Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Heboh Seks Remaja

Seminar seksologi di Denpasar menghebohkan, terutama terhadap angket dr. Wimpie Pangkakila. Angket Tempo menguatkan angket-angket yang sudah ada. Pendidikan seks di sekolah-sekolah Katolik.

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA-KATANYA akan meradang. "Saya sekarang seperti tak percaya kepada anak saya," keluh ibu itu, yang putrinya telah duduk di kelas II SLTA Denpasar, Bali. Kini bila teman pria anaknya datang, ibu itu selalu mencoba mengawasi mereka. Larangan pergi hanya berdua pun segera dijatuhkan -- padahal dulu tak pernah ada kata "jangan" untuk itu. Ibu itu resah, seperti banyak ibu yang lain. Soalnya: seorang dosen Universitas Udayana, perguruan tinggi terkemuka di sana, mengadakan angket di tiga SLTA di Denpasar dan satu di Singaraja. Dosen Fakultas Kedokteran itu, dr. Wimpie Pangkahila, 34 tahun, menanyai hampir 700 remaja tentang perilaku seks di kalangan mereka. Hasilnya terbetik dalam sebuah seminar tentang seksologi yang dilakukan para ahli bulan lalu di Denpasar -- dan terjadilah heboh. Soalnya, dari 663 responden, ternyata 155 remaja (102 pria, 53 wanita) mengaku pernah melakukan hubungan seks -- menurut pengakuan mereka sendiri dalam angket itu. Dan para ibu pun kaget, marah, curiga, malu. Salahkah dr. Wimpie Pangkahila? Angket dr. Wimpie tersebut dibuat, karena dorongan pengalamannya selama prakteknya sebagai dokter umum. "Banyak remaja yang datang pada saya dan mengaku pernah mengadakan hubungan seks," katanya kepada TEMPO barubaru ini. Nah, untuk memastikan benar tidaknya, angket itupun dilakukannya. Meskipun dokter itu mengakui bahwa angketnya terbatas -- tidak berlaku umum -- tak urung ia sendiri pun terkejut akan hasilnya. Agaknya selama ini para remaja itu mendapatkan informasi seks lewat buku, majalah dan film (ada 200 lebih yang menjawab ini). "Jadi cuma tahu setenah-setengah, jadinya malah terangsang dan kepingin coba-coba." Padahal akibatnya sungguh besar terhadap kehidupan ribadi dan masyarakat. Seperti dikatakan Dr Sarlito Wirawan, seorang sarjana psikologi terkemuka yang banyak mengetahui perkara seks dan remaja, sejwmlah masalah timbul akibat "coba-coa" itu. Orok yang lahir tanpa Bapak, menyebabkan sekolah si ibu muda terganggu, misalnya. Masih untung bila dia tak terkena tekanan batin berat. Cibiran tetangga, teman-teman sekolah atau guru -- bisa saja membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap lelaki, malahan terhadap diri sendiri. Akibat yang parah terhadap hubungan seks sebelum perkawinan ini memang, apa boleh buat, lebih diderita kaum Hawa. Memang, tak berarti hasil angket dr. Wimpie mewakili sikap dan pandangan para remaja Bali pada umumnya, lebih-lebih remaja Indonesia. Tapi paling tidak, satu kecenderungan dalam satu kelompok remaja telah dapat diketahui. Dan bila dibandingkan dengan hasil penelitian Dr. Saparinah Sadli di Jakarta (akhir 1972) dan hasil angket majalah Gadis yang juga diikuti beberapa responden luar Jakarta (akhir 1978) kecenderungan itu agaknya memang boleh jadi merata. Angket yang disebarkan TEMPO pekan lalu pun (pertanyaannya disusun oleh Sarlito Wirawan), menunjukkan kecenderungan sama. Dari 300 formulir angket yang disebar, hasil yang masuk sejumlah 282 responden -- 45 Sum-Ut, 98 Jakarta, 49 Ja-Bar, 45 Ja-Teng dan Yogyakarta dan 45 Ja-Tim. Memang jumlah mereka yang tak membenarkan sama sekali hubungan seks sebelum perkawinan -- apapun alasannya, cukup tinggi: 139 (49,29%) responden. Tapi 145 responden menjawab setuju, dengan syarat. Syarat itu antara lain: asal tak mengganggu masyarakat, asal suka sama suka, sudah bertunangan, saling mencintai, agar orang tua terpaksa setuju mereka menikah (catatan: beberapa responden memilih lebih dari satu plihan). Yang menarik adalah tuntutan terhadap keperawanan calon istri. Angket TEMPO menunjukkan 190 (67,35%) responden menuntut, 32 tidak, dan sisanya "tidak tahu" atau tidak menjawab. Tapi dengan mengingat bahwa sekitar setengah jumlah responden itu sebenarnya Setuju hubungan seks sebelum menikah (meski dengan syarat), agaknya tuntutan keperawanan bisa diragukan kemutlakannya. Misalnya, 48 responden setuju hubungan sebelum menikah itu kalau suka sama suka. Dan 42 responden setuju kalau saling mencintai. Logikanya, 90 responden ini tak menuntut calon istri harus perawan. Ada beberapa persamaan hasil angket TEMPO dan angket dr. Wimpie. Misalnya, hampir semua responden pernah melihat atau membaca film, majalah atau gambar cabul. Dari 282 responden TEMPO, 243 (86,17%) mengaku pernah Angket Wimpie, 617 (90% lebih) menyatakan pernah melihat gambar cabul. Dari angket TEMPO, ternyata 123 (43,62%) responden yang pernah melihat atau membaca yang cabul-cabul itu, menyatakan senang. Yang menyatakan merasa berdosa, malu, jijik atau takut pun lumayan: 103 (36,53%). Dengan begitu kecenderungan sikap permisif memang terbuka-meskipun belum sangat terbuka. Toh ada angka lain yang bisa merupakan indikasi. Yang pernah mengetahui teman, saudara atau tetangga hamil sebelum menikah ada 205 (72,7%). Dan yang pernah tahu teman, saudara atau tetangga menggugurkan kandungan karena hamil sebelum menikah ada 143 (50.7%) Tentu saja ada juga yang belum pernah mengetahui teman, saudara atau tetangganya hamil sebelum menikah (27,3%). Dan angka tertinggi diperoleh di Sum-Ut (40% dari 45 responden). Angka terendah tercatat di Ja-Tim, sekitar 13% dari 45 responden. Dari sumber lain, indikasi sikap permisif itu pun terlihat. Yaitu penelitian Proyek Remaja Sehat (PRS) yang bernaung di bawah Fak. Kedokteran UI, yang berdiri sekitar setahun yang lalu. Salah seorang dokter yang aktif di PRS ialah dr. Biran Affandi. Setahun belakangan ini, kata dr. Biran, tiap minggu rata-rata ada 15 remaja putri yang datang karena hamil sebelum menikah. Biasanya, tentu saja, mereka lantas dinasihati, agar menempuh jalan wajar, misalnya menikah. Dan memang ada hasilnya. Yang kemudian terpaksa menggugurkan kandungan (inipun dengan syarat harus ada izin tertulis dari yang bersangkutan, dan usia kandungan tak boleh lebih dari 10 minggu), hanya 20% saja. Artinya hanya 3 dari 15 orang tadi. Dari Wisma Pancawarga, yang merupakan proyek PKBI (Persatuan Keluarga Berencana Indonesia), pun bisa diperoleh angka-angka -- meskipun proyek yang khusus menangani masalah remajadan seks ini agaknya kurang laris. Setiap bulan Wisma Pancaraga menerima 4 - 5 remaja putri yang berkonsultasi karena hamil di luar nikah. Dan dari jumlah itu menurut Dra. Ninuk Widyantoro, psikolog yang bekerja di wisma tersebut, jarang yang kemudian berniat menggugurkan kandungannya. Tapi yang diungkapkan dr. Biran, berdasar pengalamannya dengan para remaja putri yang hamil itu ternyata cukup menarik. Sebab kebanyakan yang mengalami "kecelakaan" belum pernah menerima pendidikan seks. "Ada seorang mahasiswi yang terlambat haid lima bulan, dan tak tahu bahwa itu pertanda kehamilan," tutur Biran. Agaknya kebutuhan pendidikan seks memang dirasakan para remaja. Angket dr. Wimpie Pangkahila menyatakan, 616 dari 663 responden membutuhkan pendidikan seks. Masalahnya, seperti yang dikatakan Sarlito Wirawan, pendidikan seks harus diberikan dengan cara yang baik dan benar. "Apabila setengah-setengah, lebih baik tidak usah," kata Sarlito. Alasannya, justru mengundang keingintahuan lebih besar untuk "praktek" dan ini berbahaya. Tapi yang "baik dan benar" itu, agaknya juga bisa berbeda-beda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus