TUJUH puluh orang pimpinan sekolah malam se-Jawa dan Bali, Kamis pekan lalu, berkumpul di Yogyakarta. Pertemuan di gedung Sekretariat Yayasan Pendidikan Institut Indonesia, Jalan Kusumanegara, ini menghasilkan keputusan penting, antara lain, berdirinya adan Kerja Sama (BKS) Yayasan Penyelenggara Sekolah Karyawan/Petan Tingkat Nasional dan KS di empat wilayah yaitu DKI, Ja-Bar, Ja-Teng/DIY, dan Ja-Tim/Bali. Lembaga ini terbentuk pada saat usia sekolah malam tinggal tiga bulan lagi. Tahun ajaran 1988/89, yang dimulai Juli nanti, sekolah malam - demikian biasa disebut karena menyelenggarakan pendidikan sore sampai malam - praktis tak bisa menerima siswa baru. Tapi BKS ini memang dibentuk untuk itu. Yakni menggugat Departemen P dan K agar keputusan membubarkan sekolah malam ditinjau kembali. "Dalam waktu dekat kami akan menghadap Menteri P dan K memperjuangkan nasib kami," kata Soebroto, yang terpilih sebagai Ketua Umum BKS Sekolah Karyawan Tingkat Nasional ini. Keputusan Menteri P dan K yang dipermasalahkan itu adalah tentang batas usia sekolah yang dikeluarkan Januari tahun lalu. Untuk calon siswa SMTP tak boleh lebih dari 18 tahun. Untuk calon siswa SMTA maksimum 21 tahun. Keputusan ini, yang semestinya dilaksanakan tahun ajaran yang lalu, tidak secara khusus ditujukan untuk sekolah malam. Dan kenyataannya sekolah malam masih tetap menerima murid yang usianya di atas 30 tahun. Mereka adalah para karyawan, baik swasta maupun pemerintah, yang bermaksud memperoleh ijazah untuk kenaikan pangkat. Karena keputusan ini tak jalan di sekolah malam, muncullah surat edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, September tahun lalu. Isinya, mulai tahun ajaran 1988/ 89 sekolah malam itu harus menerima siswa sesuai dengan ketentuan batas usia. Jika tetap menerima siswa melebihi batas umur, istilah sekolah diganti kursus. Kebijaksanaan inilah yang ditentang para pengelola sekolah malam. "Kursus bukan lembaga pendidikan yang memanusiakan manusia. Secara kasar kursus dapat dikatakan identik dengan toko penjual ilmu atau keterampilan," kata Soebroto, yang memimpin Yayasan Pendidikan Institut Indonesia, yang punya beberapa sekolah malam tingkat SMTP dan SMTA di Yogya. Soebroto pulalah yang punya ide menyelenggarakan "Musyawarah Eksistensi Sekolah Petang dan Karyawan di Yogyakarta", pekan lalu itu. "Tujuannya, anara lain untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sekolah petang/karyawan," kata Soebroto. Pertemuan sehari itu berlangsung semarak. Ketua Musyawarah Penyelenggara Sekolah Swasta Pusat, Ki Soeratman, yang mengawali pembicaraan mengatakan bahya sekolah malam tetap merupakan alternatf. Keberadaan sekolah malam, yang usianya hampir setengah abad itu, bukanlah embel-embel, tapi sudah menjadi kebutuhan masyarakat," kata tokoh Taman Siswa yang juga anggota DPR ini. "Oleh sebab itu, sekolah malam harus dipertahankan, jika perlu disamakan seperti lembaga pendidikan formal lainnya, baik i)azahnya maupun lembaganya." Para pembicara dalam pertemuan ini sernuanya menyayangkan kebijaksanaan pemerintah yang bisa berarti "menjegal pendidikan seumur hidup". "Tak ada pihak yang dirugikan dengan sekolah ini, karena itu likuidasi sekolah ini tak perlu terjadi," kata Soebroto lai. Tim perumus yang di bentuk dalam pertemuan itu menghasilkan kesimpulan, memperjuangkan agar eksistensi sekolah karyawan/petang di luar usia sekolah memperoleh pengakuan yang sah dari pemerintah dan memperoleh hak yang sama dengan sekolah formal. Hasil rumusan ini yang akan dibawa ke Menteri P dan K. Jika sekolah malam itu berubah menjadi kursus, selain tak diizinkan mengikui Ebtanas, ijazah yang diperoleh lulusannya berstatus ijazah persamaan. Dalam keputusan Menteri P dan K memang disebutkan, ijazah itu bernilai sama dengan STTB sekolah biasa. Tapi yang terjadi, banyak instansi yang menolak ijazah persamaan itu. "Dan fakta memang menunjukkan mutu ujian persamaan lebih rendah dari hasil pendidikan formal," kata Soebroto. Mengapa pemerintah tak suka dengan sekolah malam? "Sekolah itu sifatnya formal. Punya berbagai peraturan. Ada pakaian seragam, ada kegiatan ekstrakurikuler, ada batas umur," kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. Hasan Walinono beberapa waktu lalu. Dan, memang, sekolah malam dalam wujudnya seperti sekarang ini tak mungkin mengikuti aturan formal itu. Yusroni H. dan Heddy Lugito (Biro Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini