Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Gelar masih ada

Gelar akan dihapus, pendapat beberapa tokoh bergelar. (pdk)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUTY (bukan nama sebenarnya) tak jadi kecewa. Mahasiswi yang sudah menyelesaikan skripsinya itu, tapi belum ujian akhir, kaget sewaktu membaca-beberapa harian Jakarta pekan lalu. Menurut salah satu koran itu, "Gelar-gelar yang ada selama ini akan dihapus. Sebagai ganti, aneka gelar yang dihasilkan perguruan tinggi di Indonesia akan disejajarkan dengan keahliannya." Tuty kaget karena berita itu dibacanya sebagai akan ada penghapusan gelar. Padahal, maksud Menteri P & K Nugroho Notosusanto, seorang doktor dalam ilmu sejarah, yang dikutip dalam harian itu, "Akan ada pengaturan soal pemakaian gelar." Dan itu semua baru jadi jelas sama sekali setelah Senin pekan ini keluar siaran pers dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen P & K, yang membantah bahwa akan ada penghapusan gelar. Yang benar, "Pemerintah justru akan menata dan memantapkan gelar-gelar lulusan perguruan tinggi." Sebenarnya ini rencana lama. Yakni sehubungan dengan dibukanya dua program di perguruan tinggi negeri sejak 1966, program gelar dan program nongelar atau program diploma itu. Untuk memberikan gambaran yang tepat pada dua jenis pendidikan itu direncanakanlah penertiban gelar. Sebab, gelar-gelar perguruan tinggi di Indonesia kini hanya mengikuti kebiasaan perguruan tinggi di zaman Belanda. Dan, waktu itu, perguruan tinggi di sini menglkutl sa)a yang lazim di Negeri Belanda. Hingga, dipakailah insinyur (dari ingenieur), doctorandus, meester in de rechten sampai kini. Kecuali Mr. atau meester in de rechten yangpada 1962, lewat satu Keputusan Presiden, diubah menjadi S.H. atau sarjana hukum. Padahal, gelar doctorandus, kata Menteri Nugroho, bisa menyesatkan. Gelar itu sesungguhnya berarti calon doktor, atau bisa diartikan gelar yang belum lengkap. Repotnya, kata Menteri kepada mingguan Masa depan - koran khusus untuk keluarga besar Departemen P & K, 27 Agustus - doctorandus belum menunjukkan keahlian seseorang. Maka, bisa terjadi seorang doctorandus ekonomi dituntut pula menguasai bidang sejarah. Sebenarnya, konsep penertiban sudah dibuat oleh pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, sewaktu direktur jenderalnya masih Doddy Tisnaamidjaja (sekarang ketua LIPI). Yakni, gelar ditentukan ditaruh di belakang nama dan langsung menunjukkan bidangnya. Misalnya, Tuty, Sarjana Ilmu Fisika. Atau Edy, Sarjana Ekonomi, dan seterusnya. Yang tetap tak akan diubah adalah gelar doktor. "Karena gelar itu diterima secara internasional," kata Doddy Tisnaamidjaja (TEMPO, 21 Mei 1983). Untuk program diploma gelarnya ialah ahli pembantu, ahli muda, ahli madya, dan ahli. Lebih tinggi lagi ada spesialis II dan spesialis I. Beda antara ahli dan sarjana, menurut Ngroho, yang pertama menunjuk pada keahlian profesional yang lebih menekankan segi keterampilan dan penerapan ilmu. Sementara itu, yang kedua, lebih menekankan pada segi akademis untuk penelitian dan pengembangan satu bidang ilmu. Yang belum jelas adalah soal dr. atau dokter. Menurut Mahar Mardjono, dokter dan bekas rektor UI, "Dokter itu gelar profesi. Kalau dihilangkan atau diganti bisa repot. Misalnya si Anu buka praktek pengobatan. Nah, pasien 'kan kesulitan, si Anu ini dukun, apa benar-benar orang yang belajar pengobatan di fakultas kedokteran?" Ada usul dokter diganti menjadi sarjana kedokteran atau S.K. Tapi itu tentu kurang tepat. Sebab, "Sarjana kedokterannya dokter itu selama ini yang disebut doctorandus medicine. Jadi? "Jelasnya, nanti, setelah konsep disetujui Menteri, lalu dikirimkan ke Setneg, barulah pasti mana yang mau dipakai," kata Pramoetadi, direktur Pembinaan Sarana Akademis Ditjen Pendidikan Tinggi. Tapi sejumlah tokoh telanjur menyatakan reaksinya. Bahkan Andi Hakim Nasution rektor IPB, kepada harian Pikiran Rakyat, Bandung, mengatakan, "Tak selayaknya gelar dihapuskan karena diperoleh dengan susah payah." Seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Yuni Akmal, mengeluh, "Kalau gelar dihapus, kami kuliah tanpa target. Ini mengendurkan semangat belajar kami" Ternyata, gelar memang masih dibutuhkan, dan masyarakat agaknya memang masih lebih menghargai status daripada keahlian seseorang. Belum jelas, pengindonesiaan gelar akan mengubah orientasi ini atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus