua murid. Di SMAN VI, Yogyakarta, jelas BP3 macet. Konon tak ada kesepakatan tentang "sumbangan buat kesejahteraan guru." Yang sukses adalah di SMAN IV, masih di Yogyakarta. Tiap bulan BP3 sekolah ini bisa mengumpulkan sekitar Rp 800 ribu. Tiap siswanya diharuskan membayar Rp 1.000. Dari situ guru bisa memperoleh tambahan penghasilan. Menurut Edi Sugita, Kepala Sekolah, tambahan itu sangat berarti. "Penyusunan program mengajar menjadi rapi dan ketat," katanya. Rapi dan Ketat Dul Halim, guru bahasa Inggris di MPN IX, Jakarta, merasa sangat tertolong oleh bantuan BP3. Sebelum ada bantuan itu ia terpaksa mengajar di berbagai sekolah dan menjadi tukang foto amatir. Kini ia hanya mengajar di SMPN IX, bahkan "saya mempunyai kesempatan membeli buku dan bahan bacaan guna menambah pengetahuan." Tanggapan orang tua murid umumnya tentang "pungutan" BP3 itu bermacam-macam. Tapi, bila pihak BP3 dan sekolah memberikan laporan yang jelas ke mana perginya uang, biasanya orang tua murid dengan ikhlas membayar. Untuk itu, BP3 di Proyek Perintis Sekolah pembagunan (sekolah laboratorium) IKIP di Rawamangun, Jakarta, menerbitkan Surat berita, media stensilan yang diedarkan pada orang tua murid tiap bulan. Isinya bukan hanya melaporkan hal dana sumbangan dan penggunaannya, tapi juga segala kegiatan sekolah dan siswanya. Ada kaitan kesejahteraan guru dan prestasi murid. Seorang dosen IKIP Ujungpandang menulis disertasi tentang hubungan kesejahteraan guru dan prestasi murid. Umar Tirtaraharja, dosen yang kini berhak menyandang gelar doktor itu, mengadakan penelitian di tahun 1978/79 di sejumlah SD di Kotamadya Ujungpandang. Kesimpulannya, rendahnya prestasi belajar siswa SD berkaitan erat dengan prestasi gurunya. Dan prestasi guru ternyata tergantung dari tinggi rendahnya kesejahteraan si guru (TEMPO 9 Januari). Yang terpuji adalah usaha para guru sendiri dalam mencukupi kebutuhan. Di SMAN V Surabaya, misalnya, para guru mengadakan arisan sepeda motor. Dalarn waktu beberapa tahun, alhamdulillah, hampir semua guru di situ bersepea motor, tak kalah dengan murid mereka. Dari arisan itulah muncul pula ide membentuk koperasi simpan-pinjam. Enampuluh guru di SMA itu diwajibkan menyetor Rp 2 ribu per bulan. Adapun jumlah maksimum yang boleh dipinjam Rp 250 ribu. Jangka pengembalian 10 bulan, dengan bunga 10%. Kini koperasi itu memiliki modal Rp 7 juta. "Tapi tak ada uang di tempat," kata Suwanto, pengurusnya. "Selalu dipinjam para guru." Gerdaji, Palu ban Paku Di SDN Pajajaran, Bandung, koperasi guru dan karyawan sekolah itu bukan hanya meminjamkan uang, tapi juga menyediakan kebutuhan sehari-hari, seperti gula, mentega, telur, sabun dan pasta gigi. Harga jual koperasi itu paling tinggi sama dengan di luar. Dibentuk 10 tahun lalu, koperasi ini lancar berjalan. Bahkan tiap tahun ada pembagian keuntungannya. Di luar itu semua, usaha prbadi para guru menarik juga. Mereka membuka les privat. Abu Elalifah, guru kelas VI SD Mangkura, Ujungpandang, misalnya, men ediakan 1 « jam waktunya setiap hari untuk itu. "Dan terus terang, les privat itu membantu membiayai rumah tangga saya," tutur ayah seorang anak ini. Dua guru di SMPN I Sibolga memilih cara bertukang sepulang dari mengajar. Mereka membuat perabot rumah tangga. "Kerja begini lebih mantap," katanya kepada TEMPO. Y.M. Pohan, 44 tahun, salah seorang guru SMPN Sibolga itu, masih belum merasa cukup dengan gaji Rp 100 ribu plus honorarium mengajar di SMP dan SMA swasta. Beban yang harus ditanggungnya, istri dan tujuh anak. Justru Pohan bangga bila anak didiknya mengetahui ia bertukang. Tego, guru IPS SMPN Vl, Yogyakarta, tak bisa mencari kerja sampingan. Untunglah mertuanya punya sawah terletak 20 km dari Yogya. Pak guru itu menggarapnya dengan bersemangat. Setahun sawahnya bisa panen dua kali, bahkan kadang-kadang tiga kali. Hasilnya, dibagi dua dengan mertuanya. Sawah itu membuatnya sehat dan mampu membeli buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus