Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Institut Bebas Hambatan

Peminat untuk masuk ke ITI cukup banyak. Institut ini dipimpin oleh Habibie dan Soedarsono. Untuk menutupi kekurangan tenaga teknik. (pdk)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASANYA belum pernah terjadi, sebuah perguruan tinggi swasta yang baru akan memulai kuliahnya sudah dijagokan oleh calon-calon mahasiswanya. ITI atau Institut Teknologi Indonesia, yang berkampus sementara antara lain di Gedung Krakatau Steel, Kebayoran Baru, Jakarta, yang baru akan memulai kuliah I Oktober nanti, mendapatkan cukup peminat. Pendaftaran gelombang pertama, 1-16 Agustus, mencatat 700-an calon mahasiswa. Dan untuk gelombang kedua, hingga awal pekan ini sudah 400-an calon terdaftar. Agaknya nama-nama yang terlibat dalam ITI memang dianggap menjamin mutu institut ini. "Adanya Pak Habibie dan Pak Soedarsono meyakinkan saya bahwa ITI bukan sekolah asal kuliah," kata Didik, lulusan SMA di Sukabumi yang gagal masuk universitas negeri, yang kemudian mendaftar ke ITI. B.J. Habibie, menteri ristek, dan Soedarsono Hadisapoetro, bekas menteri pertanian, memang termasuk paling getol mendorong lahirnya ITI. Adapun ide yang mendasari lahirnya ITI memang cukup beralasan. Yakni kurangnya tenaga teknik kita. "Kita sampai hari ini cuma punya sekitar 36 ribu insinyur," kata Habibie. Repotnya lagi, menurut. Habibie pula, sebagian besar mereka tertampung bekerja untuk menjalankan administrasi dan birokrasi. Sebagian lagi bekerja agak melenccng dari bidangnya, misalnya bekerja di bidang penjualan alat-alat teknik. "Hanya sekitar 1.500 insinyur benar-benar bekerja di bidang riset dan pengembangan," kata Habibie pula. Artinya, dunia teknologi kita belum cukup terdukung oleh tenaga sarjana teknik. Padahal, tanpa adanya dukungan yang cukup dan mereka, teknologi di Indonesia tak akan berkembang. Atau, selamanya teknologi di Indonesia akan ditangani oleh orang asing. Sementara itu, kaasitas fakultas teknik dan instituc teknologi negeri yang ada terbatas. "Cuma sekitar 3.400 sarjana teknik per tahun," kata Habibie lagi. Fakta-fakta itulah yang mendorong Habibie, juga Soedarsono - yang ditunjuk sebagai rektor pertama ITI - untuk cepat-cepat melahirkan ITI. Meskipun ITI, sebagai institut swasta tentunya hanya akan menampung calon mahasiswa setelah seleksl masuk perguruan tinggi negeri, Habibie tetap optimistis. "Einstein saja pernah ditolak masuk sebuah institut," katanya. Maksud direktur utama PT Nurtanio - pabrik pesawat terbang pertama di Indonesia - ini, tak ada jaminan bahwa yang diterima di negeri adalah calon unggul. Cuma, menyangkut soal mutu, baik Habibie maupun Soedarsono menjawab secara tak langsung. Yakni mereka menyadari benar bahwa bobot sebuah institut teknologi tergantung pada adanya laboratorium atau pusat penelitian guna menunjang perkuliahannya. Maka, kampus ITI direncanakan dibangun di Serpong dengan dana Rp 5 milyar, dekat dengan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan-dan Teknologi (Puspiptek), milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang diketuai oleh Habibie sendiri. "Soalnya, iklim ilmiah perlu. Jadi, kampus di tengah para teknolog itu tepat," kata Habibie. Tapi itulah yang dicemaskan oleh kalangan Institut negeri ITI dikhawatirkan, "Berjalan lewat jalur bebas hambatan," kata Syarifuddin, dosen Fakultas Teknik Industri ITS. Maksudnya, dengan adanya nama-nama tertentu, ITI akan lebih mudah mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Padahal, bagi institut negeri, kata Syarifuddin pula, untuk mendapatkan sekadar dana saja harus melewati jalur birokrasi yang panjang. Kecemasan lain datang dari Hariadi Supangkat, rektor ITB, bila nanti ternyata ITI mencaplok dosen-dosen negeri. Sebab, di negeri pun sebenarnya dosen kurang. Hingga pekan ini sudah ada 12 dosen tetap dan 150 dosen tak tetap yang mendaftarkan diri - yang sebagian memang dosen negeri. Apa kata Habibie? "Justru bila terjadi persaingan mutu, 'kan bagus," jawabnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus