REAKSI keras muncul di sidang parlemen Papua Nugini hari Senin pekan ini, ketika Sabtu malam pekan lalu wawancara tokoh OPM, James Nyaro, jadi juga disiarkan televisi Australia. Padahal, sebelumnya, Menlu Rabbie Namaliu sudah mengecam rencana penyiaran wawancara itu oleh ABC (Australian Broadcasting Corporation). Karena itu, pemerintah PNG, kata Namaliu, selesai sidang parlemen itu, memutuskan untuk tidak memberikan perpanjangan izin bagi kepala perwakilan ABC di Port Moresby, yang akan berakhir September. James Nyaro sendiri di siaran televisi itu cuma tampil selama dua menit dalam acara Four Corners (Empat Penjuru). Digambarkan di sana dua orang, seorang di antaranya berewokan lebat, muncul dari hutan. Mereka disongsong oleh pewawancara. Pertanyaan pertama - dari tujuh pertanyaan yang dilontarkan - berbunyi: Jenderal, bagaimana Anda berharap bisa mengalahkan tentara Indonesia.? Mereka bisa menyerang dengan pesawat terbang bagaimana Anda berharap bisa menang melawan mereka? Kamera lalu disorotkan kepada orang berewokan yang dipanggil jenderal itu. Suaranya terdengar pelan, "Saya tidak takut mereka. Saya ini pejuang seumur hidup. Setelah saya memperoleh kemerdekaan, saya baru berhenti." Tentu saja, bukan hanya jawaban Nyaro yang menyebut diri presiden OPM itu saja yang membuat gelombang protes dan guncangan di PNG. Soal lain alalah karena wawancara dengan tokoh OPM itu sekilas tampak dilakukan di wilayah PNG, yang selama ini menolak wilayahnya dipakai untuk kegiatan OPM. "Wartawan asing tidak bisa begitu saja datang ke PNG dan melanggar hukum di sini," kata PM Michael Somare, "mereka telah mengatur Nyaro, warga negara Indonesia, untuk menyeberang perbatasan secara tidak sah guna diwawancarai." Si pewawancara, konon, bersikeras tidak mau menunjukkan tempat wawancara itu dilakukan. "Saya tidak akan mengungkapkan di seberang perbatasan mana wawancara itu dilaksanakan. Saya mesti menjaga sumber," kata Allan Hogan. "Garis perbatasan tidak jelas, dan tidak ada tanda-tanda." Wawancara dengan Nyaro, yang sempat mengguncangkan pemerintah PNG itu, merupakan satu bagian kecil dari acara "Empat Penjuru", berlangsung selama 30 menit dan benslkan laporan masalah perbatasan RI - PNG. Laporan itu menjelaskan asal mula masalah perbatasan kedua negara, pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya, 1969, yang secara sepihak condong ke versi OPM. PM Somare sendiri dltampilkan dalam acara televisi itu. Wartawan TEMPO, Susanto Pudjomartono, kebetulan berada di Vanimo, kota PNG yang paling dekat dengan perbatasan RI ketika acara itu disiarkan oleh Televisi ABC. Sekitar 150 orang berdesakan di beranda Hotel Narimo, termasuk di antaranya ubernur Provinsi Sepik Barat, yang membawahkan wilayah dekat perbatasan RI. Adakah kasus film ini akan memperburuk lagi hubungan Indonesia-PNG? Tampaknya inilah yang ditakutkan Somare. Bagi Somare, yang penting ialah melindungi tiga juta rakyatnya yang punya perbatasan langsung dengan RI. "Yang menghadapi langsung masalah itu adalah PNG dan Indonesia, bukan PBB, bukan negara Afrika, dan bukan siapa saja," katanya dengan nada khawatir. Agaknya, penyiaran wawancara dengan James Nyaro - termasuk juga tokoh oposisi PNG, Iambakay Okuk - tidak akan mengundang kontroversi bila ABC menyetujui syarat PNG. Baik Somare maupun Namaliu telah mengancam akan menutup perwakilan ABC di Port Moresby dan mengusir kepala perwakilannya, Sean Dorney, bila wawancara itu disiarkan. Kabarnya, pemerintah Australia, Indonesia, dan PNG juga meminta agar siaran itu dibatalkan. Semula, ABC memang berniat tidak menyiarkan film itu dalam acara tadi. Asisten direktur pelaksana ABC Stewart Retille sempat memutuskan membekukan siaran wawancara dengan Nyaro di Amanab, 40 km sebelah selatan Vanimo. Keputusan itu ternyata menimbulkan gelombang protes pers Australia. Pekan lalu, dewan pimpinan ABC mencairkan pembekuan penyiaran setelah sidang hari Jumat di Melbourne. Kenneth Myer, yang mempertahankan agar laporan itu tidak diudarakan, kalah suara melawan sembilan pimpinan ABC lainnya. Salah satu alasan: ancaman Somare hanya sekadar "gertak sambal". Somare memang harus nnembuktikan bahwa keputusan pemerintahnya bukan sekadar menakut-nakuti. Kepada TEMPO, Dorney menyesalkan putusan itu. Ia merasa kena getahnya. Sebab, yang melakukan liputan di perbatasan itu bukan dia, melainkan sebuah crew khusus yang dikirim langsung dari kantor pusatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini