KATA-KATANYA akan meradang. "Saya sekarang seperti tak percaya
kepada anak saya," keluh ibu itu, yang putrinya telah duduk di
kelas II SLTA Denpasar, Bali.
Kini bila teman pria anaknya datang, ibu itu selalu mencoba
mengawasi mereka. Larangan pergi hanya berdua pun segera
dijatuhkan -- padahal dulu tak pernah ada kata "jangan" untuk
itu.
Ibu itu resah, seperti banyak ibu yang lain. Soalnya: seorang
dosen Universitas Udayana, perguruan tinggi terkemuka di sana,
mengadakan angket di tiga SLTA di Denpasar dan satu di
Singaraja. Dosen Fakultas Kedokteran itu, dr. Wimpie Pangkahila,
34 tahun, menanyai hampir 700 remaja tentang perilaku seks di
kalangan mereka. Hasilnya terbetik dalam sebuah seminar tentang
seksologi yang dilakukan para ahli bulan lalu di Denpasar -- dan
terjadilah heboh.
Soalnya, dari 663 responden, ternyata 155 remaja (102 pria, 53
wanita) mengaku pernah melakukan hubungan seks -- menurut
pengakuan mereka sendiri dalam angket itu. Dan para ibu pun
kaget, marah, curiga, malu. Salahkah dr. Wimpie Pangkahila?
Angket dr. Wimpie tersebut dibuat, karena dorongan pengalamannya
selama prakteknya sebagai dokter umum. "Banyak remaja yang
datang pada saya dan mengaku pernah mengadakan hubungan seks,"
katanya kepada TEMPO barubaru ini. Nah, untuk memastikan benar
tidaknya, angket itupun dilakukannya.
Meskipun dokter itu mengakui bahwa angketnya terbatas -- tidak
berlaku umum -- tak urung ia sendiri pun terkejut akan hasilnya.
Agaknya selama ini para remaja itu mendapatkan informasi seks
lewat buku, majalah dan film (ada 200 lebih yang menjawab ini).
"Jadi cuma tahu setenah-setengah, jadinya malah terangsang dan
kepingin coba-coba."
Padahal akibatnya sungguh besar terhadap kehidupan ribadi dan
masyarakat.
Seperti dikatakan Dr Sarlito Wirawan, seorang sarjana psikologi
terkemuka yang banyak mengetahui perkara seks dan remaja,
sejwmlah masalah timbul akibat "coba-coa" itu. Orok yang lahir
tanpa Bapak, menyebabkan sekolah si ibu muda terganggu,
misalnya. Masih untung bila dia tak terkena tekanan batin berat.
Cibiran tetangga, teman-teman sekolah atau guru -- bisa saja
membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap lelaki, malahan
terhadap diri sendiri. Akibat yang parah terhadap hubungan seks
sebelum perkawinan ini memang, apa boleh buat, lebih diderita
kaum Hawa.
Memang, tak berarti hasil angket dr. Wimpie mewakili sikap dan
pandangan para remaja Bali pada umumnya, lebih-lebih remaja
Indonesia. Tapi paling tidak, satu kecenderungan dalam satu
kelompok remaja telah dapat diketahui.
Dan bila dibandingkan dengan hasil penelitian Dr. Saparinah
Sadli di Jakarta (akhir 1972) dan hasil angket majalah Gadis
yang juga diikuti beberapa responden luar Jakarta (akhir 1978)
kecenderungan itu agaknya memang boleh jadi merata.
Angket yang disebarkan TEMPO pekan lalu pun (pertanyaannya
disusun oleh Sarlito Wirawan), menunjukkan kecenderungan sama.
Dari 300 formulir angket yang disebar, hasil yang masuk sejumlah
282 responden -- 45 Sum-Ut, 98 Jakarta, 49 Ja-Bar, 45 Ja-Teng
dan Yogyakarta dan 45 Ja-Tim.
Memang jumlah mereka yang tak membenarkan sama sekali hubungan
seks sebelum perkawinan -- apapun alasannya, cukup tinggi: 139
(49,29%) responden. Tapi 145 responden menjawab setuju, dengan
syarat. Syarat itu antara lain: asal tak mengganggu masyarakat,
asal suka sama suka, sudah bertunangan, saling mencintai, agar
orang tua terpaksa setuju mereka menikah (catatan: beberapa
responden memilih lebih dari satu plihan).
Yang menarik adalah tuntutan terhadap keperawanan calon istri.
Angket TEMPO menunjukkan 190 (67,35%) responden menuntut, 32
tidak, dan sisanya "tidak tahu" atau tidak menjawab. Tapi dengan
mengingat bahwa sekitar setengah jumlah responden itu sebenarnya
Setuju hubungan seks sebelum menikah (meski dengan syarat),
agaknya tuntutan keperawanan bisa diragukan kemutlakannya.
Misalnya, 48 responden setuju hubungan sebelum menikah itu kalau
suka sama suka. Dan 42 responden setuju kalau saling mencintai.
Logikanya, 90 responden ini tak menuntut calon istri harus
perawan.
Ada beberapa persamaan hasil angket TEMPO dan angket dr.
Wimpie. Misalnya, hampir semua responden pernah melihat atau
membaca film, majalah atau gambar cabul. Dari 282 responden
TEMPO, 243 (86,17%) mengaku pernah Angket Wimpie, 617 (90%
lebih) menyatakan pernah melihat gambar cabul.
Dari angket TEMPO, ternyata 123 (43,62%) responden yang pernah
melihat atau membaca yang cabul-cabul itu, menyatakan senang.
Yang menyatakan merasa berdosa, malu, jijik atau takut pun
lumayan: 103 (36,53%). Dengan begitu kecenderungan sikap
permisif memang terbuka-meskipun belum sangat terbuka.
Toh ada angka lain yang bisa merupakan indikasi. Yang pernah
mengetahui teman, saudara atau tetangga hamil sebelum menikah
ada 205 (72,7%). Dan yang pernah tahu teman, saudara atau
tetangga menggugurkan kandungan karena hamil sebelum menikah ada
143 (50.7%)
Tentu saja ada juga yang belum pernah mengetahui teman, saudara
atau tetangganya hamil sebelum menikah (27,3%). Dan angka
tertinggi diperoleh di Sum-Ut (40% dari 45 responden). Angka
terendah tercatat di Ja-Tim, sekitar 13% dari 45 responden.
Dari sumber lain, indikasi sikap permisif itu pun terlihat.
Yaitu penelitian Proyek Remaja Sehat (PRS) yang bernaung di
bawah Fak. Kedokteran UI, yang berdiri sekitar setahun yang
lalu. Salah seorang dokter yang aktif di PRS ialah dr. Biran
Affandi. Setahun belakangan ini, kata dr. Biran, tiap minggu
rata-rata ada 15 remaja putri yang datang karena hamil sebelum
menikah.
Biasanya, tentu saja, mereka lantas dinasihati, agar menempuh
jalan wajar, misalnya menikah. Dan memang ada hasilnya. Yang
kemudian terpaksa menggugurkan kandungan (inipun dengan syarat
harus ada izin tertulis dari yang bersangkutan, dan usia
kandungan tak boleh lebih dari 10 minggu), hanya 20% saja.
Artinya hanya 3 dari 15 orang tadi.
Dari Wisma Pancawarga, yang merupakan proyek PKBI (Persatuan
Keluarga Berencana Indonesia), pun bisa diperoleh angka-angka --
meskipun proyek yang khusus menangani masalah remajadan seks ini
agaknya kurang laris. Setiap bulan Wisma Pancaraga menerima 4 -
5 remaja putri yang berkonsultasi karena hamil di luar nikah.
Dan dari jumlah itu menurut Dra. Ninuk Widyantoro, psikolog yang
bekerja di wisma tersebut, jarang yang kemudian berniat
menggugurkan kandungannya.
Tapi yang diungkapkan dr. Biran, berdasar pengalamannya dengan
para remaja putri yang hamil itu ternyata cukup menarik. Sebab
kebanyakan yang mengalami "kecelakaan" belum pernah menerima
pendidikan seks. "Ada seorang mahasiswi yang terlambat haid
lima bulan, dan tak tahu bahwa itu pertanda kehamilan," tutur
Biran.
Agaknya kebutuhan pendidikan seks memang dirasakan para remaja.
Angket dr. Wimpie Pangkahila menyatakan, 616 dari 663 responden
membutuhkan pendidikan seks. Masalahnya, seperti yang dikatakan
Sarlito Wirawan, pendidikan seks harus diberikan dengan cara
yang baik dan benar. "Apabila setengah-setengah, lebih baik
tidak usah," kata Sarlito. Alasannya, justru mengundang
keingintahuan lebih besar untuk "praktek" dan ini berbahaya.
Tapi yang "baik dan benar" itu, agaknya juga bisa berbeda-beda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini