ANAK didiknya bisa menjadi dokter atau saudagar. Tapi gaji
guru, bukan rahasia lagi, memang pas-pasan, atau malah kurang.
Bersama kebijaksanaan pemerintah tahun ini, yang tidak akan
menaikkan gaji pegawai negeri, lengkap sudah kepastian bahwa
guru-terutama yang pegawai negeri--harus tetap mengencangkan
ikat pinggang.
Toh, sekitar 30 ribu guru SD di Jawa Timur bisa merasa lega.
Mereka mendapat kenaikan pangkat Februari lalu, berarti pula
kenaikan gaji, sepuluh atau duapuluh ribu. Mungkin itu tak
begitu berarti, sementara harga BBM tahun ini naik 60%.
Rektor IKIP Sanata Dharma di Yogyakarta, Prof. Dr.A.M. Kadarman,
ketika mewisuda 145 sarjana suatu Sabtu bulan lalu, pun
berpesan. Jabatan guru "tidak membuka jalan ke arah kekayaan dan
kehormatan. Gaji guru terlalu sedikit untuk bisa hidup secara
layak, sehingga mereka perlu mencari penghasilan tambahan."
Namun rektor itu optimistis. Berdasar catatan di IKIP Sanata
Dharma dari delapan ribu lulusannya sekitar 75% tetap bertahan
menjadi guru.
Mereka yang bertahan itu jelas mereka yang tidak gampang
menyerah. Ada usaha pribadi, ada pula usaha bersama lewat
sekolah. Seperti guru di sebuah SMA swasta di Jalan Kramat,
Jakarta. Guru ini boleh dikata pulang ke rumah hanya untuk
tidur. Pagi dia mengajar di SMA tersebut. Siang hari dia
mengajar di sebuah SMP swasta. Dan malam hari mengajar di SMA
swasta yang lain. "Tapi dengan cara begitu pun saya masih harus
hidup sederhana sekali," tuturnya. Pak guru bahasa Indonesia itu
menghidupi istri dan tiga anak.
Di SMAN V, Surabaya, usaha guru mencari tambahan mengajar ini
bahkan dianjurkan dan dibantu kepala sekolahnya. Hampir semua 60
guru SMA ini merangkap mengajar di sekolah swasta. "Tapi saya
membantu dan mengizinkan dengan syarat," kata Aris Munandar,
Kepala Sekolah itu. "Di sana harus bekerja baik, di sini harus
baik pula."
Purwowidodo, guru Bimbingan dan Penyuluhan SMAN V itu, merasa
bersyukur bahwa ia dibolehkan mengajar di dua SMA swasta. "Tanpa
kesempatan mengajar di luar, mungkin saya tak punya apa-apa,"
tuturnya. Ia kini bepergian dengan sepeda motor. Rumah pun telah
dimilikinya.
Sementara itu kehadiran BP3 (Badan Pembantu Pelaksana
Pendidikan membantu guru. BP3 didirikan tahun 1974, bertujuan
membantu sekolah melengkapi sarana pendidikan, seperti peralatan
laboratorium, olahraga, dan gedung. Tapi kemudian sudah lazim
pula BP3 mengumpulkan dana dari orang tua murid guna menambah
penghasilan guru. Cara ini berlaku hampir di semua sekolah
negeri.
Tapi soal dana itu memang tergantung pada kerjasama pihak
sekolah, BP3, dan orang tua murid. Di SMAN VI, Yogyakarta, jelas
BP3 macet. Konon tak ada kesepakatan tentang "sumbangan buat
kesejahteraan guru."
Yang sukses adalah di SMAN IV, masih di Yogyakarta. Tiap bulan
BP3 sekolah ini bisa mengumpulkan sekitar Rp 800 ribu. Tiap
siswanya diharuskan membayar Rp 1.000. Dari situ guru bisa
memperoleh tambahan penghasilan. Menurut Edi Sugita, Kepala
Sekolah, tambahan itu sangat berarti. "Penyusunan program
mengajar menjadi rapi dan ketat," katanya.
Rapi dan Ketat
Dul Halim, guru bahasa Inggris di MPN IX, Jakarta, merasa
sangat tertolong oleh bantuan BP3. Sebelum ada bantuan itu ia
terpaksa mengajar di berbagai sekolah dan menjadi tukang foto
amatir. Kini ia hanya mengajar di SMPN IX, bahkan "saya
mempunyai kesempatan membeli buku dan bahan bacaan guna menambah
pengetahuan."
Tanggapan orang tua murid umumnya tentang "pungutan" BP3 itu
bermacam-macam. Tapi, bila pihak BP3 dan sekolah memberikan
laporan yang jelas ke mana perginya uang, biasanya orang tua
murid dengan ikhlas membayar. Untuk itu, BP3 di Proyek Perintis
Sekolah pembagunan (sekolah laboratorium) IKIP di Rawamangun,
Jakarta, menerbitkan Surat berita, media stensilan yang
diedarkan pada orang tua murid tiap bulan. Isinya bukan hanya
melaporkan hal dana sumbangan dan penggunaannya, tapi juga
segala kegiatan sekolah dan siswanya.
Ada kaitan kesejahteraan guru dan prestasi murid. Seorang dosen
IKIP Ujungpandang menulis disertasi tentang hubungan
kesejahteraan guru dan prestasi murid. Umar Tirtaraharja, dosen
yang kini berhak menyandang gelar doktor itu, mengadakan
penelitian di tahun 1978/79 di sejumlah SD di Kotamadya
Ujungpandang. Kesimpulannya, rendahnya prestasi belajar siswa SD
berkaitan erat dengan prestasi gurunya. Dan prestasi guru
ternyata tergantung dari tinggi rendahnya kesejahteraan si guru
(TEMPO 9 Januari).
Yang terpuji adalah usaha para guru sendiri dalam mencukupi
kebutuhan. Di SMAN V Surabaya, misalnya, para guru mengadakan
arisan sepeda motor. Dalarn waktu beberapa tahun, alhamdulillah,
hampir semua guru di situ bersepea motor, tak kalah dengan
murid mereka.
Dari arisan itulah muncul pula ide membentuk koperasi
simpan-pinjam. Enampuluh guru di SMA itu diwajibkan menyetor Rp
2 ribu per bulan. Adapun jumlah maksimum yang boleh dipinjam Rp
250 ribu. Jangka pengembalian 10 bulan, dengan bunga 10%.
Kini koperasi itu memiliki modal Rp 7 juta. "Tapi tak ada uang
di tempat," kata Suwanto, pengurusnya. "Selalu dipinjam para
guru."
Gerdaji, Palu ban Paku
Di SDN Pajajaran, Bandung, koperasi guru dan karyawan sekolah
itu bukan hanya meminjamkan uang, tapi juga menyediakan
kebutuhan sehari-hari, seperti gula, mentega, telur, sabun dan
pasta gigi. Harga jual koperasi itu paling tinggi sama dengan di
luar. Dibentuk 10 tahun lalu, koperasi ini lancar berjalan.
Bahkan tiap tahun ada pembagian keuntungannya.
Di luar itu semua, usaha prbadi para guru menarik juga. Mereka
membuka les privat. Abu Elalifah, guru kelas VI SD Mangkura,
Ujungpandang, misalnya, men ediakan 1 « jam waktunya setiap
hari untuk itu. "Dan terus terang, les privat itu membantu
membiayai rumah tangga saya," tutur ayah seorang anak ini.
Dua guru di SMPN I Sibolga memilih cara bertukang sepulang dari
mengajar. Mereka membuat perabot rumah tangga. "Kerja begini
lebih mantap," katanya kepada TEMPO.
Y.M. Pohan, 44 tahun, salah seorang guru SMPN Sibolga itu, masih
belum merasa cukup dengan gaji Rp 100 ribu plus honorarium
mengajar di SMP dan SMA swasta. Beban yang harus ditanggungnya,
istri dan tujuh anak. Justru Pohan bangga bila anak didiknya
mengetahui ia bertukang.
Tego, guru IPS SMPN Vl, Yogyakarta, tak bisa mencari kerja
sampingan. Untunglah mertuanya punya sawah terletak 20 km dari
Yogya. Pak guru itu menggarapnya dengan bersemangat. Setahun
sawahnya bisa panen dua kali, bahkan kadang-kadang tiga kali.
Hasilnya, dibagi dua dengan mertuanya. Sawah itu membuatnya
sehat dan mampu membeli buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini