DI Timur Tengah Kitab Kuning (KK itu disebut al-Kitab al-Ashfar. Selain beredar di Indonesia, juga dicetak di Timur Tengah dan India. Malah Siyar as-Salikin yang 4 jilid itu -- kemudian ada yang meringkasnya jadi 1 jilid dengan judul Hidayatus-Salikin -- awalnya seabad lalu dicetak di Istambul. Buku-buku kalsik itu sekarang sudah dicetak dalam kertas putih. Mestinya tidak perlu lagi disebut kitab kuning," kata Ali Hasjmy. Jika Kiai Oesman Mansoer di Malang punya koleksi 300 macam (berjilid-jilid), di perpustakaan Hasjmy di Banda Aceh, selain KK yang berstatus judul itu, terpelihara pula 100 manuskrip lebih. Usianya ada yang 150 tahun. Manuskrip dimaksud banyak ia peroleh dari orang-orang kampung. "Peninggalan orang tua itu mereka berikan kepada saya tanpa mereka mau menerima duit, karena dianggap berdosa. Sebagai gantinya saya menukarnya dengan Quran dan memberi mereka kain sarung," katanya. Sejumlah manuskrip serupa, tapi ada yang lebih tua usianya, kata Hasjmy, disimpan di perpustakaan Dayah Tanoh Abei, Seulimeuem, 45 km dari Banda Aceh. Jumlahnya sekitar 4 ribu. Dayah (pesantren tinggi) itu didirikan 400 tahun lalu oleh Teungku Abdul Wahab. Sekarang, keturunan Teungku itu masih terus mengelola Dayah itu. Eks Gubernur Aceh tersebut mengatakan, KK layak dipelajari. Karena buku-buku itulah lalu muncul mujtahid seperti imam Syafii, Hanafi, dan al-Ghazali. "Tanpa merujuk kitab kuning, barangkali dunia ini tidak punya ulama besar, ujar Hasjmy. Memang banyak berisi pendapat para ulama, tapi itu tak berarti pengarangnya memaksa taklid untuk yang memperlajarinya. Contoh yang diprtik Hasjmy dari kitab klasik itu, misalnya, membersihkan diri atau benda yang dijilat anjing. "Dulu harus disamak dengan air dan tanah tujuh kali." Sekarang orang tak harus taklid dengan rumus ini. Yang penting ambil intinya: bersih atau sterilkan dari jilatan anjing tadi. "Kini bisa dibersihkan saja dengan kerosin," kata Hasjmy. "Kita harus memahami latar belakang ulama itu agar terhindar dari taklid buta," katanya. "Taklid itu kalu tanpa dalil, cuma dengar-dengar cerita orang yang tak jelas sumbernya, lalu terus ikut," ujar K.H. Hambali Ahmad pada Hedy Susanto dari TEMPO. Menurut pimpinan pesantren Muhammadiyah Jawa Barat itu, I'anat al-Thalibin tak melulu berisi pendapat atau syarh ulama. "Juga banyak hadis di dalamnya. Tulisan Imam As-Suyuthi, Ibn Hajar Asqalani yang merujuk pada mazhab Syafii, atau Ibn Rusyd yang cenderung Maliki, semuanya ijtihad. Tapi jelas mana Quran dana mana yang Hadis," tutur Kiai Hambali. Otak santri bisa pula dibikin tumpul. "Ini bergantung pada derajat kefakihan kiainya. Apa beliau bisa membuka wawasan merangsang aktivitas santrinya, tanpa terpaku pada teks kitab kuning," cetus Alieya M. Santrie. Peneliti riwayat para wali di Jawa itu (telah dibukukan dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia oleh penerbit Mizan, 1987) punya resep: membaca KK mesti bertahap. "Soalnya, bagaimana si mursyid memotivasi muridnya," kata jebolan pesantren itu. Metode mengajarnya juga perlu diperbaiki dan diserasikan. Tapi kalau mahasiswa atau santrinya yang dungu, jangan KK-nya disalahkan. Apalagi KK itu banyak jenisnya. "Trhadap I'anat al-Thalibin yang jadi rujukan utama di IAIN Sum-Ut, misalnya, diperkenalkan dulu pola pikir penulisanya, dan orentasi mazhabnya ke mana," kata Dr. Abdullahsyah, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara. Sedangakan metode penelitian agama dengan merujuk ke KK klasik pernah pula diperkenalkan oleh Thomas Michel S.J. Alumnus Universitas Chicago ini dikenal sebagai ahli Ibn Taymiyyah. Kini metodenya digalakkan di Fakultas Pasca- Sarjana IAIN Jakarta."Semoga pihak pesantren juga memulai," kata Nurchlosih Madjid. Dan alhamdulillah jika KK tidak kian kuning warnanya di bawah bantal. Apalagi menurut Abdullasyah, "Merosotnya pengetahuan agama karena kitab kuning banyak disingkirkan." Z.M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini