Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bangkok - Berbicara di forum regional, Effie Herdi tidak bisa bercerita banyak soal upaya pengendalian industri tembakau di Indonesia. Sebab, pemerintah dinilai belum serius dalam mengendalikan industri yang memproduksi rokok. Padahal produk yang mereka hasilkan telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Industri tembakau atau rokok di Indonesia, justru semakin pintar menggaet perokok muda dengan berbagai cara yang inovatif,” kata Koordinator Kampanye Yayasan Lentara Anak itu dalam worshop pengendalian tembakau negara-negara Asean yang digelar Southeast Asia Tobacco Control Aliance (Seatca) di Bangkok, Thailand, 14 Mei 2024. Workshop dengan tema ‘Protecting Children Tobacco Industry Interference’ itu diadakan untuk menyambut Hari Tanpa Tembakau Dunia pada 31 Mei mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, kata Effie, upaya melindungi generasi muda dari dampak negatif tembakau justru masih menghadapi banyak rintangan, meski sudah ada lima standar internasional yang seharusnya menjadi acuan. Lima standar tersebut, yakni penerapan kawasan tanpa rokok (KTR); cukai; pelarangan iklan dan promosi, dan sponsor rokok; peringatan kesehatan bergambar (PHW); serta layanan berhenti merokok.
Dari lima standar tersebut, menurut perempuan 31 tahun itu, hanya KTR yang terlihat sedikit diimplementasikan. “Namun penegakannya juga masih sangat lemah,” kata Effie di sela acara workshop. “Padahal salah satu tujuan utama regulasi itu adalah untuk perlindungan anak-anak dari bahaya rokok. Harusnya menjadi prioritas utama pemerintah.”
Lemahnya komitmen pemerintah dalam mengendalikan industri tembakau, menurut dia, tercermin dari sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang tidak mau meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Padahal sejak 2015 lalu, masyarakat sipil telah memberikan dorongan cukup kuat kepada Presiden Jokowi untuk meneken FCTC. Namun, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu meratifikasi FCTC.
“Keputusan ini mencerminkan kuatnya pengaruh industri rokok terhadap kebijakan pemerintah,” ucapnya. “Bahkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asean yang tidak menandatangani FCTC.”
Selain itu, pengendalian industri tembakau di Indonesia sudah jauh tertinggal dari negara-negara Asean lainnya, seperti Kamboja, Thailand, dan Singapura. Negeri jiran itu telah mempunyai regulasi ketat dalam mengatur peredaran rokok konvensional maupun elektrik. Kamboja, misalnya, kata Effie, telah melarang total rokok elektronik.
Bahkan negara itu menyamakan rokok elektrik seperti narkoba. Sedangkan Singapura telah mengambil tindakan tegas dengan menurunkan lebih dari 4.000 konten iklan rokok di internet. Sementara itu, di Indonesia, iklan rokok konvensional maupun rokok elektronik masih bebas muncul di berbagai tempat.
Industri rokok, menurut Effie lagi, juga semakin cerdik dalam memasarkan produknya dan menyasar anak-anak melalui berbagai media, termasuk film dan iklan inovatif. Salah satu contohnya adalah film Gadis Kretek yang ditujukan untuk usia 13 tahun ke atas.
Adapun Gadis Kretek merupakan film yang menampilkan industri kretek di Indonesia. Film itu dianggap menormalisasi rokok di Indonesia. “Kami melihat film Gadis Kretek menjadi ajang promosi orang untuk merokok. Apalagi pemerannya merupakan aktris yang sangat populer di masyarakat,” ujarnya.
Sejumlah massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) melakukan aksi parade mural di Kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu, 17 November 2021. Aksi tersebut menyatakan desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengesahkan revisi PP 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak. TEMPO/Muhammad Hidayat
Pemerintah, kata Effie, mesti menyadari bahwa tingginya prevalensi perokok anak di Indonesia menjadi bukti nyata bahwa upaya perlindungan kepada mereka masih jauh dari memadai. Data menunjukkan bahwa perokok anak usia 10-18 tahun mencapai 9,1 persen, atau lebih dari 3 juta anak. Selain itu, 75 persen penduduk Indonesia terpapar asap rokok, dan 51 persen dari mereka adalah perokok.
“Berbicara pengendalian rokok di Indonesia, selalu jalan di tempat,” katanya. “Bahkan sejak 2009 kita ikut workshop pengendalian tembakau dari Seatca, masalah yang dihadapi Indonesia selalu sama. Sulit pemerintah lepas dari cengkraman industri tembakau.”
Dalam forum yang sama, Managing Director Organisasi Pemuda Asean perwakilan Indonesia Sarah Rauzana mengatakan industri tembakau di Indonesia telah secara terang-terangan menargetkan kalangan muda. Menurut dia, anak muda menjadi sasaran empuk industri tembakau karena mereka lebih mudah dipengaruhi dan memiliki potensi untuk menjadi pelanggan jangka panjang.
“Sangat penting bagi pemerintah memiliki komitmen yang lebih besar dalam melindungi generasi muda dari intervensi industri tembakau,” ucapnya. “Terutama dalam penyusunan kebijakan pengendalian tembakau.”
Industri tembakau, kata Sarah, berusaha memperkenalkan produk baru seperti rokok elektrik yang diklaim lebih ramah lingkungan. Namun, klaim ini sebenarnya menutupi masalah kesehatan baru yang bisa timbul. Padahal dalam beberapa kasus, dampak kesehatan yang disebab rokok elektrik bisa lebih parah daripada rokok konvensional.
Masalahnya sekarang, peredaran rokok elektrik justru semakin tidak terkendali di Indonesia. Industri memasarkan produk mereka dengan berbagai kemasan dan beragam rasa, hingga dirancang khusus untuk menarik perhatian anak-anak dan remaja. “Ini adalah taktik industri untuk mengembangkan target pasar mereka, yang jika tidak diwaspadai bisa meluas dengan cepat dengan sasaran anak-anak dan remaja,” ujarnya. “Sayangnya banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi target pemasaran.”
Di sisi lain, Sarah melihat promosi rokok elektrik di Indonesia, telah memanfaatkan influencer media sosial. Industri memanfaatkan mereka karena dianggap memiliki pengaruh besar terhadap keputusan dan preferensi anak-anak dan remaja. “Masalah pengendalian rokok konvensional saja sangat sulit, sekarang di Indonesia ditambah dengan rokok elektrik yang regulasinya disetarakan dengan rokok konvensional,” ucapnya.
Regulasi yang mengatur rokok di Indonesia, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012. Namun, regulasi tersebut kini telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan baru ini melarang penjualan rokok batangan dan mengatur rokok elektronik, seperti rokok konvensinal. Namun regulasi ini belum bisa diimplementasikan karena aturan turunan undang-undangnya belum ada.
Menurut Sarah, tanpa regulasi yang ketat, industri tembakau akan terus mencari celah untuk menargetkan generasi muda. Karena itu, perlu adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk memperkuat regulasi pengendalian tembakau dan melindungi anak-anak kita dari bahaya rokok, baik konvensional maupun elektrik.
Perlindungan tersebut harus mencakup larangan iklan, pembatasan penjualan, dan edukasi yang luas tentang bahaya rokok. “Hanya dengan langkah-langkah tegas, kita dapat melindungi generasi muda dari ancaman yang terus berkembang dari industri tembakau,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Seatca Ulysses Dorotheo mengatakan industri banyak mencampuri urusan regulasi mengenai pengendalian tembakau negara-negara Asia. Campur tangan mereka telah mengganggu dan melemahkan kebijakan kesehatan masyarakat. “Industri tembakau diketahui menyesatkan dan memberikan informasi yang salah kepada para pembuat kebijakan,” ujarnya.
Salah satunya informasi yang menyesatkan mengenai rokok elektrik yang disebut bisa membantu perokok berhenti merokok. Ekspansi rokok elektrik di dunia pun cukup tinggi. Bahkan mereka telah menyediakan lebih dari 16.000 rasa, yang sebagian besar adalah rasa permen dan buah-buahan.
Mereka mempromosikan produk berbahaya itu secara online untuk memikat generasi muda ke dalam kecanduan nikotin seumur hidup. Di seluruh Asia, tingkat penggunaan rokok elektrik di kalangan remaja 13-15 tahun meningkat, seringkali lebih tinggi dibandingkan perokok. Di Malaysia, prevalensi penggunaan rokok elektrik adalah 23,5 persen pada anak laki-laki dan 6,2 persen pada anak perempuan pada 2022 lalu.
Sedangkan Filipina, angkanya adalah 20,9 persen pada anak laki-laki dan 7,5 persen pada anak perempuan pada 2019. Di Thailand, 20,2 persen anak laki-laki dan 15 persen anak perempuan menggunakan rokok elektrik pada 2022. “Dunia telah melakukan kesalahan dengan mengizinkan perusahaan tembakau membuat dan menjual rokok,” ujarnya.
Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menyoroti fenomena penggunaan rokok elektrik atau vape di media sosial dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Melalui analisa yang dilakukan oleh Drone Emprit, ditemukan bahwa diskusi tentang vape di Twitter, dianggap lebih positif lantaran menunjukkan keprihatinan terhadap efek buruk rokok elektrik.
Namun, yang menjadi perhatian soal promosi rokok elektrik di TikTok. Konten rokok elektrik di Tiktok, kata dia, lebih mempromosikan penggunaannya sebagai bagian dari gaya hidup. “Sebab larangan penggunaan rokok elektrik juga tidak ada di Indonesia,” ujar Fahmi dalam diskusi yang digelar Seatca di Bankok.
“Bahkan vape sudah menjadi gaya hidup terutama di kalangan perempuan muda yang tidak merokok. Semua ini dipengaruhi media sosial, bukan orang tua atau lingkungan keluarga.”
Menurut Fahmi, konten promosi rokok konvensional dan elektrik di media sosial sudah seperti tsunami. Bahkan industri tembakau tidak perlu lagi memasang iklan kepada influencer karena mereka telah mempromosikan secara cuma-cuma rokok elektrik tersebut.
Regulasi untuk mengatur rokok elektrik, kata Fahmi, sudah sangat mendesak. Apalagi Kementerian Komunikasi dan Informasi belum bisa berbuat banyak untuk melarang iklan rokok elektrik di media sosial, seperti rokok konvensional. “Regulasi yang tegas sangat penting agar Kementerian Kesehatan bisa memonitor peredaran produk rokok elektrik,” ujarnya.
Selain itu, setiap ditemukan masalah kesehatan yang disebabkan rokok kovensional atau elektrik, publik bisa langsung menargetkan siapa yang bertanggung jawab. “Jadi berikan tekanan kepada presiden atau pemerintah jika ditemukan kasus yang menjadi perhatian akibat rokok,” ujarnya. “Karena di Indonesia tidak viral tidak akan mendapatkan perhatian pemerintah.”
Ismail mengatakan tanpa regulasi yang tegas, tantangan mengendalikan industri tembakau dan produk yang mereka hasilkan bakal semakin luas. “Pengendalian rokok konvensional dan elektrik di Indonesia sudah sampai tahap tidak bisa lewat edukasi atau sosialisasi. Harus pakai regulasi seperti Kamboja yang bahkan telah mengharamkan rokok elektrik,” ujarnya.