Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Hari ini 52 tahun lalu atau tepatnya 1969, aktivis Soe Hok Gie pergi untuk selamanya di ketinggian Semeru.
Bagi mahasiswa tak asing dengan nama Soe Hok Gie yang menjadi ikon idealisme angkatan 66 dan awal Orde Baru. Seorang aktivis yang gemar mengkritik pemerintah melalui tulisan-tulisannya yang tajam. Berikut profil singkatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soe Hok Gie merupakan sosok yang dikenal karena pemikiran kritisnya saat rezim orde lama dan orde baru. Gie lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta. Gie merupakan putra dari pasangan Soe Lie Pit dan Nio Hoe An.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak keempat dari lima bersaudara ini sudah dekat dengan sastra sejak kecil. Melihat ayahnya adalah seorang novelis. Serta, hobi kecilnya mengunjungi perpustakaan umum bersama Soe Hok Djin, kakak Gie.
Setelah lulus dari SMA Kolese Kanisius jurusan sastra, ia meneruskan kuliah di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan sejarah, fakultas sastra. Selama berkuliah, ia sering memberikan tulisan-tulisan kritis terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.
Tak luput dari kritiknya, Partai Komunis Indonesia (PKI) juga turut menjadi objek bahasan karena sebagai partai yang berkembang di Indonesia saat itu.
Peserta aksi 121 membawa poster berisi kutipan Soe Hok Gie saat melakukan demo untuk menuntut pemerintah mencabut keputusan menaikkan harga berbagai bahan pohok di depan Istana Merdeka, Jakarta, 12 Januari 2016. TEMPO/Subekti
Selain masa orde lama, Gie merupakan orang pertama yang memberikan kritikan pedas rezim Orde Baru. Seperti pada karya-karyanya mengenai pembantaian massal anggota PKI setelah G30S.
Mengutip buku “Catatan Seorang Demonstran” yang diterbitkan oleh LP3ES, Gie kerap kali melayangkan kritikan pada penguasa negara karena ingin menolong rakyat yang tertindas.
Gie terus menulis kritik tersebut walaupun mendapat banyak caci makian dari berbagai pihak. Bahkan Gie sering mendapat cemooh dengan membawa keturunannya.
Gie sering menulis dan dimuat pada media massa seperti Kompas, Indonesia Raya, Mahasiswa Indonesia, Harian Kami, dan Cahaya Keinginan.
Gie juga telah merilis beberapa buku, seperti pada 1983 dengan tajuk “Catatan Seorang Pengunjuk Rasa”, pada 1995 dengan buku bertajuk “Jaman Perubahan”, pada 1997 dengan buku bertajuk “Beberapa Orang di Persilangan Kiri Jalan”, dan pada 1999 dengan buku bertajuk “Di Bawah Lentera Merah”.
Gie meninggal pada 16 Desember 1969 ketika mendaki Gunung Semeru. Ia meninggal karena menghirup asap beracun dari kawah gunung. Gie meninggal bersama Idhan Dhanvantari Lubis, teman mendakinya. Ia dimakamkan pada 24 Desember 1969 di Menteng Pulo. Kemudian, dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang.
Namun, Pekuburan Kober dibongkar oleh Ali Saikin pada 1975 sehingga harus dipindahkan. Akan tetapi, keluarga dan kerabatnya menolak, serta memilih untuk dikremasi. Akhirnya jasad Soe Hok Gie dibakar serta abunya disebar di Gunung Pangrango. Semeru menjadi lokasi embusan nafas terakhir, dan Pangrango adalah ujung perabukannya.
JACINDA NUURUN ADDUNYAA
Baca juga : Top 3 Tekno Berita Kemarin: Sebab Covid-19 Menurun, Ancaman Lain di Semeru
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.