ADAKAH ini sesuatu yang membanggakan? Atau justru mencemaskan? Kun Wardana Abyoto Senin pekan lalu diwisuda di Kampus Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta, dalam usia 18 tahun 7 bulan. Insinyur Teknik Elektro ini tercatat sebagai sarjana termuda yang diluluskan Usakti, dan munkin termuda juga untuk Indonesia. Skripsinya yang berjudul "Perbandingan antara 8080 dan 8080" dengan bimbingan Drs. Zacharian Santosa memang tak istimewa. Dan jika dalam ijazahnya, Rektor Usakti Prof. Dr. Haryosudirdjo membubuhkan catatan khusus, itu semata-mata karena dalam usia yang muda Kun berhasil menyelesaikan studi S1. "Saya berhasil karena dorongan Bapak," kata anak yang pendiam ini. Ayahnya, Drs. Abyoto Hadiprodjo, S.H., memang memegang peranan besar untuk mencetak Kun seperti sekarang ini. Ayah delapan anak yang pernah bekerja di Departemen Dalam Negeri dan kini pengacara ini mempunyai cara tersendiri dalam membentuk anak-anaknya. Semua anaknya ditekankan untuk belajar dan belajar. Jika perlu sampai larut malam. Jika esoknya hari libur, belajar itu sampai dinihari. Pagi dan siang boleh tidur, sorenya belajar lagi. Sang ayah pun kadang menungguinya. Tak ada waktu untuk urusan lain-lain. Yang dipelajari pun ilmu yang terkait dengan studinya. Ruang tamu rumah di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, disulap menjadi ruang belajar. Dindingnya dipenuhi dengan peta, diagram, rumus. Buku-buku teronggok di sudut-sudut ruangan sempit itu. Kun Wardana salah satu dari "proyek" Abyoto yang sudah jadi. Sebentar lagi, kakaknya, Wahyu Purnawan (lahir 23 November 1967) akan menyusul. Wahyu, yang dua tahun lebih tua dari Kun, kini sedang menyusun skripsi sarjananya, juga di Jurusan Teknik Elektro Usakti. Adiknya, Rinda Mawangka, kini sudah kelas I SMA Widuri, sementara usianya baru 12 tahun. Kenapa Wahyu dikalahkan adiknya. Padahal mereka digenjot dengan cara yang sama? Keduanya meloncat-loncat kelas dengan cara yang berbeda. Wahyu masuk TK pada usia 5 tahun. Hanya setahun di TK, ia kemudian duduk di kelas I SD. Kelas I ini ditempuhnya secara normal. Tapi kelas II dan III ditempuhnya hanya setahun. Lalu kelas IV, V, dan VI -- normalnya 3 tahun ditempuh Wahyu hanya setahun. Ia pun lulus SD pada usia 9 tahun. Lalu Wahyu disekolahkan ke SMP Negeri 60 Jakarta. Di sekolah negeri tentu saja ada pantangan meloncat kelas, apa pun alasannya, karena konon bisa merusakkan perkembangan anak didik itu di kemudian hari. Maka, Wahyu menempuh SMP secara normal, 3 tahun. Itu bedanya dengan Kun. Anak ini masuk TK usia 4 tahun. Di TK Kun betah dua tahun. Tapi setelah lulus TK, Kun langsung meloncat ke kelas II SD. Tak pernah ia merasakan kelas I SD. Enam bulan kemudian, meloncat lagi ke kelas III SD. Adapun kelas IV, V, dan VI hanya ditempuhnya setahun, persis Wahyu. Usia 8 tahun Kun pun lulus SD. Semula Kun didaftarkan juga di SMPN 60. Tapi ditolak karena terlalu muda, padahal ibunya menjadi guru matematika di sana. Akhirnya, ia dibawa ke SMP Terunajaya II di Kramat Kwitang, sekolah swasta. Justru Kun mendapat keberuntungan, karena boleh loncat kelas sebelum tahun ajaran resmi berakhir. Ia hanya menghabiskan waktu 2 tahun di SMP itu. Berarti pula, Kun dan Wahyu lulus di tahun yang sama, 1980. Dan keduanya kemudian memilih SMA Terunajaya, supaya terbuka main "loncat-loncatan". Sudah dibilang, Abyoto luar biasa ketat mengatur anaknya. Anak-anak itu dibatasi bergaul. Bahkan kalau ternyata anaknya itu punya teman, Abyoto menyelidiki siapa orangtua teman anaknya iu. Kalau Abyoto tak suka, biarpun teman itu baik, pergaulan disetop. Ini sudah harga mati. Kun dan Wahyu harus belajar terus. Kegiatan ekstrakurikuler sekolah pun dilarang, entah itu namanya camping atau kegiatan lebih resmi, misalnya Pramuka. "Nggak ada waktu untuk yang gitu-gitu," kata Abyoto pekan lalu. Dunia Kun dan Wahyu adalah sekolah dan rumah. Dalam kondisi seperti ini, Kun dan Wahyu menyelesaikan pendidikan SMA hanya dalam setahun, "karena pelajaran bulan berikutnya sudah dipelajari di rumah bulan ini." Namun, ketika menempuh EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) SMA, 1981, hasilnya diperdebatkan orang. Pihak Kanwil Departemen P dan K DKI menyatakan keduanya tak lulus. Ada beberapa mata pelajaran yang, nilainya rendah. Tapi karena kedua anak ini sudah sering diributkan media masa sebagai anak pintar, jalan tengah pun diambil. Kun dan Wahyu harus mengulang pelajaran kelas III di SMAN III Setiabudi, sekolah yang dikenal baik mutunya di Jakarta. Di sini keduanya belajar secara normal, dan ketika EBTA 1982, keduanya lulus dengan nilai rata-rata 7. Bukan nilai tertinggi di antara lulusan sekolah itu. Banyak yang mengharapkan agar Kun dan Wahyu diikutkan Sipenmaru, agar bisa diperbandingkan prestasinya dengan lulusan SMA lainnya. Tapi Abyoto tak mau. Kedua anak itu dimasukkan ke Usakti, di fakultas dan bahkan jurusan yang sama. Saat itu Kun berusia 13 tahun dan Wahvu 15 tahun. Kuliah bersama mahasiswa yang usianya 5 tahun di atasnya, Kun dan Wahyu semakin terpencil di Usakti. Apalagi ayahnya mengantar-jemput anak ini - tak ubahnya memperlakukan murid TK. Kalaupun tak bisa dijemput, anak-anak itu diminta segera pulang naik bajaj, lalu belajar lagi. "Apatis, sih, tidak. Cuma tidak peduli dengan lingkungannya," kata Agus Dwinaranto, kawan sekuliah Kun dan Wahyu, menilai. "Anak seumur dia kan mestinya SMP, jadinya mereka kaku sekali bergaul." Menurut Agus, Wahyu sedikit lebih ramah dan ebih terbuka. Di Usakti sebenarnya tingkat kecerdasan Kun dan Wahyu tak begitu menonjol, meski hasil tes IQ mereka yang dilakukan Yayasan XYZ tahun 1979 cukup baik. Kun 152 dan Wahyu 150. IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang dicapai Kun 2,5. Bahkan ada beberapa mata kuliah yang mendapat nilai D (kurang). Tapi Kun mengakui, "Saya dituntut untuk lulus secepatnya," katanya. Yang menuntut itu tentu saja ayahnya. Toh akhirnya Kun menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 5 tahun. Nyatanya, Kun sukses dan jadi kebanggaan keluarga Abyoto. Tapi keberhasilan Kun, menurut Psikolog Dr. Utami Munandar, 57 tahun, terlalu dipaksakan. "Perkembangan intelektualnya agak kurang, karena terlalu banyak belajar," kata Utami. Dengan pola yang diterapkan Abyoto terhadap anak-anaknya yang hanya menekankan segi belajar, dikhawatirkan perkembangan pribadi anak itu akan terhambat. Nantinya akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh, sosialisasinya kurang. "Bahkan bisa-bisa tidak peduli terhadap lingkungan," kata Utami. Menurut Utami, yang pernah diberi tugas oleh Departemen P dan K untuk mengelola proyek Pendidikan Bakat Siswa tahun 1982 selama 3 tahun, "Kun hanya berbakat belum jenius." Batasan jenius, menurut dia seseorang yang telah dapat membuktikan keunggulannya dalam suatu karya yang diakui secara universal bermanfaat. "Bukan dilihat dari tes IQ," katanya. Cepatnya Kun -- sebentar lagi disusul Wahyu -- menyelesaikan studinya, karena ia bersekolah di swasta sejak SD. Di sekolah negeri ia tak akan menikmati fasilitas seperti itu. Atau jika sekolah swasta itu tak berani memutuskan sendiri, sehingga perlu meminta izin terlebih dahulu untuk meloncat kelaskan anak didiknya, pasti pula ia gagal. Contohnya ada. Rendra Pranadipa Tofani, siswa SD Pekunden I, Semarang. Mas Dipo - demikian panggilannya - semula duduk di kelas III SD Kebon Dalem. Karena di rumahnya ia sudah belajar pelajaran kelas IV dan berhasil baik, ia dipindahkan orangtuanya ke SD Pekunden I. SD Kebon Dalem sekolah negeri, sedangkan SD Pekunden sekolah swasta, jadi memungkinkan loncat kelas, begitu pertimbangan orangtua Mas Dipo. Anak yang IQ-nya 146 ini akhirnya duduk di kelas V. Ketika tahun ajaran 1986/87 berakhir, Mas Dipo naik ke kelas VI dengan peringkat pertama. Supaya tak muncul masalah di kemudian hari, Kepala SD Pekunden I melaporkan hal ini ke Kanwil P dan K Ja-Teng. Menteri P dan K Fuad Hassan, yang membaca kehebatan Mas Dipo dari koran, langsung menyatakan tak setuju ada kebijaksanaan loncat kelas. "Nanti akan timbul dampak negatif kalau anak itu kelak tidak berhasil," katanya. Kekhawatiran lain, masalah pergaulan, karena usia yang berbeda (TEMPO, 12 September 1987). Maka, Kun dan Wahyu, juga adiknya, Rinda, tergolong istimewa. Masalahnya, apakah kekuatiran Fuad Hassan itu sudah tampak dalam pribadi Kun sulit dijelaskan. Kun memang tak banyak bicara. Bahkan ketika ditanya apa rencananya setelah bergelar insinyur, ayahnya yang cepat menjawab, "Kalau bisa, sih, di S2." Adakah yang mencemaskan? Atau semuanya membanggakan? Sri Indrayati, Tri Budianto Soekarno, Agung Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini