Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini 56 tahun lalu pada 26 Maret 1968, Soeharto secara resmi menjabat sebagai presiden kedua Republik Indonesia setelah Sukarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naiknya Soeharto sebagai presiden menggantikan Sukarno berawal dari peristiwa G30S. Setelah peristiwa tersebut, Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan Supersemar diberikan oleh Presiden Sukarno kepada Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban atau Pangkopkamtib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supersemar memberikan instruksi untuk mengatasi situasi dan kondisi Indonesia yang tidak stabil dengan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu.
Tercetusnya Supersemar juga tidak terlepas dari meletusnya peristiwa G30S. Setelah terjadinya peristiwa tersebut, keadaan Ibukota Jakarta pada 2 Oktober 1965 dikuasai oleh Pasukan (Resimen Para Komando Angkatan Darat) RPKAD.
Saat itu, Soeharto menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut, Presiden memutuskan untuk secara langsung mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat, yang sejak 1 Oktober 1965 sementara dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Situasi ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Pada 13 Desember 1965, Pemerintah melakukan devaluasi uang rupiah, menyebabkan nilai rupiah turun drastis dan harga 9 kebutuhan pokok melonjak di pasar.
Dalam suasana ketidakpuasan dan ketidak sabaran ini, muncul Tri Tuntutan Rakyat atau TRITURA yang berisi tiga tuntutan utama:
- Pembubaran PKI
- Perombakan Kabinet
- Penurunan harga/perbaikan ekonomi
Melihat kondisi negara yang sulit dan menghadapi protes dari masyarakat serta situasi yang rumit, Presiden Sukarno yang semakin lemah kesehatannya, mengambil langkah untuk mengatasi hal tersebut.
Pada sore hari 11 Maret 1966, tiga jenderal Angkatan Darat, yaitu Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi), bertemu dengan Presiden Sukarno di Istana Bogor.
Malam itu, Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi mengeluarkan suatu "Surat Perintah" kepada Letnan Jenderal Soeharto. Surat perintah ini kemudian dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Berdasarkan Supersemar tersebut, maka Letnan Jendral Soeharto yang menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menerima tugas atas nama Presiden dan mengambil tindakan mengamankan ketertiban dan keamanan.
Supersemar memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua pihak, bahkan Sukarno sendiri tidak bisa membatalkan instruksi dari surat tersebut. Hal ini menyebabkan lahirnya TAP MPRS Nomor IX/1996 pada 21 Juni 1996, yang juga diiringi dengan pencabutan gelar presiden seumur hidup pada Sukarno.
Setelah MPRS memberikan mandat kepada Soeharto, terjadi dualisme di puncak kekuasaan antara Sukarno dan Soeharto. Namun, Soeharto semakin memperoleh dukungan setelah memanfaatkan momentum G30S dan kondisi ekonomi Indonesia yang memburuk, membuat posisi politik Sukarno semakin terdesak.
Pada 7 Februari 1967, Sukarno mengirim surat kepada Soeharto yang memerintahkan Soeharto untuk melaporkan pelaksanaan pemindahan kekuasaan jika diperlukan. DPR-GR kemudian mengadakan pertemuan dengan MPRS untuk membahas pemberhentian Sukarno pada 9 Februari 1967.
Akhirnya, pada 22 Februari 1967, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto berdasarkan Supersemar. MPRS kemudian mencabut kekuasaan presiden dari Sukarno dan menetapkan Soeharto sebagai penggantinya melalui TAP MPRS Nomor. XXXIII Tahun 1967. Pada sidang MPRS tanggal 7 Maret 1967, Soeharto resmi menjadi pejabat presiden sampai terpilihnya presiden melalui pemilihan umum.
Kemudian, pada 26 Maret 1968, Soeharto resmi menjadi Presiden RI secara penuh setelah dilantik pada sidang V MPRS yang dipimpin oleh Jenderal AH Nasution.
Puteri keempat mendiang Sukarno, Sukmawati Sukarnoputri dalam bukunya "Creeping Coup D'etat" menyebutkan bahwa apa yang dilakukan Soeharto terhadap Sukarno merupakan kudeta merangkak.
Dalam teori Cornell oleh Ben Anderson, setidaknya ada empat tahap kudeta merangkak. Pertama yang menjadi target presiden, kedua panglima, ketika orang yang dalam pemerintah dan partai pendukung.
Namun, menurut Sukmawati kudeta yang dilakukan kepada Sukarno berbeda karena para jenderalnya dulu yang dibantai, kedua menteri-menteri (16 menteri) dalam kabinet Trikora ditangkap dan dipenjara tanpa proases pengadilan, lalu pembantaian partai pendukung dalam hal ini PKI. "Baru presidennya disingkirkan tidak boleh memerintah kembali," kata Sukmawati.
ANANDA BINTANG I GERIN RIO PRANATA I RINDI ARISKA