"HALO Pak Guru Porno," tegur beberapa murid STM Budhaya. Yang
ditegur, Aloysius Soeryanto, 37 tahun, berkumis dan cukup
tampan, cuma senyum-senyum saja.
Pak Soeryanto di sekolah itu memang dikenal sebagai Pak Guru
Pembina Pendidikan Seks. Ia sebenarnya seorang Sarjana Muda
Geografi dari UI, tapi "saya pernah mendapat pelajaran psikologi
dan etika," tutur ayah dari dua anak ini.
Di STM Budhaya ini, sekolah Katolik, memang ada keharusan bagi
siswanya untuk mengikuti pendidikan seks, yang biasanya
diberikan pada tiap pembukaan tahun ajaran. Untuk tahun ini
telah diberikan pada Januari yang lalu. Yang mengikuti
siswa-siswa kelas 1.
Meskipun ada guru pembina, tapi yang disebut "Pendidikan Seks"
itu tidaklah termasuk di dalam kurikulum. Pendidikan ini juga
hanya diberikan selama tiga hari. Meski begitu, ada keh?rusan
untuk menyusun karya tulis. "Itu untuk mengetahui seberapa paham
anak-anak itu," tutur Soeryanto pula.
Dari sejumlah karya tulis yang masuk, memang nampak siswa STM
Budhaya cukup paham dengan pelajaran yang didapat. Ini agaknya
karena murid STM Budhaya kebanyakan berasal dari SMP Katolik,
yang sebelum mereka lepas dari SMP telah pula diberi
pendidikan jenis tersebut.
Biasanga karya-karya tulis untuk pendidikan sek dimulai dengan
uraian mengapa Tuhan memberikan alat kelamin dan napsu syahwat
kepada manusia. Kemudian tentang pergaulam remaja dan cinta.
Disambung dengan perbedaan biologis antara pria dan wanita,
lengkap dengan gambar organ kelamin kedua jenis makhluk manusia
ini.
Tentu tak ketinggalan diterangkan pula proses kedewasaan pria
dan wanita, dan apa yang terjadi dalam tahap itu. Lalu proses
terciptanya bayi. Dan sebagai penutup biasanya -- sebelum
kesimpulan -- ada uraian tentang penyakit kelamin.
Bagaimana murid-murid itu memahaminya? Seorang siswa STM Budhaya
yang masuk 1978, menulis tentang anugerah Tuhan itu, begini:
"Mengapa harus ada hal yang tidak senonoh? Kalau semua itu
dirangkaikan dengan riwayat ayah dan ibu kita sendiri, maka
semua itu justru terlihat dan terasa luhur dan suci, bukan? . .
. Ini semua adalah rencana Tuhan dalam mengembangkan manusia dan
memenuhi bumi ini dengan segala makhluk ciptaannya, seperti
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan segala benda mati."
JELAS, di situ napas keagamaan. Ini dibenarkan oleh Suster
Trisnawati, 50-an tahun, Kepala Sekolah SMA Santa Angela,
Bandung. "Pendidikan seks di sini disampaikan secara ilmiah,
dengan penekanan pada aspek religiusnya, " katanya. Dan
pendidikan itu di sekolah tersebut telah diberikan sejak tiga
tahun yang lalu.
Toh, Suster Trisnawati masih belum berani memberikan pendidikan
tersebut kepada siswa kelas I. Ceramah hanya diberikan kepala
siswa kelas III, seminggu sekali. Itu pun selama kuartal
terakhir saja. Dengan demikian, praktis hasil pendidikan itu
sukar dicek hasilnya.
Tapi R.Y. Soebandi, Kepala Sekolah STM Budhaya, Jakarta, bisa
bercerita bagaimana Ferbedaan anak didik sebelum dan sesudah
mendapat pendidikan seks. "Biasanya, anak-anak didik saya
sikapnya kasar terhadap wanita. Suka mengganggu, suka
bersuit-suit," ceritanya. "Setelah mendapat pendidikan seks,
sikap mereka terhadap wanita berubah lebih hormat."
Tentu, yang diceritakan pak kepala sekolah hanyalah yang bisa
dilihatnya sehari-hari di lingkungan sekolahnya. Tapi bagaimana
anak-anak itu di luar sekolah, tak gampang diketahui.
Seorang siswa sekolah tersebut punya cerita yang agak seram.
Katanya, akibat pendidikan seks yang diterimanya pada kuartal
terakhir di SMP, sebuah SMP Swasta di Jakarta, begitu lulus ia
selalu digoda bayangan hubungan seks. Maka, bersama enam
temannya, ia pun pergi ke sebuah tempat pelacuran, dan menyewa
seorang pelacur. "Wah, ternyata tidak seenak yang saya
bayangkan," ceritanya dengan terus terang.
Maka, begitu mendapat pendidikan seks selama tiga hari di STM
Budhaya, ia paham: "Ternyata hubungan seks harus didasari cinta
kasih." Apalagi, dalam pendidikan itu diuraikan pula bahayanya
penyakit kelamin.
Apakah kemudian ia jijik terhadap seks? "Wah, ya, tidak,"
jawabnya, langsung. "Kalau seks itu menjijikkan, mengapa
diciptakan laki-laki dan perempuan?" Anak ini jadi pintar
rupanya.
Lain di sekolah Katolik, lain pula di sekolah Islam. Baik Drs.
Ngatio Haryanto, Kepala Madrasah Aliyah Negeri, Tanjungkarang,
maupun Abdul Wahab, pimpinan SMA Taman Pendidikan Putri
Khadijah, Surabaya, cukup menganggap llmu Fiqih telah memberikan
segalanya tentang seks. "Semuanya ada di situ, tinggal bagaimana
cara menyampaikannya kepada murid saja," kata Pak Ngatio.
Agaknya, uraian tentang seks (mengapa ada, untuk apa, bilamana
dibolehkan agama menggunakannya, dan lain-lain) yang di
sekolah-sekolah Islam diajarkan sebagai bagian dari pendidikan
agama, dirasa sangat aman. Tapi, memang di situ tak diuraikan,
misalnya, bagaimana perbedaan organ kelamin pria dan wanita
secara agak mendetil -- sebagaimana yang diberikan di
sekolah-sekolah Katolik. Maka kata seorang siswi Aliyah di
Tanjungkarang, kelas III IPA "Memang cukup paham tentang seks,
walau sebenarnya masih remang-remang. "
Bagaimana di sekolah Kristen? Di SMA Kristen, Dago, Bandung,
Prof. Dr.Nasution, kepala sekolahnya, menolak pendidikan seks
untuk murid-muridnya. Menurut Nasution, banyak masalah
tersangkut dalam pendidikan itu. "Seks ada hubungannya dengan
agama, sementara tiap agama meletakkan seks secara berlainan.
Jadi susah," katanya. Agaknya ia berpendapat "lebih baik tak
diberikan pendidikan seks, apabila tak benar-benar baik."
Cuma, keingintahuan para remaja di kota besar tentang seks
agaknya memang besar. Pekan lalu di SMA Bonaventura, Jakarta
Kota, kebetulan sedang dilangsungkan pendidikan itu. Yang
memberikan, selama tiga hari, Ibu Regina dari Pusat
Kesejahteraan Keluarga, Keuskupan Jakarta. Dengan pemutaran
slide segala macam, pengajaran memang jelas dan menarik. Dan Ibu
Regina, yang berpengalaman memberikan soal ini kepada anak-anak
SLTA, dengan tenang menghadapi keriuhan anak-anak apabila mereka
ribut, karena ada pemaparan hal-hal "rahasia".
DAN dari pendidikan ini, bisa di ketahui apa saja sebetulnya
yang ingin diketahui para remaja itu, tapi selama ini dipendam
saja karena tak tahu harus ke mana bertanya. Suster Regina
membagikan kertas, dan mereka diminta bertanya tertulis tentang
apa saja mengenai seks, tanpa menyebutkan nama masing-masing.
Pertanyaan yang keluar memang macam-macam. Dari yang berat
(seperti, "Mengapa bayi dalam kandungan bisa hidup"), sampai
yang seram-seram, "Apakah terlalu sering mengadakan hubungan
seks bisa impoten?").
Agaknya memang dirasakan kebutuhan pendidikan seks. Sebuah surat
dari seorang remaja (Komentar, hal. 6) pun terus terang mengakui
kebutuhan itu.
Ini mendukung hasil angket TEMPO. Para responden menyatakan
mendapat pengertian tentang seks kebanyakan dari buku/film
(62,41%), kemudian dari teman (33,61%).
Tapi ada kekhawatiran, jangan-jangan keingintahuan para remaja
tentang seks justru meningkat, dan kemudian ingin mencobanya.
Apalagi bila mereka tahu pula bagaimana menghindarkan diri dari
kehamilan atau sakit kelamin. Nampaknya yang diperlukan bukan
saja isi pendidikan, tapi kualitas si pendidik. Tak kalah
penting ialah contoh orang tua: bahwa seks menghendaki juga
kasih sayang dan saling menghormati. Semua itu tak mudah
didapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini